Ponpes Tambak Beras bermula sebuah rumah gubuk di tengah hutan yang didirikan Mbah Abdus Salam atau Mbah Sehah atau Mbah Shoihah sekitar tahun 1825. Mbah Abdus Salam merupakan ulama dan pendekar sakti mandraguna sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro.

Judul Buku : Tambak Beras, Menelisik Sejarah Memetik Uswah

Penulis : Tim Sejarah Tambak Beras (Heru Najib, dkk)

Penerbit : Pustaka Bahrul Ulum Jombang

Tahun Terbit : Juni 2017

ISBN : 978-602-50064-0-1

Halaman : xiii + 467

Secara garis besar buku ini berisi 184 judul yang terangkum dalam 3 bagian yaitu akar sejarah 6 judul, rintisan sejarah 15 judul, dan mozaik 163 judul. Buku ini ditulis oleh tim yang bekerja sekitar satu tahun dengan mendapatkan kontribusi tulisan dari banyak tokoh, antara lain: KH.Musthofa Bisri, KH. Muchid Muzadi, KH. Nasir Fattah, H.Abdul Munim DZ dan masih banyak lagi. Terhampar kisah penting penuh hikmah dalam buku ini, dan tentunya ini sangat menarik serta apik sebagai referensi saat sebuah pondok pesantren menjadi sebuah subyek penulisan sejarah.

Selain model kajian tokoh pesantren, model tematik manajemen pendidikan pondok pesantren (Ponpes), ataupun kajian bermahfum dunia sastra yang hidup di pesantren juga terpapar di buku ini. Terlebih banyak kisah yang tersembunyi turut masuk dalam banyak judul, sehingga buku membuka pengalaman bagi pembaca yang tertarik untuk mengetahui, memahami, dan mengungkap sisi dalam dari dunia ponpes di berbagai wilayah.

Ponpes Tambak Beras sebenarnya bernama Bahrul Ulum. Namun biasanya dunia pesantren banyak dikenal bukan dari nama Arabnya, justru dikenal dari nama kampung dimana pesantren tersebut berada. Pada bagian pertama, buku ini mengawali dengan judul ngGedang Njero, ngGedang Njobo dan ngGedang Kulon.

Judul awal yang berlogat Jawa tersebut berbanding lurus dengan akar sejarah awal Ponpes ini. PonpesTambak Beras bermula sebuah rumah gubuk di tengah hutan yang didirikan Mbah Abdus Salam atau Mbah Sehah atau Mbah Shoihah sekitar tahun 1825. Mbah Abdus Salam merupakan ulama dan pendekar sakti mandraguna sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro. Selepas tertangkapnya Pangeran Diponegoro (1830), beliau mengembangkan keilmuannya di wilayah hutan yang bernama Gedang (orang Jawa menyebutnya Nggedang).

Tempat Mbah Abdus Salam ini kemudian dikenal dengan sebutan Nggedang Njero (Gedang bagian dalam), setelah itu Mbah Usman (menantu Mbah Abdus Salam) mendirikan padepokan baru di sebelah selatan yang disebut Nggedang Njobo (Gedang bagian luar). Selanjutnya Mbah Said menantu lainnya juga mendirikan padepokan baru di sebelah barat yang dikenal sebagai Nggedang Kulon (Gedang bagian barat).

Secara garis keturunanya, Ponpes Tambak Beras memiliki hubungan dengan Ponpes Tebuireng Jombang. Mbah Abdus Salam memiliki 10 putra dan putri. Salah satu putrinya, Nyai Layyinah dipersunting oleh Kyai Usman. Pasangan Kyai Usman dan Nyai Layyinah ini memiliki anak diantaranya Nyai Winih atau Nyai Halimah. Nyai Winih ini dipersunting oleh Kyai Asy’ari. Pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Winih inilah yang kemudian menurunkan Kyai Hasyim Asy’ari Pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Dengan demikian, Kyai Hasyim Asy’ari merupakan buyut dari Mbah Abdus Salam.

Mbah Abdus Salam juga memiliki putri bernama Nyai Fatimah. Nyai Fatimah ini dipersunting oleh Kyai Said. Pasangan Kyai Said dan Nyai Fatimah ini menurunkan Kyai Hasbulloh. Kyai Hasbulloh menikah dengan Nyai Lathifah putri dari Kyai Abdul Wahab Tawangsari. Pasangan Kyai Hasbulloh dan Nyai Lathifah ini antara lain menurunkan tokoh nasional Kyai Abdul Wahab Hasbulloh (Mbah Wahab).

Mbah Wahab adalah salah satu tokoh yang mempunyai keahlian relatif lengkap. Ulama, politisi, pendekar pencak yang memiliki banyak ilmu kesaktian. Pada masa penjajahan Jepang Mbah Wahab mengumpulkan 200 tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Masjid Kauman Jombang untuk digembleng dalam bidang rohaninya dengan diberi ijazah Hizbur Rifai, Sholawat Kamilah, Hizbulbahr dan lainnya.

Setelah membaca buku ini pembaca akan mendapatkan referensi yang komplit tentang sejarah Ponpes Tambak Beras. Bahkan banyak judul yang menunjukkan sisi sejarah Indonesia, seperti Mbah Wahab; Pancasila dan Negara Islam (hal. 68), Perjanjian Renville dan Melafalkan Niat (hal. 77), Sahnya NKRI dan Pemimpinnya (hal. 96), Usilnya Gus Dur (hal. 160), termasuk terkait dengan keberadaan NU dan tokoh pesantren lainnya. Bahkan buku ini juga memuat sejumlah judul yang menunjukkan bagaimana ilmu hikmah dunia pesantren, seperti judul Serban Sakti Mbah Wahab (hal. 138), Takluknya Warok Muso (hal. 271) dan lainnya. aditya eko
أحدث أقدم