Peniadaan TPA pada mekanisme PPDB tahun pelajaran 2018/2019 didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.

JOMBANG, MSP – Pada tahun pelajaran 2018/2019 mendatang mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari SD ke SMP mengalami sedikit perubahan. Tes Potensi Akademik (TPA) yang pada PPDB tiga tahun terakhir dimasukkan dalam salah satu poin yang diperhitungkan pada PPDB 2018/2019 ditiadakan.

Peniadaan TPA pada mekanisme PPDB tahun pelajaran 2018/2019 didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat. Sistem zonasi atau kewilayahan yang selanjutnya akan dipergunakan untuk menghitung poin dalam mekanisme PPDB menggantikan nilai TPA yang ditiadakan, disamping nilai hasil Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) yang telah didapatkan oleh peserta didik.

“Dengan penggunaan sistem zonasi ini diharapkan sekolah akan memprioritaskan

menerima calon peserta didik yang berdomisili dekat dengan sekolah,” ujar Kepala Seksi (Kasi) Kurikulum SMP Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, H. Agus Suryo Handoko, S.Pd, M.MPd.

Lebih lanjut, Agus Suryo menjelaskan bahwa sistem zonasi yang direncanakan akan diterapkan pada PPDB 2018 mendatang adalah zonasi dengan berbasis kecamatan. Sekolah-sekolah di kecamatan terdekat akan tergabung dalam satu zona tertentu. Diperkirakan akan ada sekitar 11-12 zona yang diterapkan di Kabupaten Jombang.

Sesuai dengan pasal 15 Permendikbud 17/2017 ditegaskan bahwa sekolah pada setiap zona wajib menyerap 90% dari total daya tampung peserta didik baru yang bertempat tinggal di dekat sekolah. Sehingga dalam PPDB mendatang diharapkan peserta didik memilih sekolah yang dekat domisili meski tidak menutup kesempatan bagi peserta didik untuk memilih sekolah di luar zona.

Hanya saja ketika peserta didik memutuskan untuk memilih sekolah yang berada di luar zona yang berbeda dengan domisili harus bersiap dengan pengurangan poin yang akan diterapkan. Direncanakan persentase poin antara poin domisili dengan prosentase nilai USBN akan sebesar enam puluh persen berbanding empat puluh persen. Sehingga poin domisili akan lebih besar dibanding poin USBN.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Kabupaten Jombang Karyono, S.Pd., M.Si, menjelaskan sistem zonasi diharapkan konsisten dalam menerapkan kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis zonasi. Menurut dia, sistem zonasi menjadi langkah awal dari pemerintah yang sedang berusaha mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualitas.

“Adanya sistem zonasi ini sangat baik. Tujuannya agar peserta didik dapat merata tidak berkumpul pada satu sekolah yang nanti sekolah tersebut akan menjadi favorit. Langkah ini harus komitmen dan harus diawali dengan sosialisasi lebih awal, terlebih di tahun 2018 ini tidak ada Tes Potensi Akademik (TPA) seperti tahun kemarin,” kata Karyono.

Ia menyatakan, zonasi akan menghilangkan dikotomi antara sekolah unggulan dan non unggulan. Selama ini, pihak sekolah seolah-olah dikompetisikan oleh peraturan pemerintah. Padahal, semua sekolah mendapat bantuan dana dari pemerintah, baik dari provinsi atau pun kabupaten/kota. Selain itu juga harus diikuti dengan distribusi tenaga pendidik dan kependidikan yang merata.

“Berarti dengan kata lain ada distribusi guru sesuai dengan peraturan yang ada. Jika beberapa hal tersebut dilaksanakan, Insya Allah masalah PPDB akan limit,” tambah pria bertubuh tinggi tersebut.

Kepala SMP Negeri 2 Perak, Dra. Listyowati pun menyambut dengan baik diterapkannya sistem zonasi pada PPDB 2018. Menurutnya dengan penerapan sistem zonasi ini diharapkan dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di daerah. Memberikan kesempatan kepada sekolah di daerah untuk berkembang serta lebih memotivasi sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga harapan menghilangkan dikotomi sekolah unggulan dan non unggulan dapat terlaksana.

“Dengan zonasi, diharapkan anak-anak berprestasi dari daerah dapat tetap bersekolah di wilayahnya tidak menumpuk pada satu sekolah tertentu. Sehingga sekolah pun harus semakin memperbaiki mutu pelayanan pendidikan baik dari program pendidikan maupun sarana dan prasarana. Guru pun juga diharapkan dapat lebih meningkatkan kompetensi,” jelas Listyowati.

Perempuan berhijab ini juga menilai bahwa sistem zonasi tepat diterapkan untuk jenjang SMP terutama dalam mengakomodir permasalahan transportasi peserta didik dari rumah ke sekolah. Dengan sekolah dekat dengan domisili (rumah) maka transportasi akan lebih terjangkau.

