Perjalanan karir seorang Ani Ema Susanti. Berasal dari keluarga serba pas-pasan wanita mungil ini sempat mencicipi kerasnya mengais rezeki di negeri orang.

TEMBELANG, MSP –
Kesuksesan dalam menggapai impian tidak memandang status sosial seseorang, tetapi bergantung bagaimana cara dan usaha kita untuk mencapainya. Terbukti dari perjalanan karir seorang Ani Ema Susanti. Berasal dari keluarga serba pas-pasan wanita mungil ini sempat mencicipi kerasnya mengais rezeki di negeri orang.

Sejak lulus dari salah satu SMA favorit di Jombang, Ani berniat melanjutkan pendidikan hingga sarjana dan keputusan itu sangat didukung penuh keluarga. Alasannya karena dia tidak ingin seperti tetangganya yang menjadi pahlawan devisa. Kebanyakan warga desa tempat tinggal Ani memilih berjuang di luar negeri agar kehidupan mereka terangkat.

“Hanya saja saat itu kenyataan masih berkata lain, selama mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak membuahkan hasil. Akhirnya saya memutuskan bekerja sebagai tabungan mendaftar kuliah tahun berikutnya, hanya saja dari sekian banyak tempat kerja tidak ada yang sampai bertahan lama. Pada saat bersamaan keluarga sedang mengalami krisis keuangan, ditambah lilitan hutang dari bank semakin banyak,” ujar Ani.

Alhasil, keadaan telah memaksa wanita berhijab tersebut mengesampingkan dulu niatnya untuk kuliah. Orang tuanya yang hanya lulusan SD bekerja sebagai petani Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang, kala itu pekerjaan di ladang sejak pagi hingga siang hari hanya mendapat upah 2.000 rupiah . Berbanding terbalik dengan gaji buruh migran, setiap bulan bisa mendapat 4 juta rupiah.

Gaji melimpah bukan berarti jaminan kehidupan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negeri orang bisa makmur, tidak menampik jika sepulang ke kampung halaman mereka bisa membeli sawah, membangun rumah atau bahkan membeli perabotan rumah. Di balik ‘kemakmuran’ banyak diantara mereka yang mengalami kekerasan fisik, keluarga di rumah tidak terurus, ada juga sepulang ke rumah diceraikan pasangan masing-masing.

Berbekal pengalaman tetangga, Ani meneliti baik-baik negara mana yang memberikan jaminan keamanan bagi buruh migrannya. Sampai akhirnya pilihan jatuh kepada Hongkong. Keberangkatannya sebagai buruh migran dibarengi dengan niat menabung sebagai biaya melanjutkan pendidikan seusai kontraknya habis. Dari situlah asam manis menjalani kehidupan di negeri orang dimulai.

Di Hongkong, wanita kelahiran tahun 1983 itu tinggal di vila milik majikannya yang ada di kawasan New Territories. Disana dia tidak tinggal seorang diri, ada beberapa TKW lain yang telah lebih dulu. Ani juga sering diperbantukan di rumah orang tua majikannya.

Selang 2 tahun kontraknya habis, utang piutang keluarga telah terbayar dan tabungannya dirasa cukup. Ani pun merealisasikan mimpinya melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Surabaya dengan mengambil jurusan Psikologi, dengan niatan menggapai impiannya menjadi penulis novel.

Setelah menjadi sarjana, bukannya menjadi penulis tapi profesi produser film dokumenterlah karirnya berlanjut. Memang seusai kuliah sempat menulis fiksi dan membukukan perjalanannya selama di Hongkong tetapi belum ada yang menembus penerbit ataupun menjuarai perlombaan.

Sampai suatu saat melihat iklan lomba film dokumenter, seketika tertarik untuk mencoba hal baru tersebut dengan otodidak belajar pada temannya. Semula latar belakang TKW telah ditutup rapat oleh Ani, tetapi ketika mengikuti lomba latar belakang tersebutlah yang melambungkan namanya sebagai sineas ternama dan mengantarkannya dalam mendapatkan penghargaan Piala Citra.

“Setelah ketagihan membuat film, saya memperdalamnya dengan merengguh gelar diploma di salah satu institut di Jakarta,” ungkap wanita usia 34 tahun itu. fakhruddin

Kamus sederhana
Sineas : Istilah umum yang merujuk kepada seseorang yang memiliki keahlian tentang cara dan teknik pembuatan film.
Lebih baru Lebih lama