Republik Air Indonesia (RAI) dari Rumah Baca Air Kita bekerjasama dengan komunitas pelestarian seni budaya dan masyarakat Dusun Kedungsari, Desa Kendalsari, Sumobito mengadakan acara Kenduri Seni Rupa Wayang Beber Indonesia.

SUMOBITO – Bukan hisapan jempol belaka bila keragaman seni dan budaya Indonesia sangat luar biasa banyaknya. Hal itu tak lepas dari latarbelakang bangsa ini yang merupakan negara kepulauan. Menyebabkan banyaknya corak seni budaya yang berkembang di masing-masing pulau dengan suku bangsa yang berbeda-beda.

Namun kekayaan seni budaya ini bila tidak dilestarikan maka dengan sendirinya akan punah. Dikarena sudah ditinggalkan oleh pelakunya sendiri. Ditambah gencarnya perkembangan zaman sehingga merubah banyak paradigma kehidupan sosial-kultural di masyarakat. Tengok saja Wayang Beber dan Gambus Misri, bisa jadi generasi milenial tidak mengenal kesenian tradisi yang pernah moncer di zamannya.

Kini keberadaannya pun tidak terendus sebab minimnya peminat serta penerus sehingga jarang ditampilkan. Kalaupun ada itu juga diakibatkan adanya kerja tertentu seperti sebuah studi atau penelitian ilmiah.


Baca Juga :
Seleksi Calon Kepala Sekolah 2019 Gembleng Gunakan Metode Baru

Menyoal permasalahan tersebut, Republik Air Indonesia (RAI) dari Rumah Baca Air Kita bekerjasama dengan komunitas pelestarian seni budaya dan masyarakat Dusun Kedungsari, Desa Kendalsari, Sumobito mengadakan acara Kenduri Seni Rupa Wayang Beber Indonesia yang diadakan pada tanggal 5-6 Okteber 2019. Kegiatan tersebut memadukan dua kearifan lokal yaitu Wayang Beber dan Gambus Misri yang berbagi visi kreativitas dan pelestariannya.

Founder Komunitas Rumah Baca Air Kita, Purwanto, menjelaskan bahwa pengambilan dua kearifan lokal tersebut dikarenakan kesenian Wayang Beber dan Gambus Misri dinilai sudah punah dan tidak ada penerusnya lagi. Oleh sebab itu kegiatan seni kebudayaan tersebut harus dilestarikan agar masyarakat tergerak dan dapat meneruskan kebudayaan itu.

“Dilaksanakan di sini karena dahulu di Desa Kedungsari ini terdapat kelompok Gambus Misri Bintang Sembilan. Uniknya kelompok ini sebagian besar personilnya tinggal di dusun ini dan sekarang lebih kurang tujuh puluh persen masih hidup namun usianya sudah lanjut,” imbuh Purwanto saat ditemui di acaranya.

Kegiatan yang dilaksanakan tersebut merupakan hasil dari gotong royong dan semangat masyarakat setempat, bahkan tidak ada bantuan dari pemerintahan. Meski seperti itu acara kenduri seni rupa ini berjalan meriah, seniman-seniman dari beberapa kota di Indonesia juga hadir. Terlebih seniman dan juga pecinta budaya Indonesia asal Hongaria, Peter Szilagyi turut memeriahkan acara tersebut.

“Tidak hanya pertunjukan seni saja, kami juga mengajak institusi pendidikan jenjang SD/SMP untuk ikut melestarikan kesenian tersebut. Peserta didik dikenalkan secara langsung tentang kesenian wayang beber juga cara menggambarnya. Kegiatan ini sudah kami persiapkan sejak setahun yang lalu,” tegas Purwanto.

Salah seorang warga Desa Kedungsari, Suprapto mengaku senang dengan adanya acara uri-uri budaya yang telah punah tersebut. Terlebih acara yang diselengarakan melibatkan semua elemen masyarakat yang ikut andil dalam persiapan dan penampilan kenduri seni rupa.

“Mengenai dana saya kurang tahu dari mana. Tetapi masyarakat Dusun Kedungsari tidak dipungut biaya sama sekali untuk acara ini. Kami (warga) hanya diminta gotong royong untuk mempersiapkannya,” kata Suprapto ketika menghadiri acara Kenduri Seni Rupa.


Pelestarian Budaya

Wayang beber adalah salah satu warisan budaya non-bendawi bangsa Indonesia yang kini berada di ambang kepunahan. Keberadaan wayang beber dikenal pada abad ke-13 di era Kerajaan Jenggala dan berkembang di era masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Saat ini artefak wayang beber tertua yang terbuat dari kertas tersimpan di Desa Gedompol, Kecamatan Donorejo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan desa Gelaran, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Jawa Tengah.

Peter Szilagyi, laki-laki yang juga meneliti budaya Panji tersebut mengatakan bahwa, untuk melestarikan kesenian wayang beber tidak mudah. Hambatan faktor linguistik bahasa lokal (Jawa) dan minat anak muda untuk belajar gamelan juga masih sedikit. Bagi generasi milenial saat ini yang hidup dalam kebudayaan digital, benar-benar tidak mudah untuk melestarikan wayang beber sesuai aslinya. Perubahan kebudayaan dari masa ke masa memerlukan strategi tersendiri dalam pelestarian wayang beber.

“Strategi yang saya rasa paling ampuh adalah dengan memperkenalkan kepada anak-anak pada saat ini. Perkenalkan dahulu, lama-kelamaan jika sudah cinta maka mereka akan suka dan mempelajarinya. Tetapi ini juga harus ada pendampingan dari pegiat-pegiat seni, guru dan pemerintah. Sayang kalau kesenian dibiarkan punah,” tegas Peter Szilagyi.

Tak terkecuali kesenian Gambus Misri yang juga harus dilestarikan. Gambus Misri merupakan orkes gambus yang banyak mengandalkan lagu-lagu Mesir. Komidi Stambul (Istambul) yang populer pada awal abad ke-20 terbilang banyak mengangkat lagu-lagu Mesir. Gambus Misri merupakan representasi kesenian kaum santri di Jombang. Oleh karena itu, mulanya cerita yang dibawakan Gambus Misri merupakan cerita yang bernafaskan keislaman.

Terpendamnya Gambus Misri sejak dasawarsa 1980-an merupakan fenomena hilangnya salah satu kekayaan budaya Jombang yang patut disayangkan. Oleh karena itu, upaya penggalian kembali, merekonstruksi, dan merevitalisasi merupakan langkah positif yang harus didukung oleh semua stakeholders kesenian Jombang.

“Seperti halnya di Dusun Kedungsari ini. Kelompok gambus misri harus dihidupkan kembali. Jika menengok sejarah kesenian disini, gambus misri di dusun ini sedah ada sejak tahun 1950-an yang bernama Al-Qomar. Kemudian sempat mati dan dilanjutkan oleh Pak Saiman pada tahun 1963 yang diberi nama Bintang Sembilan,” ujar Purwanto

Namun keseian ini mati pada tahun 1980-an, tambahnya. Untuk itu pihaknya berusaha melestarikan kesenian tersebut dibarengi dengan kesenian wayang beber. Dalam mengajak pelaku seni tersebut tidak mudah, pasalnya para pelaku sudah berusia lanjut dan memiliki pekerjaan lain.

“Kebanyakan mereka merasa malu untuk menampilkan kesenian gambus misri karena berbagai hal. Namun kami sering mengajak bertamu dan berdiskusi, akhirnya mereka luluh dan mau kembali melestarikan kesenian tersebut,” lega Purwanto sambil tersenyum.

Pada akhir kegiatan tersebut, pelaku gambus misri Bintang Sembilan berikrar bahwa mereka sanggup melestarikan kesenian tersebut kepada pemuda dan anak-anak di Desa Kedungsari. Mereka juga berharap kesenian tradisional akan terus ada dan tidak punah. aditya eko
أحدث أقدم