Berkembangnya cerita dari masyarakat, hal tersebut lah yang melatar belakangi terbentuknya Desa Banyuarang. Awal mula nama Banyuarang sendiri muncul dari seorang santri Pangeran Jenu yang dianggap begitu bebal karena tidak bisa mengaji, hanya sanggup menghafal satu surat yaitu Al Fiil.

NGORO, MSP – Mendengar kata ‘banyuarang’ yang diambil dari Bahasa Jawa pasti seketika terlintas di benak kita adalah kelangkaan air. Tetapi sejarah berkata lain dan ada cerita tersendiri di balik arti nama Desa Banyuarang tersebut.

“Banyuarang sendiri merupakan salah satu desa yang masuk dalam Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dan berbatasan langsung dengan 4 kecamatan. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Diwek, batas Selatan Kecamatan Badas, batas Timur adalah Kecamatan Bareng, sedangkan bagian Barat tepat bersebelahan dengan Kecamatan Gudo,” jelas Kepala Desa Banyuarang, Achmad Anshori Wijaya.

Mengacu pada manuskrip milik budayawan asal kota santri, dijelaskan bahwa Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang di wilayah Majapahit, termasuk juga Kerajaan Mataram pada masa Ki Ageng Pamanahan juga masih dalam naungan Kerajaan Pajang. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Mataram digantikan oleh Ngabei Loring Pasar yang terkenal akan ketidak patuhannya pada Kesultanan Pajang.

Setelah Jaka Tingkir meninggal, kerajaan mengalami gonjang ganjing. Putra Jaka Tingkir yang dilahirkan selir (Pangeran Benawa) pun tidak bisa mewarisi tahtanya, sehingga usulan lain muncul sebagai pewaris tahta kerajaan diberikan kepada Adipati Demak, suami putri Jaka Tingkir. Tetapi keputusan itu ditentang langsung oleh Pangeran Benawa dan pada akhirnya merangkul Ngabei Loring Pasar untuk menumpas Adipati Demak, jika berhasil akan dihadiahi kesultanan Pajang. Pada akhirnya Mataram diubah menjadi kesultanan oleh Ngabei Loring Pasar.

Saat perpecahan terjadi, salah seorang petinggi Kerajaan Pajang yaitu Pangeran Jenu bersama kerabatnya mengasingkan diri ke wilayah kota santri untuk mendirikan tempat singgah dan sebuah pesantren sebagai sarana syiar agama Islam.

Berkembangnya cerita dari masyarakat, hal tersebut lah yang melatar belakangi terbentuknya Desa Banyuarang. Awal mula nama Banyuarang sendiri muncul dari seorang santri Pangeran Jenu yang dianggap begitu bebal karena tidak bisa mengaji, hanya sanggup menghafal satu surat yaitu Al Fiil. Suatu saat ketika santri tersebut melafalkan ayat-ayat dari surat Makiyah itu terdengar oleh Pangeran Jenu, lalu mengatakan lengna (dipahami betul-betul) dengan maksud agar mau belajar membaca surat-surat lain.

Hanya saja sang santri bebal itu bukannya mendengar kata lengna tetapi malah lenga (minyak). Suatu ketika beralasan kata-kata pangeran tadi, surat Al Fiil dilafalkan semalam suntuk dengan mengambil air di dalam wadah dan menaruh Alquran di atasnya. Keesokan harinya salah satu santri lain mengambil Alquran dari atas wadah, air yang semulanya penuh menjadi semakin sedikit dan mengental seperti minyak. Setelah kejadian itu Pangeran Jenu menyebut peristiwa tersebut sebagai ‘Banyuarang’. Santri bebal tadi pun mendapat julukan baru dari pangeran dan santri lain dengan nama Mbah Alamtara.

“Hingga pada tahun 1605 Pangeran Jenu meninggal dan dimakamkan berdekatan dengan Mbah Alamtara termasuk sanak saudara lainnya. Lokasi makam berada di sebelah Barat Dusun Banyuarang, bersebelahan dengan pemakaman umum,” tutup Achmad Anshori Wijaya. fakhruddin
Lebih baru Lebih lama