Lutfi Amiruddin *)
Masih
saja kita temui kesalahkaprahan dalam penggunaan diksi Bahasa Indonesia kita,
baik dalam tulisan ilmiah, maupun populer. Salah satunya justru ada dalam
tulisan berjudul Adakah yang Salah dengan Penggunaan Diksi Bahasa Indonesia
Kita? karya Dian Roesmiati yang dimuat dalam rubrik Teleskop Majalah Suara
Pendidikan Edisi 55 Maret 2017 lalu. Pada bagian awal tulisan itu, Roesmiati
memberikan analisis mengenai pembentukan frasa “serangan jantung” yang memiliki
makna serangan yang berubungan dengan (organ) jantung. Frasa ini berasal dari
Bahasa Inggris; heart attack yang
sama maknanya (hal. 33). Lalu, Roesmiati berlanjut dengan analisis kata yang
terbentuk karena penambahan awalan, kata penghubung, dan kata serapan.
Dalam
pandangan saya, tak ada yang janggal dengan contoh-contoh yang disajikan oleh
Roesmiati tersebut, kecuali pada kata anarkis. Dalam tulisan tersebut,
nampaknya Roesmiati terjebak dalam penggunaan kata serapan anarkis, hingga pada
gilirannya salah kaprah dalam penggunaan contoh dalam kalimat. Pada bagian awal, dia memberikan definisi
akar kata anarkis. Roesmiati menyatakan bahwa:
“kata anarkis berasal dari Bahasa Inggris anarchist yang bermakna penganjur/
penganut paham anarkisme atau orang yang bertindak anarki. Dari pengertian
tersebut, ternyata kata anarkis bermakna ‘pelaku’, bukan ‘sifat anarki’. Kata
anarkis sejalan dengan kata pianis (pemain piano)”(hal. 34).
Kemudian,
Roesmiati memungkasinya dengan saran penggunaan contoh kata anarkis dan
anarkistis dalam kalimat (hal 34):
(1a) Para demonstran diharapkan tidak melakukan tindakan anarkistis.(2) Pemerintah mengingatkan masyarakat agar tidak berlaku seperti kaum anarkis dalam
melakukan unjuk rasa.
Dari
dua bagian di atas; definisi dan contoh, menjadi titik salah kaprah yang
dilakukan Roesmiati, yang menurut saya justru menjauhkan dari definisi apa itu
anarkis dan anarkisme serta penggunaannya dalam kalimat. Contoh (1a) yang
disajikannya seolah-olah menggambarkan bahwa tindakan anarkis bermakna sebagai
tindakan yang tidak diharapkan. Boleh jadi tindakan tersebut berupa tindakan
kekerasan, atau tindakan perusakan. Pun demikian dengan kalimat (2) “berlaku
seperti kaum anarkis” seolah-olah selalu melekat pada para pelaku unjuk rasa.
Lalu
pertanyaan saya, apa sebenarnya anarkis, anarkistis, dan anarkisme itu? Siapa
sebenarnya kaum anarkis ini? Apakah para demonstran itu penganut paham
anarkisme?
Melalui
pertanyaan-pertanyaan itu, saya menelusuri akar kata anarki, anarkis, dan
anarkisme. Anarkis berasal dari Bahasa Yunan archos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Kata tersebut
mendapatkan imbuhan a- dan sisipan /n/ yang berarti tanpa atau tidak. Maka, anarchos berarti tanpa pemerintahan. Kemudian
kata anarkis diserap dalam Bahasa
Inggris menjadi anarchist, yang
berarti orang yang menganut ajaran anarki.
Sedangkan anarkisme dimaknai sebagai ideologi atau pandangan tentang
masyarakat tanpa negara.
Setelah
saya menulusuri akar kata tersebut, kemudian saya menacari buku-buku yang
berhubungan dengan anarki, anarkis, dan anarkisme. Ada dua buku yang saya
jadikan sebagai rujukan. Pertama, buku berjudul Bakunin On Anarchist, Selected
Works by The Activist Founder of World Anarchism (1971), berisi kumpulan
tulisan Michael Bakunin, seorang filosof kelahiran Rusia abad 19, dikenal
sebagai penganjur paham anarkisme. Buku tersebut disunting oleh Sam Dolgoff. Buku
kedua berjudul The Art of Not Being Governed, an Anarchist History of Upland
Southeast Asia (2009), karya James C. Scott, seorang professor dari Universitas
Yale, Amerika Serikat.
Buku
pertama berisi kumpulan tulisan dan surat-surat Bakunin kepada para koleganya.
Dalam buku itu, dia menyoroti kondisi masyarakat di negara-negara Eropa, dengan
mengkritik konsep negara. Dia menganjurkan bahwa seharusnya masyarakat memiliki
hak yang sama, namun negara dan pemerintahanlah yang merampas itu. Maka, dia
menyarankan masyarakat seharusnya lebih mandiri, tanpa membutuhkan kehadiran
negara. Tanpa eksistensi negara, masyarakat tidak dibeda-bedakan secara
hirarkis, dan kebebasan individu terjamin.
Sedangkan
buku kedua, berisi tulisan Scott yang berasal dari penelitiannya tentang
masyarakat Zomia. Masyarakat ini adalah petani yang hidup di dataran tinggi
yang berada di antara wilayah China, Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, dan India.
Dia menemukan bahwa komunitas petani ini nyatanya bisa menghidupi diri tanpa
campur tangan negara. Dengan memanfaatkan potensi pertaniannya, mereka juga mampu
hidup di tengah gempuran pasar. Jika kita tilik lebih jauh, komunitas petani
ini lebih mirip Orang Samin di Jawa Tengah, atau Baduy Dalam di Banten.
Lalu,
apa hubungan antara anarki, anarkis, dan anarkisme dengan pengunjuk rasa? Dari
penelusuran akar kata dan dua buku di atas, saya berkesimpulan bahwa anarki,
anarkis, dan anarkisme, justru tidak ada sangkut-pautnya dengan “tindakan para
pengunjuk rasa” sebagaimana yang dicontohkan oleh Roesmiati. Pun demikian,
istilah-istilah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindakan demonstran
yang cenderung destruktif.
Dari
contoh di atas, sepertinya Roesmiati terjebak dalam penggunaan istilah yang
sering kali direproduksi oleh media massa. Seperti jamak terjadi, aksi
demonstrasi yang terjadi di Indonesia berkecenderungan lekat dengan tindakan
perusakan. Dari hal tersebut, media sering menggunakan kata anarkis secara
salah kaprah. Para pengunjuk rasa yang melakukan tindakan perusakan ini
disebutkan sebagai sekelompok orang yang “melakukan tindakan anarkistis”.
Maka,
dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa masih terjadi praktik salah
kaprah dalam penggunaan diksi dalam Bahasa Indonesia kita. Secara spesifik,
kesalahkaprahan ini terjadi dalam penggunaan kata anarki, anarkis, dan
anarkisme. Namun, ironisnya, salah kaprah kali ini justru terjadi pada artikel
yang mempertanyakan penggunaan diksi Bahasa Indonesia.
Pustaka Acuan
Bakunin,
Michael. 1971. Bakunin on Anarchist,
Selected Works by the Activist Founder of World Anarchism. Sam Dolgoff (Ed).
New York. Vintage Books.
Scott,
James C. 2009. The Art of Not Being
Governed: an Anarchist History of Upland Southeast Asia. Yale: Yale
University Press.
*) Peneliti dan dosen di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.