Meskipun sudut baca tidak sebesar ruang perpustakaan yang identik dengan buku serta kegiatan membaca, pengelolaan sudut baca juga seyogianya dilakukan secara profesional layaknya di perpustakaan. - Dra. Nanik Masriyah -

TEMBELANG – Membaca adalah jendela dunia. Pepatah tersebut menjadi sesuatu yang tepat untuk disampaikan kepada peserta didik dalam untuk menggelorakan semangat budaya membaca.

Sejak tahun 2015 untuk menaikkan minat baca ini pada peserta didik, pemerintah mencanangkan program membaca limabelas menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Program ini juga termasuk dalam salah satu poin Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang mendukung Program Pengembangan Karakter (PPK) dalam Kurikulum 2013 (K13).

Disamping pemaksimalan keberadaan perpustakaan sekolah keberadaan pojok baca di kelas juga sangat berperan penting. Seluruh warga sekolah dapat bekerja sama dalam penyediaan buku-buku pada sudut baca di setiap kelas.

Salah seorang penggiat literasi, Dra. Nanik Masriyah mengatakan, “Idealnya buku-buku yang ada di sudut baca itu diputar antar kelas secara berkala agar peserta didik tidak bosan dengan buku yang itu-itu saja.”

Secara lebih rinci perempuan yang juga mengelola perpustakaan SMP Negeri Kudu ini menjelaskan bahwa komitmen serta tanggung jawab peserta didik, pengurus, juga wali kelas dalam menjaga jumlah buku yang diputar untuk sudut baca menjadi kunci penting. Selain itu setiap kelas harus menjaga jumlah buku yang diterima dan diserahkan untuk diputar kembali dalam periode selanjutnya tetap sama. Sehingga ketika terjadi perubahan jumlah, misalnya berkurang karena hilang maka kelas tersebut wajib untuk mengganti sejumlah buku yang hilang.

“Untuk menambah koleksi buku di sudut baca, tim GLS bisa menerapkan gerakan infaq kelas yang hasilnya bisa dibelikan buku-buku baru. Sehingga buku yang ada di sudut baca bisa semakin variatif,” ungkap Nanik Masriyah.

Meskipun sudut baca tidak sebesar ruang perpustakaan yang identik dengan buku serta kegiatan membaca, pengelolaan sudut baca juga seyogianya dilakukan secara profesional layaknya di perpustakaan. Buku-buku yang ada pada sudut baca tersebut juga dilakukan pengkategorian meski dalam taraf sederhana. Misalnya pengkategorian buku yang boleh diputar dan buku yang tidak boleh diputar atau buku berjenis fiksi dan nonfiksi.

Penempatan buku dalam sudut baca pun juga harus memperhatikan peruntukan bagi peserta didik. Buku-buku bagi peserta didik kelas VII mungkin saja berbeda dengan buku-buku bagi peserta kelas VIII dan kelas IX. Hal ini juga berdampak pada proses rotasi buku yang hanya bisa dilakukan dalam satu tingkatan.

Keberadaan sudut baca bukan berarti menggantikan peran perpustakaan dalam penyediaan buku bagi warga sekolah. Justru keberadaan sudut baca dan perpustakaan menjadi sebuah satu kesatuan. Ketika sudut baca semakin dimaksimalkan pemanfataannya, maka perpustakaan sebagai ladang utama penyedia layanan buku juga harus turut semakin meningkatkan pelayanannya agar peserta didik juga tetap tertarik untuk berkunjung ke perpustakaan.

Fase Literasi

Selain memberikan ilmu mengenai pengelolaan sudut baca dan perpustakaan, dalam pelatihan internal bagi peserta didik yang diadakan oleh SMP Negeri 1 Tembelang pada Jumat dan Sabtu (4-5/1), Nanik Masriyah juga kembali menekankan bagaimana budaya literasi dalam GLS dapat dikembangkan di sekolah.

Menurut perempuan yang juga mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ini tahapan literasi pada peserta didik terbagi menjadi tiga, yakni tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Kegiatan membaca limabelas menit sebelum pembelajaran merupakan proses dalam tahap pembiasaan.

“Melaksanakan kegiatan (membaca) dalam waktu pendek namun sering dan berkala akan lebih efektif dibanding membaca lama, namun jarang. Sehingga kunci keberhasilan sebuah kegiatan adalah keberlangsungan dan frekuensi kegiatan, bukan pada jumlah jam dan menit yang dihabiskan. Kegiatan yang dilakukan secara ajeg dan sering mampu menumbuhkan kebiasaan,” jelas Nanik Masriyah.

Nanik Masriyah menambahkan agar kegiatan membaca selama limabelas menit tersebut memberikan sebuah kesan, peserta didik dapat diberikan sebuah tugas tambahan dengan mengkomentari atas bacaan yang dibacanya. Kegiatan tersebut dapat dirangkum dan didokumentasikan dalam sebuah jurnal membaca yang secara berkala dipantau oleh guru juga wali kelas.

Setelah melewati tahapan pembiasaan, tahapan pengembangan yang diantaranya dapat diaplikasikan dengan memberikan penilaian terhadap sebuah buku yang usai dibaca. Misalkan dengan membuat ringkasan, esai, atau bahkan resensi.

Selanjutnya adalah tahap pembalajaran yakni tahapan peserta didik mampu mengaitkan kegiatan literasi dalam proses pembelajaran. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan buku-buku yang ada di sudut baca dan perpustakaan menjadi sumber referensi dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru mata pelajaran.

Selain literasi baca tulis yang menjadi literasi dasar yang harus dikuasai, terdapat lima literasi lain yang juga harus dipahami peserta didik sebagai bekal menghadapi persaingan yang semakin global yakni literasi numerasi (angka dan matematika), sains (fenomena alam), finansial (keuangan), digital, serta budaya dan kewarganegaraan.

Kepala SMP Negeri 1 Tembelang saat itu, Drs. Karyono, M.MPd, berharap peserta didiknya dapat menyerap dengan baik informasi yang telah diberikan oleh narasumber sehingga dapat semakin memaksimalkan program GLS di sekolah. Pihak sekolah pun juga berkomitmen untuk memaksimalkan sarana perpustakaan dengan semakin menambah jumlah koleksi buku yang ada.

“Insya allah dalam waktu dekat juga akan ada penambahan ruang perpustakaan. Sehingga tidak akan ada lagi alasan perpustakaan yang jauh dari kelas karena lokasi perpustakaan yang baru akan diusakan berada di posisi yang strategis dan bisa dijangkau semua peserta didik,” tutup Karyono. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama