Suparto seorang kakek yang bertempat tinggal di Desa Sukodadi, Kecamatan Kabuh ini berusaha tetap memeliharan keberadaan perwayangan. Dengan penuh kesabaran, kakek tersebut rajin membuat wayang.

KABUH, MSP –
Di masa lalu, kesenian tradisional wayang kulit pernah menjadi favorit atau primadona bagi masyarakat, utamanya masyarakat Jawa. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman, kerajinan tersebut terus ditinggalkan karena banyak generasi muda yang lebih memilih pertunjukan hiburan modern dan meninggalkan seni wayang.

Ini tidak hanya berdampak kepada keterpurukan dalang, penabuh kerawitan dan sindennya saja, melainkan juga berefek kepada perajin wayang kulit yang kian langka. Hanya beberapa pengrajin saja yang masih mempertahankan keeksisannya di tengah sedikitnya pesanan membuat wayang. Salah satunya adalah kakek berusia 72 tahun dari Kabupaten Jombang.

Namanya Suparto, kakek yang bertempat tinggal di Desa Sukodadi, Kecamatan Kabuh ini berusaha tetap memeliharan keberadaan perwayangan. Dengan penuh kesabaran, kakek tersebut rajin membuat wayang. Di usianya yang hampir sama dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia ini, berbekal alat seadanya yang ia buat sendiri dan berbahan dasar karpet talang pilihannya, dia masih terlihat piawai membuat aneka tokoh pewayangan.

“Awalnya saya berkeinginan membuat wayang dari lulang sapi, tetapi untuk mendapatkannya sulit dan mahal. Sekitar lima tahun yang lalu pada saat memperbaiki rumah, saya melihat ada sisa karpet talang. Dari situ saya mempunya ide membuat wayang dengan bahan karpet talang tersebut,” kata Suparto yang juga berprofesi sebagai tukang tambal ban.

Berbekal keterampilan dan kegemarannya membuat gambar wayang kulit sejak duduk di Sekolah Rakyat atau SR (sekarang Sekolah Dasar), menjadikannya mahir membuat wayang. Tetapi itu tidak berjalan lancar. Suparno menceritakan bahwa dahulu kegemarannya membuat gambar wayang tidak didukung oleh ayahandanya.

“Ayah saya seorang tukang cukur rambut. Beliau selalu marah jika saya membuat gambar wayang. Saya tidak tahu alasannya apa,” ucap kakek berpeci itu sambil mengucurkan air mata.

Namun dengan ketabahan hati dan cintanya terhadap seni pewayangan, dia tetap menekuninya hingga saat ini. Tidak hanya menggambar, melainkan juga membuat wayang. Dahulu Suparto sempat membeli wayang dari bahan kardus dan kemudian menjiplaknya. Tetapi menurutnya bahan tersebut tidaklah kuat dan gampang rusak.

Kakek kelahiran Kabupaten Pati, Jawa Tengah menjelaskan bahwa karpet talang lebih mudah dijumpai di toko-toko bangunan dan lebih awet jika dibandingkan kulit sapi atau kerbau. Harganya pun terjangkau. Pasalnya, wayang yang dia buat adalah untuk hiasan rumah, sehingga membutuhkan keawetan. Jika berbahan kulit lama kelamaan akan rusak karena keropos.

Di tangan Suparto, karpet talang yang biasa untuk menahan air di atap rumah, disulap menjadi wayang bernilai tinggi. Tidak jarang dia memanfaatkan karpet bekas untuk membuat karyanya. Kendati demikian, wayang buatan Suparto tidak kalah indah jika dibandingkan dengan wayang kulit pada umumnya. Dia pun mahir membuat aneka tokoh pewayangan.

Mulai dari tokoh Pandawa Lima yang terdiri dari Yudhistira atau Puntadewa, Bima atau Brotoseno, Arjuna atau Permadi, Nakula dan Sadewa, hingga tokoh Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong dan Togog.

Ayah tujuh anak tersebut berharap, ada generasi milenial yang tertarik untuk belajar membuat wayang kulit. Selama ini dia sudah mengajak beberapa pemuda di desanya tetapi tidak ada tanggapan selama ini. Di lain sisi, dia juga berharap pemerintah peduli dalam melestarikan kesenian wayang agar tidak semakin terkikis.

“Harus ada generasi penerus yang mau menekuni kerajinan dan kesenian ini, supaya kelak tidak punah,” tandasnya. aditya eko
Lebih baru Lebih lama