JOMBANG – Gedung Kesenian Jombang kembali menggema. Ruang rindu akan teater
memuncak di hati para penikmat seni. Bukan sekadar nostalgia melainkan perayaan
atas hadirnya kembali panggung yang lama dinantikan.
Malam itu, sorot
lampu membentuk lingkar cahaya di atas panggung, seakan mengundang setiap
tatapan untuk menyelami kisah dalam “Darpana”, sebuah lakon yang mengajak
penonton menelusuri batas antara kenyataan dan bayangan. Begitu tirai terbuka,
istana megah terpampang nyata, kursi singgasana raja bak menyapa penikmat
drama. Para pemain mengenakan kostum bergaya pewayangan, lengkap dengan kain
bermotif dan riasan wajah yang menegaskan karakter mereka, terinspirasi dari
kisah Ramayana.
Lalu, sindiran
halus terhadap pemerintah pun tak kalah menyentak andai taulan. Meski begitu,
sindiran itu sesekali disisipi oleh kekocakan Kidang Alit yang diperankan oleh
Cak Ukil. Lewat mimik wajah dan gerak tubuh yang luwes, ia berhasil mengajak penonton
bergantian untuk tertawa dan merenung.
Namun, di balik
simbol kerajaan yang membuka drama, ternyata itu hanya khayalan Aryo – kepala
keluarga yang selalu mendambakan romantisme masa lalu kejayaannya. Dalam lakon
itu, Aryo menyebut dirinya sebagai Raja di Raja Dasamuka. Tragisnya, Aryo akhirnya
dipapah ke rumah sakit jiwa di akhir cerita.
Naskah Darpana
berakar dari karya legendaris Nano Riantiarno berjudul Maaf, Maaf, Maaf. Di
tangan penulis naskah, Fandi Ahmad, kisah itu diolah menjadi lebih membumi dan
relevan dengan kehidupan masyarakat masa kini, dengan sekitar 60 persen
struktur asli dipertahankan.
“Naskah ini update
sepanjang masa, bisa dipentaskan kapan pun karena situasi-situasi di naskah ini
masih relate dengan kondisi kekinian. Semua orang bisa saja dijangkiti
‘penyakit’ ilusi seperti tokoh utamanya, dan ini sebenarnya adalah kaca untuk
diri sendiri bahwa hidup harus ada yang diperjuangkan. Semua pasti ada masanya,
dan semua pasti ada waktunya” sebut Fandi Ahmad, usai pementasan, Jumat (31/7).
“Darpana berasal dari bahasa Sanskerta, yang
artinya cermin atau kaca. Banyak dari kita yang lupa untuk berkaca – atau lebih
tepatnya, introspeksi diri,” imbuhnya.
Sutradara Darpana,
Imam Ghozali AR, menambahkan bahwa proses perancangan pementasan dimulai sejak
Mei 2025. Pemilihan pemain memakan waktu cukup lama karena melibatkan berbagai
strategi.
“Ada beberapa
strategi casting yang kami lakukan, baik pertimbangan fisik, kemampuan,
dan terapi casting. Dari ketiga casting itu, kecenderungan saya
melakukan jenis pertama dan kedua. Namun, ada satu aktor yang saya gunakan
terapi casting,” ungkap pensiunan guru SDN Bethari itu.
Bagi para
penonton, Di balik tawa dan satire Darpana, terselip pesan bahwa ilusi bisa
menjebak siapa saja, dan kesadaran diri adalah kunci untuk keluar darinya.
Malam itu, Gedung Kesenian Jombang bukan hanya ruang seni, tetapi juga ruang perenungan,
tempat setiap orang diajak untuk berkaca, sebelum terlambat. Reporter: Dimas B. Aditya/*