Kiai Subekti dan Mbah Buyut keduanya membutuhkan beberapa tahun membabat hutan jati hingga menjadi sebuah pemukiman penduduk seramai ini. Suatu ketika membabat alas, tidak semua pohon jati bisa ditebang habis.

DIWEK – Buncah sinar matahari tiada sampai kepermukaan. Ribuan pohon jati tumbuh dengan dedaunan nan lebat menutupi biru awan. Tidak membiarkan sedikit pun cahaya terselip diantara sela-sela yang mengangah. Begitulah gambaran Desa Jatirejo sebelum dibabat oleh Kiai Subekti dan Mbah Buyut.

Keduanya membutuhkan beberapa tahun membabat hutan jati hingga menjadi sebuah pemukiman penduduk seramai ini. Suatu ketika membabat alas, tidak semua pohon jati bisa ditebang habis. Namun masih banyak yang tersisa, termasuk pohon jati terbesar yang ada di tengah-tengah desa.

Salah satu warga Desa Jatirejo, Muhammad Rifa’i menuturkan, “Menurut cerita dari mbah saya, dulu tidak ada seorang pun yang mampu menebangnya. Banyak sekali kejadian yang aneh apabila ada yang mencoba menebangnya. Hingga akhirnya, sekitar tahun 1973 pohon jati tersebut bisa ditebang. Itu pun harus melalui berbagai tirakatan dan dialog dengan dayang atau penunggu pohon tersebut.”

Penebangan pohon itu menurut Muhammad Rifa’i, dipimpin Pengasuh Pondok Pesantren Pacul Gowang. Setelah melakukan berbagai ritual bersama warga di lokasi pemakaman, akhirnya pohon itu berhasil ditebang. Namun saat ini pohon jati yang ditebang itu dapat dilihat di masjid pondok Pacul Gowang yang digunakan sebagai pilar atau tiang serta keperluan pembangunan masjid lainnya.

Oleh karena itu, nama desa diambil dari asal usulnya dahulu yang merupakan hutan jati. Sementara Rejo (Bahasa Jawa) memiliki makna ramai sehingga bila digabung menjadi Jatirejo.


Tepat di sebelah selatan pohon jati terdapat dua makam, salah satu diantaranya seorang tokoh pembabat alas. Tokoh tersebut oleh warga sekitar disebut dengan Mbah Buyut namun dari beberapa sumber tidak mengetahui siapa nama asli dari Mbah Buyut tersebut. Sedangkan Kiai Subeki sendiri dimakamkan di Desa Dapur Kejambon Jombang.

“Kiai Subeki bukan penduduk asli Desa Jatirejo. Beliau berasal dari Jawa Tengah, tepatnya di Solo yang datang sebagai seorang pedagang. Dalam perjalanannya, Kiai Subeki bersama-sama warga pribumi berkeinginan kuat untuk merintis desa tersebut sebagai tempat tinggal dan lahan bercocok tanam,” tambah laki-laki separuh baya tersebut.

Pada awalnya, Desa Jatirejo merupakan bagian dari wilayah Desa Cukir. Tetapi tidak diketahui awal kekuasaan kepala desa yang pertama kali menguasai wilayah tersebut. Akhirnya Desa Jatirejo terpisah dari Desa Cukir dan membentuk pemerintahan sendiri.

Jadi, sejak pertama kali ditetapkannya Jatirejo sebagai desa, maka resmilah terlepas dari bagian Desa Cukir. Oleh karena itu, perlu adanya pemimpin untuk mengatur roda pemerintahan desa sehingga diadakan pemilihan kepala desa yang tepat. Kemudian yang menjadi pemimpin ketika itu adalah salah seorang warga yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun.

“Selanjutnya, daerah dukuhan seperti Pacul Gowang, Nanggungan dan Wonosari menjadi satu wilayah dengan Desa Jatirejo. Hal ini dikarenakan kesamaaan kultur dan budaya serta persaudaraan antar warga Desa Jatirejo dengan dukuhan-dukuhan sangat erat. Mereka memilih bergabung dengan Desa Jatirejo hingga saat ini,” tutup ayah dua anak tersebut. aditya eko
Lebih baru Lebih lama