Perkembangan zaman sering kali membawa budaya pop yang bertolakbelakang dengan etika di palemahan bangsa ini. Mengangahnya pintu gerbang masuknya budaya tersebut tidak dapat terbendung dengan sendirinya selain kepada pelaku atau insannya. Melalui cara memilah dan mimilih yang sesuai dengan karakter bangsa.

Rahmat Sularso Nh.*)

Mendengar kata sex sejenak pikiran berkelinang tentang sebuah hubungan intim antara suami-isteri. Boleh jadi perihal yang berkaitan dengan hal tabu untuk di bicara. Laiknya orang Indonesia yang mengusuk adat ketimuran, membicarakan sex seolah menjadi sesuatu yang melanggar norma khususnya kesusilaan. Bahkan sebuah alarm peringatan tiba-tiba berbunyi kencang, menandakan materi negatif guna diungkap.

Namun bilamana merujuk pada literatur Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sex sendiri memiliki makna jenis kelamin. Berhubungan dengan alat kelamin seperti senggama.

Perkembangannya, konten yang pamali dibicarakan dibanyak khalayak nyatanya malah menjadi kekhawatiran dalam pertumbuhan generasi muda di Jombang. Akibatnya timbul bermacam-macam permasalahan sepeti sex bebas, hamil di luar pernikahan, tindakkan asusila dan berbagai kejadian lain yang kalau dinalar seolah tidak mungkin tetapi benar terjadi.

Diakui bahwa perkembangan zaman sering kali membawa budaya pop yang bertolakbelakang dengan etika di palemahan bangsa ini. Mengangahnya pintu gerbang masuknya budaya tersebut tidak dapat terbendung dengan sendirinya selain kepada pelaku atau insannya. Melalui cara memilah dan mimilih yang sesuai dengan karakter bangsa.

Jombang sendiri di balik kesenyapannya dari peliknya gejala ini, sebenarnya sudah serupa gunung es. Siap mencair serta menjadi lelehan yang bisa menenggelamkan masa depan angkatan mudanya. Lantaran sebelum mengembang telah layu terlebih dahulu. Sajian data baik dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang fokus menangani perempuan dan anak pasti membuat bulu kudu menjadi merinding.

Dibutuhkan pondasi yang kokoh agar dapat memilah dan mimilih sesuai dengan kebutuhan dirinya. Termasuk menghindari terbawa gelombang kemajuan yang tidak memberikan ekses baik terhadap dirinya sendiri. Diantarnya perlunya pemakahan sex secara utuh. Tidak setengah-setengah atau konon katanya alias mendengar dari lisan ke lisan. Harus ada narasumber yang jelas, artinya penuh kesungguhan baik keilmuan dan empirik memiliki basis kuat. Demikian ditunjang berbagai sumber refrensi mempuni.

Soal memberikan pemahaman ini memang tidak mudah. Utamanya bilamana menyentuh pada usia yang tergolong masih anak-anak. Problemnya sudah bukan lagi ini sebuah pantangan guna dibicarakan, lantaran melihat maksud dan tujuannya tidaklah sebagai bahan candaan semata. Tetapi lebih kearah langkah preventif agar mencegah ikhwal nestapa jika sudah terjadi.

Pendekatannya pun jauh berbeda dengan usia dewasa atau dalam masa pubertas. Boleh jadi bermain peran selayaknya teman sebayanya. Sehingga proses memberikan pemahaman melebur di permainan. Tiada sekedar menyampaikan melalui konteks bahasa pada umumnya, melainkan dengan memperagakan sederhana menggunakan bahasa setara usianya. Misalnya, mengenalkan perbedaan jenis kelamin.

Sangat sederhana memang kalau yang dihadapi adalah usia relatif dewasa. Sudah banyak mengenyam bangku pendidikan serta jangkauan pergaulan yang bernas. Berbeda pembawaannya andai disampaikan kepada kategori anak-anak. Nalar yang digunakan pun mesti serumpun dengan dunia imajinatif anak. Paling tidak di contohkan seperti kondisi di sekitarannya, patronnya bila laki-laki digambarkan akan seperti ayah. Sebaliknya kalau perempuan kelak laksana ibu. Baik lazimnya fisik sekaligus prilaku.

Selanjutnya dengan begitu sudahkah selesai? Belum tentunya. Pendidikan sex merupakan sesuatu yang intim. Maksudnya tidak bisa kemudian diejawantahkan bersama-sama dihadapan publik karena seyogyakan dari hati ke hati. Selain mengingat pembahasan ini relatif sensitif sehingga yang terjadi hanya sekadar sebagai bahan tertawaan belaka.

Materi dan Membangun Paradigma

Diakui bahwa pendidikan sex ada kalnya timbul tenggelam. Maksudnya timbul ketika ada kasus yang menyeruak dan tenggelam saat tiada gaung peristiwa serona. Padahal memberikan pemahaman soal sex harus terus serta berkelanjutan.

Sewaktu seseorang sudah mulai timbul perubahan dalam tubuhnya, tentu momentum itulah yang menjadi titik pijak dalam memasukan informasi dan wawasan tentang sex. Harapannya dengan demikian tatkala menjalin interaksi lebih luas, sudah terdapat bekal yang menjelma sebagai dimensi penghalang apabila tersirat peluang merugikan.

Sayangnya masih banyak yang mempersembahkan dengan materi yang konvensional sekalian berjalan serarah. Kalau pun ada peluang bertanya, itu juga dalam sesi yang teramat mampat. Sedangkan capaian yang dikehendaki bukan tuntasnya penyampaian materi tersebut. Melainkan melesapkan pada jiwa dan pikiran individu sebab tujuannya adalah sebagai tameng yang melindunginya.

Kadang di tiap kesempatan perhelatan tentang pendidikan sex sajian tiada lepas dari soal reproduksi. Sebenarnya titik hitam dalam kopleksitas permasalahan yang ada bukan itu. Belum lagi dijejali berkenaan keperawanan, agama dan stigma di masyarakat.

Sejatinya dalam dirinya sudah menyadari bahwa yang dilakukannya salah bila melanggar, atas dasar apa pun juga tidaklah dibenarkan. Intinya, segala tindakannya sesunggugnya andai dirasionalisasikan telah memahami. Anehnya masih saja diperbuat sehingga dapat dikatakan ada yang belum tertangani. Kemungkin itu yang justru dibutuhakan dalam mengedukasi perihal sex.

Mengelola nafsu adalah salah satu diantaranya. Nafsu bukan kesalahan dan sangat manusiawi. Ditinjau dari psikologis dapat dijabbarkan sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang relatif besar dalam diri manusia. Biasanya berkaitan langsung dengan pemikiran atau fantasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasrat atau keingian intens terhadap suatu objek maupun situasi pemenuhan emosi tersebut.

Seringkali dikaitkan dengan hubungan seksual yang tumbuh akibat meningkatnya hasrat untuk pemenuhan emosi. Umpama memiliki model pengelolaan yang baik, tentunya dapat mengkontrol sehingga tiada sampai menyebabkan dampak destruktif.

Berikutnya meluruskan paradigma publik yang terlanjur terplatfom bahwa ketika terjadi kesalahan, lekas menjastifikasi sebagai sebentuk noda. Hal ini sesungguhnya menghambat arus komunikasi dalam menuangkan permasalahan yang dihadapi.

Sekiranya ada seorang anak perempuan, mengakui bahwa dirinya sedianya tidak perawan lagi. Sebaliknya begitu bagi anak lelaki, respon yang kemudian muncul acap mengintrogasi dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Merangkai pertanyaan demi pertanyaan supaya terkuak kronologisnya. Diikuti sejurus kemudian kata-kata mutiara nan elok di telinga namun tanpa ada penyelesaian yang jelas bertubi-tubi menghujam.

Proyeksi yang dihadirkan kerap menyoal pencegahan. Lalu penanganan yang sudah terlanjur terjadi seperti apa? Impaknya di tengah keluarga, mungkinkah memperoleh penerimaan yang baik atau sebaliknya. Begitu juga dikelanjutan masa depannya seketika pupus. Adakah kemungkinan kembali dimekarkan baik tentang kesinambungan pendidikannya atau peluang lain guna memperbaiki kehidupannya.

Terlebih seandainya terjadi demikian, pihak perempuan selalu disalahkan dengan beraneka cap yang menusuk. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah penyelesaian keseluruhan dari hulu hingga hilir sehinggga segala potensi yang bakal bertunas bisa diatasi dengan paripurna.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan.
Lebih baru Lebih lama