Awal cerita penggunaan bahasa Madura oleh mayarakat Desa Manduro sendiri berawal dari leluhur yang merupakan suku dengan darah asli Madura dari buangan Kerajaan Majapahit.

KABUH - Bukan cerita baru Desa Manduro dikenal sebagai desanya orang Madura. Tuntuan perkembangan zaman dan arus budaya yang kian meluas dengan akulturasi kerap menimbulkan berbagai ancaman bagi lestarinya budaya lokal. Namun berbeda, justru ancaman tersebut membuat masyarakat Desa Manduro yang terletak pada ujung Utara Kecamatan Kabuh ini semakin gencar mempertahankan bahasa lokalnya, yaitu bahasa Madura.

Awal cerita penggunaan bahasa Madura oleh mayarakat Desa Manduro sendiri berawal dari leluhur yang merupakan suku dengan darah asli Madura dari buangan Kerajaan Majapahit. Belum dapat dipastikan tetua yang pertama kali menginjakkan kaki pada alas perbukitan kapur tersebut berasal dari kalangan senopati, atau bahkan sudra. Begitu penjelasan Kepala Desa Manduro ketika ditemui di Kantor Kepala Desa, Jamilun (10/09).

Mayarakat Desa Manduro menggunakan bahasa lokal yaitu Bahasa Madura sebagai bahasa keseharian. Sejumlah anak kecil, dewasa, hingga kaum lanjut usia masih menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pokok. Namun hal tersebut kerap menjadi penghambat dalam berkomunikasi ke luar desa. Mengingat Manduro adalah satu-satunya desa di Jombang yang menggungakan bahasa Madura, tidak dengan desa-desa disekitarnya dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Sehingga pada dewasa ini para orang tua mulai mengajarkan Bahasa Jawa sebagai bahasa utama ketika anak mulai belajar berbicara.


Baca Juga : Digitalisasi UMKM Terganjal Penyesuaian Sistem

“Sejak usia dini, anak-anak TK, PAUD diajari Bahasa Jawa. Misalkan anak baru mulai belajar berbicara, orang tua mengajari Bahasa Jawa agar ketika nanti sudah sekolah atau keluar dari desa bisa berinteraksi dengan baik dengan masyarakat lebih luas. Akan tetapi, lama-kelamaan dengan natural mereka bisa sendiri menggunakan Bahasa Madura, mejadikan bahasa yang digunakan campuran Jawa Madura” ungkap Kepala Dusun Guwo, Desa Manduro ,Sapiin.

Namun disamping itu Jamilun juga turut angkat bicara mengenai Bahasa Madura yang sebaiknya dipertahankan, dilestarikan, pula diperjuangkan di tengah hapitan dari Bahasa Jawa yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jombang.

“Dulunya orang sepuh-sepuh menggunakan bahasa halus, kalau istilah Jawa bahasa Krama. Mungkin karena tergerus zaman, sesepuh sudah tiada. dari segi bahasa yang halus itupun kian luntur. Jadilah sampai sekarang bahasa halus sudah hilang dan tidak lagi digunakan, karena sesepuh pun tidak pernah mengajarkan/menurunkan kepada putra-putrinya.” Ungkap Jamilun

Mengingat Bahasa Madura yang dipakai secara umum pada Desa Manduro merupakan Bahasa Madura dengan tingkatan paling kasar (pojok kampungan). Hal ini juga berhubungan dengan leluhur atau para petua yang ternyata enggan menyampaikan pengetahuan mengenai tingkatan Bahasa Madura, mulai dari enja’ iya (serupa Ngoko, istilah Jawa), enggi enten (serupa Madya, istilah Jawa), dan enggi bunten (serupa Krama, istilah Jawa). Sehingga Bahasa Madura yang sendirinya memiliki Odengga Basa (istilah Madura dari ‘tingkatan bahasa’).

“Sampai saat ini saya mempunyai keinginan dalam hal kurikulum mata pelajaran saya harap ada muatan lokal Bahasa Madura. Kepengen strata Bahasa Madura diajarkan kepada generasi muda Manduro, agar tahu dan paham. Agar Bahasa Madura disini semakin berkembang bagus tidak kepaten obor. Bagaimanapun Jombang yang mempunyai satu-satunya keunikan berbahasa Madura disini harus dipertahankan juga diperjuangkan” pungkasnya.

alfaridza ainun hapsari
Lebih baru Lebih lama