Usaha salak galengdowo pun semakin menjanjikan. Tahun ini perkembangan luas tanam salak cukup tinggi mencapai 30 hektar yang dari awalnya hanya 5 sampai 10 hektar saja.

WONOSALAM, MSP – Indonesia adalah sebuah negara beriklim tropis yang kaya akan buah-buahan tropika. Banyak sekali jenis buah-buahan berkualitas yang terdapat di negara kepulauan ini serta memiliki potensi untuk menjadi komoditas berkualitas internasional. Salah satu jenis buah tropis unggulan yakni buah salak.

Di Kabupaten Jombang sendiri tepatnya di Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, salak merupakan komoditas unggulan hasil budidaya pertanian setempat. Salak Galengdowo, demikian pemberian nama untuk buah salak dari Varietas Pondoh Lumut tersebut juga menjadi ikon dari desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kediri tersebut.

Kepala Desa Galengdowo, Wartomo, S.Sos mengungkapkan, “Setelah bertahun-tahun dibudidayakan dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar, salak pondoh di Desa Galengdowo memiliki cita rasa yang khas berbeda dari induk asalnya berasal dari Jawa Tengah. Salak Galengdowo berukuran besar, dengan tekstur tebal renyah dan berair manis.”

Selain disebabkan faktor tekstur tanahnya baik, tambah Wartomo, ketersediaan pupuk kandang yang melimpah dari peternak sapi perah juga menjadi penyebab utama dari pertanian salak ini menjadi bagus. Disisi lain, petani salak yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Galengdowo sejak empat tahun terakhir menerima pendampingan budidaya salak melalui pembuatan Standard Operational Procedure (SOP) dan pelaksanaan aplikasi Good Agriculture Practices (GAP) untuk buah salak.

“Pertanian salak kemudian mulai berangsur-angsur mengalami perubahan dan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini tentu berasal dari kerja keras petani dalam menerapkan prinsip GAP di kebun salak masing-masing,” kata Wartomo ketika ditemui di kantornya.

Salah satu petani buah bernama ilmiah Salacca zalacca, Sutar, mengatakan bahwa penanaman salak di Desa Galengdowo menggunakan sistem cangkok atau bisa disebut dengan cara vegetatif, yakni tidak berasal dari biji, namun bagian lain dari tumbuhan. Keuntungan model penanaman ini pun beragam, mulai dari perkembangbiakannya cepat menghasilkan buah; hasil buah akan sama dengan sifat induknya; dan sifat induk dapat dipertahankan sampai keturunan selanjutnya.

“Penggunaan jenis bibit sangat berpengaruh pada kecepatan berbuah suatu tanaman. Jika bibit diperoleh dengan cara generatif, akan memerlukan waktu yang lama untuk berbuah. Sebaliknya jika bibit berasal dari vegetatif tanaman akan cepat berbuah, karena tumbuhan sudah memiliki organ tubuh yang lengkap yaitu akar, batang, dan daun,” papar Sutar sambil menunjukkan pohon salaknya.

Jarak yang dipakai untuk menanam salak pun diperhatikan Sutar agar menghasilkan kualitas buah secara maksimal. Setiap pohon salak ia beri jarak 2 x 2 meter, selain itu penambahan urin kelinci, leri, tetes dan air kelapa juga dilakukannya untuk menambah kandungan tanah supaya semakin bagus digunakan berkebun.

“Salak Galengdowo memiliki beberapa macam tipe. Mulai dari yang kecil, biasa, dan super. Itu tergantung dari ukuran salak, tetapi rasanya sama. Kualitas kecil per kilogram (kg) berisi 16 buah salak, jika super per kg berisi 6 sampai 7 buah. Ukuran salak bisa diprogram ketika salak masih berada di pohonnya dengan cara mengurangi jumlah salak,” jelas Sutar pemilik 700 pohon salak itu.

Usaha salak galengdowo pun semakin menjanjikan. Tahun ini perkembangan luas tanam salak cukup tinggi mencapai 30 hektar yang dari awalnya hanya 5 sampai 10 hektar saja. Petani yang berminat menanam salak pun bertambah banyak, terhitung terdapat 112 petani salak di Desa Galengdowo, menurut data yang disampaikan Wartomo. Prestasi Gapoktan Galengdowo dalam menjuarai Lomba Tingkat Provinsi pada kategori Agribisnis buah di tahun 2017, rupanya mampu memberi korelasi positif bagi meningkatnya harga jual salak. Awalnya hanya 4000 rupiah per kg, sekarang menjadi 9000 rupiah per kg. aditya eko
أحدث أقدم