Terkait zonasi, menurut Karyono yang juga sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Tembelang itu seharusnya disosialisasikan jauh-jauh hari. Karena sistem ini jelas akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidikan bahkan di masyarakat. Contohnya saja dalam draf bertuliskan kecamatan A satu zona dengan kecamatan B, kecamatan C satu zona dengan kecamatan D dan E, ini harus disosialisasikan kepada guru Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI).

“Manakala kita menerapkan zonasi tetapi sekolah di bawah naungan Kemetrian Agama (Kemenag) tidak menerapkan zonasi ini kadang-kadang menjadi masalah. Jangan kita itu dibatasi tetapi sekolah keagaman bebas menerima peserta didik yang melebihi pagu (daya tampung sekolah) mereka. Apakah aturan pendidikan tidak berlaku untuk Kemenag? Oleh karena itu harus ada rapat mengenai hal ini,” ujarnya.

Tidak adanya TPA dalam sistem PPDB tahun ini, Karyono memberi masukan kepada sekolah untuk menerapkan Bridging Course atau matrikulasi bagi peserta didik baru. Program ini akan menjembatani antara bekal awal peserta didik baru SMP dengan bekal yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran kelas satu SMP. Diasumsikan bahwa peserta didik baru memiliki bekal awal yang berbeda-beda karena keberagaman kemampuan dan mutu sekolahnya (SD/MI).

“Bridging Course diselenggarakan untuk menyamakan bekal dasar peserta didik baru, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotornya agar yang bersangkutan memiliki tingkat kesiapan yang memadai untuk mengikuti pelajaran. Selain itu, idealnya juga ada test psikologi. Ini akan menjadikan kelas merata tidak didominasi oleh anak pintar dalam satu kelas,” tutup Karyono.

Sekolah Pondok Kesulitan

Sementara itu, menanggapi sistem zonasi Kepala SMP Negeri 3 Peterongan, Safak Efendi, M.Pd.I mengatakan bahwa jika sistem zonasi diterapkan di sekolah pondok akan sulit. Peserta didik yang sebagian besar adalah santri di pondok rata-rata berasal dari luar Kabupaten Jombang, bahkan luar provinsi.

“Hanya saja penerimaan memang sulit kalau semua menggunakan zona dengan ketentuan seperti pengalaman pada tahun kemarin. Kesulitan itu mengenai kebijakan dimasing-masing pemerintah daerah dengan adanya ujian sekolah yang waktu pelaksanaannya tidak sama. Pembagian nilai ujian nasionalnya juga tidak sama di masing-masing provinsi. Apabila dibatasi dengan waktu yang pendek,” ujar Safak Efendi.

Kebijakan Kabupaten Jombang sebenarnya sudah luar biasa, tambahnya, tetapi itu hanya untuk menampung peserta didik dari dalam kabupaten saja. Jika di tahun sebelumnya terdapat kebijakan bahwa pendaftaran peserta didik dari luar Jombang dibatasi lima persen, tetapi kalau SMP Negeri 3 Peterongan dibatasi hanya segitu siapa yang masuk? Total peserta peserta didik dari Kabupaten Jombang hanya sekitar 18-19% untuk tahun ini. Justru mayoritas dari luar daerah.

“Sekolah pesantren tidak mungkin disamakan dengan sekolah umum lainnya. Jelas ada pengkhususan seperti tahun-tahun sebelumnya. Terlebih di kebijakan yang sekarang ini juga harus ada,” kekeh Safak Efendi.

Laki-laki yang kerap disapa Safak itu menyatakan, sebenarnya ada penyikapan dan pengusulan dari berbagai pihak untuk membentuk sekolah kawasan. Meski Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sudah dihapus pemerintah, ternyata beberapa sekolah di beberapa provinsi masih ada. Hanya saja namanya diubah menjadi sekolah kawasan.

Sekolah kawasan menurut Safak Efendi cukup baik, dalam sistemnya peserta didik yang mendaftar sekolah kawasan hanya diberikan dua pilihan yakni mendaftar di sekolah yang dekat dengan sekolah asal misalnya SD di Kecamatan Jombang mendaftar di SMP yang berada di kawasan Kecamatan Jombang. Pilihan kedua mendaftar di wilayah lain dengan harapan dekat dengan tempat tinggal.

“Kalau dekat dengan tempat tinggal lebih bermakna. Tidak perlu susah-susah mencari transportasi. Ini yang kami anjurkan,” katanya.

Kenapa harus ada sekolah kawasan yang notabene sama dengan RSBI? Safak beralasan sekolah kawasan ini akan menjadi pendorong di kawasan-kawasan lain. Karena itulah diharapkan ada sekolah kawasan sehingga beberapa tahun ke depan dia mentarget seluruh sekolah di Jombang memiliki keunggulan tersendiri laiknya RSBI. aditya eko / fitrotul aini
أحدث أقدم