“Dalam implementasinya, diharapkan setiap sekolah menyediakan ruangan serupa laboratorium agama yang bisa dimanfaatkan bagi pemeluk agama lain untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran secara nyaman. Sementara kekurangan guru, dapat diusahakan dengan diambilkan dari lembaga atau daerah lain melalui perjanjian kerja.” - Dr. KH. A. Musta’in Syafi’i, M.Ag -

JOMBANG – Wacana pelaksanaan program Diniah Sekolah oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang menyimpan beragam pertanyaan. Diniah Sekolah yang diadaptasi dari program Diniah Pesantren sudah pasti akan lebih banyak mengakomodasi materi mengenai keislaman. Namun dalam pelaksanaannya dalam sekolah umum peserta didiknya bukan saja beragama Islam, melainkan ada pula yang beragama selain Islam. Sehingga ketika wacana Diniah Sekolah digulirkan hendaknya perlu difasilitasi pendalaman agama di luar Islam agar azas berkeadilan dalam pendidikan benar-benar terealisasi.

Ketua Dewan Pastoral Paroki Gereja Katolik Santa Maria Jombang, Yustinus Sumantri menjelaskan bahwa dalam Katolik pendidikan keagamaan khususnya yang dilakukan di sekolah lebih menyangkut pada pengetahuan dasar dan tentang Tuhan seperti siapa nama-nama Santo dan Santa, kisah sejarah perjalanan agama Katolik hingga saat ini. Begitu juga dengan soal uji yang diberikan oleh guru kepada peserta didik.

“Pendalaman iman yang dilakukan gereja, diantaranya dilakukan bimbingan rohani untuk semua usia. Seperti jelang perayaan hari raya Natal, umat mengerjakan pengakuan dosa sebagai bentuk peleburan atas semua kesalahan yang diperbuatnya kepada Romo (sebutan pemimpin agama Katolik) yang sudah ditahbiskan (diberkati atau dinobatkan). Sementara pendalaman iman bagi peserta didik SD, SMP, SMA hingga remaja dapat dilakukan melalui retreat yang diartikan sebagai suatu kegiatan mengundurkan diri dari kesibukan dunia. Rangkaian kegiatan yang menyertakan pendalaman kitab suci sebagai pedoman utama melakukan refleksi kehidupan dengan berdoa bersama kemudian dinyatakan dalam pernyataan kesaksian. Retret ini dilakukan bertujuan sebagai evaluasi diri seperti bercermin pada kehidupannya saat ini. Dari pengevaluasian diri tersebut, diharapkan akan mengubah kehidupannya menjadi lebih baik.” tutur Yustinus Sumantri.

Selain itu terdapat juga upaya untuk mengenal kitab suci dan belajar lebih dalam melalui Kelompok Kitab Suci yang terdiri antar teman sebaya, Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) yang tersedia di lingkungan gereja atau melalui Sentral Evangelisasi Pribadi (SEP) yang terpusat. Dari materi yang telah disampaikan dalam kelompok tersebut dapat dikembangkan serta disebarkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial.

Tidak berbeda jauh dengan agama Katolik, dalam agama Kristen yang dilakukan oleh umat secara umum lebih ditekankan pada pemahaman Alkitab. Bahkan untuk usia anak-anak hanya masih ditekankan pada pembacaan Alkitab dalam bimbingan guru agama atau pembimbing yang ada di gereja. Pengenalan akan Tuhan serta Rasul juga dilakukan melalui pujian-pujian yang membuat anak semakin mudah untuk memahaminya.

“Kegiatan pendalaman Alkitab juga dapat dilakukan melalui Sekolah Minggu yang dilakukan secara menyenangkan. Mereka akan diberikan bacaan Alkitab, kisah yang diberikan diilustrasikan agar mudah dipahami untuk selanjutnya diresapi nilainya kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Guru Agama Kristen SD, Sih Wahyudi, S.Th.

Ditambahkan oleh Sih Wahyudi, sebagai umat Kristen yang baik selain berpegang teguh pada Alkitab seorang Kristiani juga harus menjalankan tri tugas gereja yakni bersekutu, bersaksi, dan melayani. Belum lengkap iman seseorang jika belum menjalankan tri tugas gereja.

