Menggunakan bahan baku dari pelat besi menggantikan gongso (perpaduan antara tembaga dan timah, bahan asli pembuat alat musik gamelan), Sumadi membuat gong, bonang, kenong, gambang, baron, dan saron. Pelat besi dilipih karena bahannya jauh lebih mudah dan murah untuk didapatkan.

BARENG – Kecintaan terhadap kesenian bukan saja sebatas menjadi pelaku saja. Justru bisa merambah ke pelbagai lini seperti pembuat alat kesenian. Selain dikarenakan keterbatasan alat kesenian, biaya yang dikeluarkan pun cukup mahal untuk membeli.

Seperti yang dilakoni oleh Sumadi. Seorang pengkrawit ini mampu membuat seperangkat alat musik gamelan. Tujuan awalnya dia ingin generasi muda bisa mengenal pertunjukan khas nusantara tersebut. Namun harga satu set gamelan kualitas A dirasanya terlalu mahal dan akan sulit untuk dimiliki apalagi bagi pelaku seni dengan modal terbatas. Untuk itu pria asal Dusun/Desa Jenisgelaran, Kecamatan Bareng ini rela belajar untuk bisa membuat beragam alat musik yang ada dalam pertunjukan gamelan.

“Sekitar tahun 1995 sempat belajar ke pengrajin alat-alat musik gamelan di Nganjuk. Tapi karena waktunya dirasa terlalu lama dan tidak maksimal, akhirnya pulang dan coba-coba membuat sendiri. Percobaan pertama membuat gong, secara fisik terlihat mirip tapi tidak menghasilkan bunyi yang diinginkan,” ujar Sumadi mengawali cerita.

Kemudian dia menjelaskan telah melakukan beragam cara agar gong yang dibuatnya tersebut bisa berbunyi namun tetap gagal. Hingga suatu hari, mendapatkan mimpi didatangi oleh seseorang yang memberinya bonang. Dari saat itu dia seperti mendapatkan kemudahan dalam membuat aneka alat musik gamelan.

Menggunakan bahan baku dari pelat besi menggantikan gongso (perpaduan antara tembaga dan timah, bahan asli pembuat alat musik gamelan), Sumadi membuat gong, bonang, kenong, gambang, baron, dan saron. Pelat besi dilipih karena bahannya jauh lebih mudah dan murah untuk didapatkan.

“Untuk gong, bonang, dan kenong ketebalan pelat besi yang digunakan maksimal dua milimeter. Sementara untuk balungan gambang, baron dan saron maksimal delapan milimeter. Ukuran itu dimaksudkan agar menghasilkan suara yang jernih,” jelas Sumadi.



Lebih lanjut pria 44 tahun ini menjelaskan untuk membuat sebuah gong bagian pertama yang dibuat pertama adalah pencon (bagian tengah gong yang menggelembung, tempat biasa gong dipukul). Ukuran diameter pencon antara 20-22 sentimeter. Ukuran tersebut sekaligus menjadi patokan awal pengukuran lebar dada dan perut gong. Untuk gong, lebar dada dan badan adalah satu seperempat hingga satu setengah kali diameter pencon (tergantung diameter total gong yang diinginkan). Sementara untuk bonang, ukuran perut dan bonang hanya satu kali ukuran pencon.

“Jadi misalnya ukuran pencon 40 sentimeter dan total ukuran gong yang diinginkan adalah satu meter maka ukuran dada adalah 50 sentimeter dari tepi pencon, begitu pula badan gong yang juga berukuran 50 sentimeter dari tepi dada,” jelas Sumadi mencoba menjelaskan.

Pembuatan alat-alat musik dikerjakan oleh Sumadi dan ketiga rekannya secara manual. Pelat-pelat besi sebagai bahan baku utama ditempa berulang-ulang, dibentuk sesuai dengan bentuk alat musik yang akan dibuat. Tidak ada proses pemanasan dalam usaha membentuk pelat besi sesuai dengan pola. Hal ini menghindari perubahan kualitas bunyi yang dihasilkan.

Seperangkat gamelan buatan Sumadi dibanderol harga 20-25 juta rupiah. Meski saat ini Sumadi sudah banyak mendapatkan pesanan gamelan dari berbagai daerah, namun bapak dua putri ini tidak berani menyebut gamelan hasil buatannya memenuhi standar. Karena bagaimana pun bahan yang digunakannya bukanlah bahan asli atau unggulan untuk membuat gamelan. Namun meski tidak berani menyebut hasil gamelannya standar, Sumadi berani untuk mengadu kemiripan kualitas suara dan ketahanan gamelan buatannya. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama