Ciri khas rumah bergaya Eropa dapat dilihat sejak berada di halaman depan, yaitu adanya sejumlah pohon mangga berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun yang rindang serta tinggi lantai dari permukaan tanah. Biasanya lantai rumah cukup tinggi jaraknya dengan tanah, sehingga selalu disediakan tangga di depan rumah. Berkisar lebih kurang setengah sampai satu meter.

KESAMBEN – Sejarah keberadaan bangsa Belanda di Kota Santri ini sudah tidak bisa ditampik lagi, hal itu terbukti dari banyaknya bangunan-bangunan bergaya arsitektur negara Kincir Angin itu masih berdiri kokoh. Desa Pojok Kulon, Kecamatan Kesamben merupakan wilayah yang cukup banyak menyimpan sejarah saat Belanda menduduki Jombang.

Sangking banyaknya jarak antar rumah tidaklah jauh bertetanggaan. Diriwayatkan oleh yang meninggali sekarang, M. Hatim Ali dan Sulaiman bila rumah yang didiaminya ini merupakan peninggalan buyutnya. Singkatnya, buyutnya merupakan pekerja di pabrik gula milik meneer setempat. Sayangnya jejak parbrik gula di wilayah pinggiran Sungai Brantas ini sudah tidak tersisa.

“Kurang lebih tiga ratus tahun lalu buyut memang memiliki jabatan cukup tinggi beserta mempunyai sebidang tanah yang sangat luas. Mulanya hanya ada satu bangunan rumah saja kemudian setelah buah hatinya kian bertambah dewasa dan berkeluarga, dibangunkanlah rumah diatas tanah miliknya untuk masih-masing,” papar M. Hatim Ali

Ciri khas rumah bergaya Eropa dapat dilihat sejak berada di halaman depan, yaitu adanya sejumlah pohon mangga berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun yang rindang serta tinggi lantai dari permukaan tanah. Biasanya lantai rumah cukup tinggi jaraknya dengan tanah, sehingga selalu disediakan tangga di depan rumah. Berkisar lebih kurang setengah sampai satu meter. Demikian dengan ketebalan tembok, walau pembangunannya tidak menggunakan semen karena saat itu masih belum ada. Tetapi kekokohannya jangan dintanyakan lagi. Hal itu lantaran tebal tembok terhitung dua tatanan bata yang disatukan.



Uniknya hingga sekarang detail bangunan masih terawat baik. Bahkan menjadi penanda antara rumah buyut dan anaknya. Menurut keterangan Sulaiman misalnya, rumah buyut plafonnya menggunakan seng anti karat. Sedangkan rumah lain (baca: anaknya) hanya memakai anyaman bambu saja.

Ketika memasuki rumah kuno, sajian furniture zaman dahulu sangat lekat menghiasi setiap penjuru ruangan. Seperti meja marmer berukuran besar, cermin setinggi orang dewasa berbingkai ukiran kayu, dan paidon (tempat membuang air liur). Sangat disayangkan, tambah Sulaiman banyak koleksi funiture yang telah tiada lantaran di jual murah.

Rumah megah peninggalan masa penjajahan Belanda ini memiliki pembagian ruang kamar yang cukup sedikit, antara tiga hingga lima ruang saja. Akan tetapi ukuran setiap kamar terbilang luas, kurang lebih antara 5 x 6 meter. Hal serupa pun berlaku untuk kamar mandi yang juga berukuran sangat luas.

Saat berada di setiap sisi ruang seseorang akan tetap merasa betah berlama-lama di dalamnya, sebab tinggi antara permukaan lantai dengan plafon juga sangat tinggi. Sehingga suasana sejuk selalu terasa.

“Kami sempat tertipu oleh keluarga yang pernah merantau ke daerah lain. Dia tahu bahwa harga funiture yang kami miliki mempunyai nilai jual tinggi, maka dibeli dengan harga murah selanjutnya dijual lagi yang harga relatif tinggi,” sesal Sulaiman.

Meskipun begitu Sulaiman tidak berlama-lama menyesali keteledoran tersebut. Pria yang cukup akrab berbaur dengan orang kendati baru dikenalnya ini tetap bersyukur masih ada beberapa funiture yang terjaga hingga sekarang. Terpenting adalah menjaga kelestarian rumah peninggalan buyutnya karena sebagai titik kumpul seluruh keluarga sekaligus menceritakan garis keturunan keluarga besarnya. fakhruddin
Lebih baru Lebih lama