Sedangkan bagi pemeluk agama Hindu dalam kesehariannya yang ditekankan adalah ibadah atau sembahyang yang dilakukan tiga kali sehari yakni pada pagi (setelah matahari terbit), siang (saat matahari tepat di atas langit), dan sore hari (setelah matahari terbenam) yang disebut dengan Trisandya. Saat melakukan Trisandya, umat Hindu akan membaca doa khusus atau mantram. Mantram-mantram inilah yang harus dihafal serta dipahami oleh umat Hindu


“Selain mantram Trisandya, bagi anak-anak yang masih SD atau SMP akan diajarkan mengenai doa sehari-hari seperti ketika akan makan, tidur, atau bepergian. Sementara untuk yang sudah lebih dewasa misalnya SMP akhir hingga SMA sudah bisa mulai mempelajari mantram yang ada dalam kitab tetapi tidak secara mendalam dan detail. Pembelajaran tersebut bisa dilakukan oleh guru, pandita-pinandita atau yang juga dikenal sebagai pemangku. Pemangku ini juga yang bisa mendampingi dan mengarahkan anak dalam pembelajaran mantram, pembacaan serta pemahaman sloka (ayat) pada Kitab Weda,” jelas salah satu guru Agama Hindu, Heru Widiyatama, S.Pd.H.

Bagi umat Budha terutama yang berada di lingkungan Tri Dharma, mereka melaksanakan ibadah dua kali sehari. Namun sebagian besar umat juga sudah memiliki altar kecil di rumah sebagai tempat beribadah sehingga tidak perlu datang ke tempat ibadah. Doa yang wajib dihafalkan, yaitu Doa Parita yang diucapkan ketika usai menancapkan dupa. Perlu untuk melakukan meditasi agar pikiran tenang. Melalui perasaan tenang dan tulus diharapkan mampu menghadirkan Tuhan ditengah-tengah dirinya.

Setiap masuk kedalam lingkungan Tri Dharma, umat Hindu yang akan beribadah harus menghadap ke altar Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa untuk memberikan penghormatan. Peribadatan dapat dilakukan secara individu, namun untuk meningkatkan kebersamaan, keakraban serta rasa persaudaraan antar umat setiap Rabu malam dan Sabtu sore dilakukan peribatan bersama.

“Setelah peribadatan bersama, anak-anak akan dikumpulkan lagi untuk mendapatkan pembimbingan mengenai pemahaman kitab Tripitaka khususnya Sutta Pitaka dengan didampingi oleh pandita yang hadir sebagai perantara Biku yang jumlahnya terbatas dalam melayani umat Budha. Pembimbingan dalam membaca Sutta ini perlu dilakukan untuk membantu dalam memahami maknanya. Seperti membacakan satu ayat dengan Bahasa Pali disertai artinya dan penjelasannya,” ungkap Pandita Klenteng Hok Liong Kiong Jombang, Subyanto Yap.


Menuntut Kedewasaan

Subyanto Yap juga mengatakan jika seorang umat Budha ingin mendalami agama secara lebih mendalam, setidaknya dia harus terlebih dahulu mencapai usia dewasa yang dalam pikiran serta pemahaman sudah lebih matang dibanding jika masih dalam usia anak-anak atau remaja. Kata-kata serta bahasa yang ada dalam kitab suci yang tidak bisa diartikan serta dimaknai secara sembarangan. Itulah yang membuat seseorang harus memiliki kedewasaan. Disamping itu, materi pendalaman semacam itu juga mayoritas diberikan pada jenjang pendidikan khusus seperti pendidikan Samanera (Calon Biku) yang dilakukan dalam lingkungan Wihara yang terdapat Biku.




 “Kalau untuk anak-anak atau umat secara umum, disamping mampu melaksanakan peribadatan dengan benar, pengenalan dasar tentang Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sanghyang Adi Budha, penanaman keimanan Saksada yang terbagi enam keyakinan diantaranya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keyakinan terhadap Santiratana atau Tri Ratna, Sada terhadap tingkat kesucian (percaya adanya alam dewa), Sada terhadap hukum kesunyataan, dan Sada terhadap kitab suci Tripitaka dan Sada adanya nirwana serta tata cara peribadatan yang benar sudah dirasa cukup,” ungkap Subyanto.

Begitu pula dalam Katolik, Kristen, juga Hindu. Mayoritas materi pendalaman agama diberikan pada jenjang pendidikan khusus yang dipersiapkan untuk menjadi seorang pemuka atau pemimpin agama seperti Pastor atau Romo, Pendeta, atau Pemangku. Bagi umat secara umum, pemahaman beragama kebanyakan hanya sebatas pelaksanaan tata cara beribadah, membaca dan memahami kitab suci sesuai arahan pemimpin atau pemuka agama yang bersangkutan, serta pengimplimentasiannya dalam kehidupan sehari-hari.


Pembelajaran Agama dalam Pembentukan Karakter

Di pengajaran agama pembentukan perilaku bahkan karakter seseorang didapatkan dari pengetahuan yang telah didapat kemudian dikuatkan menjadi iman. Pengetahuan tersebut dijadikan sebuah pengantar dalam berkehidupan sehari-hari baik secara pribadi juga bemasyarakat. Dengan kata lain, pembentukan karakter terjadi seiring dengan pengetahuan beragama yang didapatkan.

“Katolik memberikan ajaran utama seperti mencintai (diri sendiri, sesama, dan Tuhan) yang kemudian pengetahuan ajaran Tuhan tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menjadikan umat manusia memiliki sifat-sifat yang baik. Misal saat masih kecil dibiasakan untuk saling menghormati, menyayangi dengan keluarga dan teman di sekolah. Semakin bertambah usia, ruang lingkupnya akan semakin meluas pula bahkan hingga dalam taraf masyarakat bahkan negara,” jelas Yustinus Sumantri.

Sementara bagi umat Hindu, dalam kesehariannya harus memegang teguh pada lima keyakinan (panca sradha) yakni percaya pada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widi Wasa), Atman (Sinar Suci Tuhan Yang Maha Esa), Karmapala (Karma atau hasil dari perbuatan yang dilakukan), Punarbhawa (menjelma, terlahir kembali atau yang sering disebut reinkarnasi), dan Moksa (kebebasan). Selain itu umat juga harus mengamalkan perilaku yang dinamakan dengan Trikaya Parisuda (Tiga perilaku yang harus dilakukan dengan benar) yang terdiri atas manacika (berfikir dengan baik), wacika (berkata dengan baik), dan kayika (berbuat dengan baik).


Keadilan dan Keproporsionalan


Ketika pada akhirnya wacana pelaksanaan Diniah Sekolah bergulir, beberapa guru pendidikan agama selain Islam merasa kesulitan memberikan materi tambahan apa lagi pada peserta didiknya. Selain mengenai materi, jumlah tenaga pendidik yang kurang juga dirasakan sebagai sebuah kendala yang harus dicarikan jalan keluarnya.

“Selama ini untuk memenuhi hak peserta didik memperoleh materi pendidikan agama saya harus berkeliling mendatangi peserta didik bahkan sejak jam ke nol pembelajaran. Bagi yang tidak bisa tertangani, akan dikumpulkan dan diberikan pembelajarannya setelah ibadah mingguan di gereja, ” tutur guru Agama Katolik SD, Margareta Yatiningsih, S.Ag.

Pernyataan dari Margareta Yatiningsih juga diamini oleh Sih Wahyudi. Beberapa tahun terakhir, pria yang mengajar di SDN Kaliwungu I Jombang ini harus menangani peserta didik Kristen dari enam belas sekolah lain di wilayah Kecamatan Jombang. Begitu pula dengan Heru Widiyatama selaku guru Pendidikan Agama Hindu yang harus menangani dua puluh lima peserta didik beragama Hindu jenjang SD-SMP.

Menurut Pengamat Pendidikan, Dr. KH. A. Musta’in Syafi’i, M.Ag mengemukakan bahwa dalam melaksanakan sebuah program pemerintah harusnya menerapkan keadilan yang proporsional, memberikan pelayanan secara adil serta seimbang.

“Dalam implementasinya, diharapkan setiap sekolah menyediakan ruangan serupa laboratorium agama yang bisa dimanfaatkan bagi pemeluk agama lain untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran secara nyaman. Sementara kekurangan guru, dapat diusahakan dengan diambilkan dari lembaga atau daerah lain melalui perjanjian kerja,” tutur Musta’in Syafi’i.


 
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang, Ir. H. Handi Widyawan, M.Si mengungkapkan sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, sudah selaiknya dalam menjalankan sebuah program Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang harus memperhatikan keberadaan adanya pemeluk agama selain Islam. Prosesnya juga harus bisa mengakomodasi dengan langkah yang sama seperti yang diterapkan pada agama Islam.

Perlu ada solusi yang dilakukan dengan mengatasi sumber daya manusia yang belum mencukupi. Pendampingan juga diperuntukkan kepada guru, bukan sekedar memberikan materi saja melainkan memperhatikan juga dari sisi asah, asih dan asuh. Hal ini yang sesuai dari teknis pendidikan yang ideal.

“Sejatinya karakter dibangun dari gabungan agama, perilaku dan wawasan. Ketiganya harus berjalan berdampingan serta harus benar-benar sesuai dengan keyakinan peserta didik dan jika semuanya berjalan baik meminimalisir peserta didik yang berperilaku menyimpang,” tutup Handi Widyawan. chicilia risca / fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama