Kepiawaiannya dalam menabuh kendang sudah dia tekuni sejak tahun 1963 silam. Ketika itu Sutrisno masih berusia 16 tahun. Dirinya menyukai alat musik kendang dikarenakan suara yang dihasilkan mampu membuat dirinya terpukau.

MEGALUH – Tidak salah jika Sutrisno disebut sebagai maestro kendang. Kepiawaiannya menabuh sekaligus serta pengalamannya bermain di berbagai pentas, mulai dari tingkat desa hingga luar kota membuatnya pantas mendapat julukan ini.

Sutrisno Pahing begitu sapaan akrabnya juga termasuk salah satu penggiat seni tradisi yang ikut melestarikan jenis kesenian tetabuhan ini. Sejak berusia remaja hingga saat ini 71 tahun, dia tidak pernah berhenti bermain kendang. Menjaga kesenian ini tetap hidup dan digemari, dia dengan tekun mengajarkan cara bermain kendang kepada siapa pun, mulai dari tetangga, keluarga, hingga orang lain yang ingin belajar.

Kepiawaiannya dalam menabuh kendang sudah dia tekuni dari tahun 1963 silam. Ketika itu Sutrisno masih berusia 16 tahun. Dirinya menyukai alat musik kendang dikarenakan suara yang dihasilkan mampu membuatnya terpukau.

“Sebelum menekuni alat musik kendang ini, dahulu saya sempat merantau ke Kalimantan dan menjadi buruh ternak. Dari dulu saya tidak pernah sekolah. Namun sebelum tahun 1963 saya kembali ke Jawa dan tertarik menekuni kesenian kendang ini,” kata bapak satu anak itu.

Selain suara yang dihasilkannya mampu membuat Sutrisno terpukau, hal lain yang membuatnya menekuni alat musik dari Jawa Barat dan Jawa Timur ini adalah pada waktu itu upah pemain kendang dalam suatu pertunjukan termasuk tinggi jika dibandingkan dengan pemain alat musik yang lain. Oleh karena itu tekatnya belajar kendang semakin besar.

“Guru kendang saya dulu adalah Mbah Sangkem asal Kelurahan Kepuhrejo, Kudu. Tetapi sekarang beliau sudah almarhum. Kendangannya mantep (mantap), sebab itu saya ingin menjadi muridnya. Saat itu saya tidak memiliki uang, saya berusaha mencari kayu arang dari hutan dan menjualnya, hasilnya saya belikan jagung, ikan klotok, terong, dan cabe yang nantinya saya kasihkan kepada keluarga Mbah Sangkem. Itu sebagai ucapan terima kasih saya,” ungkap Sutrisno ketika ditemui di kediamannya.

Karir Sutrisno dalam dunia kendang mulai melejit sejak 1968 sampai sekarang. Sejak itu dirinya tergabung dalam beberapa kesenian Ludruk di Jombang seperti Ludruk Gema Budaya, Bintang Baru, dan lainnya. Sekarang dirinya juga memiliki ludruk sendiri yang diberi nama Ludruk Trisno Budaya. 


Kendang Jombangan

Seperti kesenian kendang pada umumnya. Jombang juga memiliki tabuhan khas tersendiri. Hal itu juga diungkapkan oleh Sutrisno. Dirinya mengaku yang menciptakan pertama kali irama kendang Jombangan adalah sang guru Mbah Sangkem yang kini diturunkan kepada dirinya.

“Pakem dan iramanya jelas berbeda dengan yang lain. Orang-orang daerah Timur-an (Surabaya) menyebutnya Kendang Tugel. Disebut seperti itu karena kendang Jombangan terdapat unsur Kendang Cokro, Junjang, Gondo Kesumo, dan Ayak. Kendang Jombangan itu Kedah kenceng (Cepat), jika Kempyang dapat satu, Gedug juga dapat satu. itu bakunya,” jelas Sutrisno sambil mempratikkan menabuh kendang.

Namun pada masa dulu, tambahnya, orang-orang tidak menggunakan notasi dikarenakan tidak ada yang paham. Dirinya pun jika tidak paham akan notasi, hanya sekedar mendengarkan dan langsung jadi. Untuk belajar kendang Jombangan ini harus bertanya kepadanya dan mendengarkan langsung seperti apa ciri khas iramanya.

Selain itu salah satu cara membuat permainan kendang bisa lebih dinikmati dan diminati adalah berkreasi dengan berbagai gaya. Di antaranya banyak penabuh kendang memang punya ciri khas sendiri, terutama saat pertunjukan. Terkadang disertai atraksi yang kerap mengundang senyum, bahkan tawa. aditya eko
أحدث أقدم