Undha-undhuk basa yang dalam sosiolinguistik merupakan salah satu bentuk register atau variasi linguistik yang disesuaikan dengan konteks pengguna bahasa menjadi bagian integral dalam tata krama masyarakat dalam berbahasa. Terdapat tiga bentuk utama variasi dalam undha-undhuk Basa Jawa, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus)

.JOMBANG – Bahasa daerah merupakan sebuah akar dari keberadaan bahasa nasional. Dewasa ini banyak diantara generasi milenial sudah meninggalkan bahasa daerahnya. Bahkan yang ironis banyak yang tidak memahami bahasa ibunya (baca: bahasa daerah), hal ini jelas berdampak sangat besar. Bukan saja terhadap penggunaan dan kelestarian bahasa, melainkan cermin karakter pengguna bahasa tersebut.

Sejalan dengan tujuan pemerintah yang tengah gencar melakukan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang melalui Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan tertanggal 29 Oktober 2018 menginstruksikan penggunaan Bahasa Jawa setiap hari Kamis pada instansi dan lembaga di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang.

Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 3 Jombang, Puspita Indriani, S.Pd menyambut positif pemberlakuan pembiasaan berbahasa Jawa ini. Namun dalam pelaksanaannya khususnya kepada peserta didik diharapkan diterapkan secara perlahan dalam artian peserta didik jangan langsung dipaksa untuk menggunakan struktur kata atau kalimat yang benar dalam pengucapannya.

“Untuk awal yang bisa dilakukan adalah membiasakan dan memberanikan anak menggunakan Bahasa Jawa murni tidak bercampur dengan Bahasa Indonesia. Berikan toleransi jika misalnya anak menggunakaan kata yang kasar namun subjek atau beberapa katanya 'dihaluskan'. Baru setelahnya bisa ditunjukkan bagaimana yang seharusnya. Seperti penggunaan pean (sampeyan) yang lumrah digunakan anak untuk menyapa guru harus mulai diluruskan serta dibiasakan menjadi panjenengan. Terlihat sepele, tapi ketika diterapkan sangat sulit,” jelas Puspita Indriati.

Perempuan yang pernah menjadi Guru Berprestasi ini menambahkan saat membiasakan Bahasa Jawa kepada peserta didik yang perlu diingat adalah pocap-patrap (ujaran dan sikap) yang tepat karena dalam berbahasa Jawa seseorang tidak hanya berucap atau berkata melainkan juga bersikap. Kosakata yang dipilih tercermin juga dalam sikap dan perilakunya.

Bahasa Jawa dalam penggunaannya terdapat tingkat tutur atau yang dalam Bahasa Jawa diistilahkan sebagai undhak-undhuk basa. Meski di setiap daerah di Jawa terdapat dialek atau variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakainya. Penggunaan undhak-undhuk basa harus tetap diperhatikan dan diterapkan.

Undha-undhuk basa yang dalam sosiolinguistik merupakan salah satu bentuk register atau variasi linguistik yang disesuaikan dengan konteks pengguna bahasa menjadi bagian integral dalam tata krama masyarakat dalam berbahasa. Terdapat tiga bentuk utama variasi dalam undha-undhuk Basa Jawa, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Dalam masing-masing bentuk tersebut terdapat wujud “penghormatan” juga “perendahan”. Seseorang dapat berubah registernya tergantung status dan lawan bicara. Status ini bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.

Menurut Puspita Indriati, adanya undhak-undhuk basa memungkinkan pembiasaan Bahasa Jawa bisa dijadikan juga sebagai sarana pembangunan karakter peserta didik. Ketika peserta didik berbicara, mereka akan membiasakan untuk menempatkan diri sesuai dengan kondisi lawan bicara serta tau bagaimana memperlakukan orang lain.
“Ketika berbicara dengan orang guru atau orang tua, peserta didik akan bertindak lebih hormat juga sopan. Demikian dengan orang yang lebih tua misal kakak mereka akan sopan meski mungkin kadarnya berbeda ketika mereka berbicara dengan guru atau orang tua. Begitupun ketika berbicara dengan yang lebih muda,” ungkap Puspita Indriani.

Menurut Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah 2 Jombang, Novita Asmara Dewi, S.Si mengungkapkan bahwa pembiasaan berbahasa memang seyogianya dilakukan sedari dini. Di MI yang berlokasi di Dusun Jambu, Desa Jabon, Jombang ini telah menerapkan pembiasaan berbahasa Jawa seminggu sekali sejak tahun pelajaran 2013/2014. Latar belakangnya adalah karena keprihatinan akan peserta didik yang mulai tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik.


“Pelaksanaannya dilakukan secara natural karena sehari-hari juga sudah menggunakan Bahasa Jawa. Hanya saja ketika berbicara dengan guru misalnya, kita arahkan mereka untuk menggunakan sapaan dan kata yang benar sesuai tatanan Bahasa Jawa,” jelas Novita Asmara Dewi.

Meski harus juga diakui bahwa tidak semua guru sepenuhnya benar juga menguasai Bahasa Jawa yang benar. Maka pembenaran kepada peserta didik hanya pembenaran yang bersifat umum yang lumrah sesuai ragam atau dialek Bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari di masyarakat.

Perempuan berhijab tersebut juga menyebutkan bahwa orang tua serta lingkungan juga memegang peran penting dalam pembiasaan anak untuk berbahasa Jawa. Orang tua diharapkan untuk tidak perlu ragu dalam mengajarkan Bahasa Jawa pada anak. Namun jika memang benar-benar ragu bahkan merasa tidak yakin, usahakan untuk mengajarkan anak tentang kosakata dasar sederhana seperti bagaimana menyapa orang, menanggapi panggilan, dan berterima kasih.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, drg. Budi Nugroho, MPPM menjelaskan, “Surat Edaran Pembiasaan Berbahasa Jawa itu muncul sebagai pengimplementasian Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah. Disamping itu sekaligus sebagai upaya pembentukan karakter pada peserta didik. Sehingga pembelajaran Bahasa Jawa diharapkan tidak hanya sekedar di kelas tapi juga lebih luas pada pendidikan karakter anak karena melalui Bahasa Jawa mereka juga belajar tentang budaya, sopan santun, juga adat istiadat.”

Meski sasaran utama dan terbanyak dari kebijakan ini adalah sekolah, namun Budi Nugroho juga menyebutkan bahwa pegawai yang berada di kantor Dinas Pendidikan juga instansi lain di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang seperti Wilayah Kerja Pendidikan di tiap kecamatan dan Laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pun harus turut melaksanakan kebijakan berbahasa Jawa tersebut.

“Karena penekanannya adalah pada pembentukan jati diri sekaligus melestarikan budaya Jawa. Sehingga kedepannya tidak muncul lagi istilah Wong Jowo tapi Gak Njawani (orang Jawa tapi tidak Jawa sekali) karena tidak menguasai Bahasa Jawa dan bertingkah laku seperti orang Jawa.” tambah Budi Nugroho seraya tertawa. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama