WONOSALAM – Udara dingin dan kabut putih mulai turun dari kaki gunung Anjasmoro. Suasana asri khas daerah pegunungan pun menyelimuti Desa Wonomerto pada pagi itu. Terlihat beberapa orangtua mengantarkan anaknya ke sekolah dan ada beberapa peserta didik yang berjalan kaki untuk menuju ke SDN Wonomerto I Wonosalam. Bel pertama berbunyi menunjukkan kegiatan pembelajaran akan dimulai. Seluruh peserta didik bergegas masuk ke kelas masing-masing.

Tak lama setelah suasana menjadi hening, terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran yang terdengar dari ruang kepala sekolah. Beberapa peserta didik ternyata mendapatkan giliran untuk tadarus yang dilaksanakan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai.

Memberikan keseimbangan dalam bidang agama dan pendidikan umum di SDN Wonomerto I Wonosalam sudah diterapkan sejak beberapa tahun terakhir. Setiap pagi, sebelum peserta didik mengikuti proses pembelajaran diharuskan tadarus atau membaca Alquran sekitar dua puluh menit hingga setengah jam mulai pukul 07.00 hingga 07.30 WIB.

Baca Juga: Mutu Sekolah di Genggaman Kepala Sekolah

“Mewajibkan peserta didik membaca Alquran menjadi kebiasaan di sekolah ini. Setiap pagi empat hingga lima peserta didik tadarus dengan menggunakan pengeras suara agar di dengar oleh semua warga sekolah. Pelaksanaan baca Alquran pagi hari itu dilaksanakan setiap Hari Selasa sampai Sabtu dan dipandu oleh guru di sekolah tersebut. Sedangkan hari Senin dilaksanakan upacara bendera,” ujar Kepala SDN Wonomerto I Wonosalam, Hayatul Mustafid, S.Pd.

Secara tidak langsung kebiasaan ini sangat bermanfaat tidak hanya untuk peserta didik tetapi juga untuk gurunya. Selain itu dengan kebiasaan mengaji akan memberikan rasa tenang dan tentram sebelum melaksanakan pembelajaran. Bagi peserta didik yang belum bisa mengaji di sekolah diadakan kegiatan Baca Tulis Quran (TPQ) atau belajar Iqra.

“Setelah selesai pelajaran formal, dilanjutkan dengan melaksanakan salat berjamaah, sehingga diharapkan peserta didik di SD selain mendapat pendidikan formal juga mendapat pendidikan agama dengan harapan selain unggul dalam seluruh keilmuan,” kata ayah dua anak tersebut.

Meski berada di pegunungan, namun kendala yang dihadapi di sekolah yang memiliki jumlah peserta didik sembilan puluh sembilan ini adalah sering kekurangan air. Tak ayal terkadang jika ingin ke toilet, peserta didik dan para guru harus menumpang ke rumah masyarakat sekitar sekolah.

“Terkadang untuk mengambil air wudlu pun juga menumpang. Karena di sini menggunakan pipa dari sumber air,” terang Hayatul Mustafid.

Tetapi berbeda jika musim penghujan seperti pada saat ini, lanjutnya. Kondisi sekolah yang berada lebih rendah dari tanah persawahan di sebelahnya, membuat air dapat merembas ke dinding dan lantai bangunan sekolah. Akibatnya bangunan menjadi lembab sehingga menjadikan cepat rusak.

“Sudah kami tangani dengan membuat saluran air dan dinding pembatas, tetapi masih saja ada beberapa ruangan yang lembab. Seperti halnya di Perpustakaan ini. Jika hujan, ruangan ini penuh dengan air dan tanah,” kata laki-laki asal Kabupaten Malang itu.

Selain itu, rayap juga banyak menyerang buku-buku yang ada di perpusatakan sekolah tersebut. Hasilnya banyak buku-buku bacaan yang rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Namun untuk buku yang masih bagus, kepala sekolah menyarankan untuk meletakkannya di sudut baca setiap ruangan kelas agar tidak terkena rayap dan peserta didik lebih dekat dengan buku bacaannya.

Reporter/Foto: Aditya Eko P.
أحدث أقدم