“Meskipun dari segi fasilitas cukup terbatas, semangat belajar tidak kalah dengan peserta didik lain khususnya di Indonesia. Kami selalu berpesan kepada mereka agar tidak menyerah dengan keadaan. Sebab keterbatasan bukan berarti tidak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi,” - Inarotul Faizah -

JOMBANG – Menjadi guru di sekolah yang terletak di daerah terpencil Indonesia tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi yang menjalaninya. Terlebih daerah yang tengah masuk kategori Teluar, Tetinggal, dan Terdalam (3T). Selain harus dapat lekas menyesuaikan diri, tentunya tetap menjaga semangat agar tidak patah arang di tengah jalan.

Hal itulah yang pernah dijalani Atika Ratna dan Inarotul Faizah, Alumni pengajar muda XV di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Menurutnya, mengajar di daerah 3T membutuhkan tenaga ekstra jika dibandingkan mengajar di daerah perkotaan pada umumnya. Guru dituntut mampu untuk menjaga serta menjalankan amanah di daerah penempatan dengan segala keterbatasannya.

“Kami merangkap mata pelajaran lain yang sama sekali jauh berbeda dengan background pendidikan ketika kuliah dahulu. Selain itu, pendidikan disana juga sangat tertinggal, contohnya ketika mengajar matematika di SMP, kami harus kembali mengajarkan materi penjumlahan dan pembagian yang sebenarnya merupakan materi yang seharusnya tuntas di SD,” ungkap Atika Ratna, lulusan S1 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya angkatan 2010.

Awal mengajarnya di Nusantara bagian Timur, perempuan asal Kabupaten Kediri itu bercerita bahwa dirinya kerap melihat beberapa peserta didik SD bermain di luar ruangan sekolah. Menurut keterangan beberapa guru, anak-anak SD tersebut tidak memiliki guru yang mengajar di sekolah, adapun guru itu juga merangkap sebagai kepala sekolah.

“Setiap hari terulang kejadian yang sama. Kalaupun mereka belajar pada hari itu, mungkin hanya beberapa menit saja. Sehingga otomatis di rumah jarang sekali belajar, karena bahan yang akan dipelajari pun tidak punya,” kata Atika Ratna ketika menjadi narasumber di acara Indonesia Mengajar Goes to Community yang dilaksanakan di Nest Coffee Jombang (17/1).

Rekan Atika Ratna, Inarotul Faizah juga menuturkan bahwa sering menemukan peserta didik yang datang terlambat ke sekolah. Keterlambatan bisa sampai satu jam karena jarak antara tempat tinggal dengan sekolah cukup jauh.

“Kebanyakan peserta didik juga belum terlalu memperhatikan kebersihan saat berangkat ke sekolah. Kebanyakkan ke sekolah melewatkan mandi atau sekadar membasuh muka dan mencuci kaki. Bahkan belum kenal gosok gigi. Jadi bangun tidur langsung ke sekolah dengan seragamnya yang ditaruh di tas kemudian pakai itu di sekolah,” terang Inarotul Faizah, lulusan S1 Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia itu.

Sebagian besar sekolah di kawasan tersebut belum mempunyai fasilitas yang mendukung untuk kebersihan peserta didik di sekolah. Sehingga untuk buang air kecil dan besar juga harus mencari tempat kosong di sekitar sekolah. Fasilitas lain yang menunjang proses pembelajaran dari buku sampai alat peraga juga perlu diperhatikan dan ditingkatkan lagi.

“Meskipun dari segi fasilitas cukup terbatas, semangat belajar tidak kalah dengan peserta didik lain khususnya di Indonesia. Kami selalu berpesan kepada mereka agar tidak menyerah dengan keadaan. Sebab keterbatasan bukan berarti tidak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi,” tambah Inarotul Faizah.

Namun yang disesalkan perempuan kelahiran Kebumen, Jawa Tengah tersebut adalah beberapa guru terkadang tidak datang disaat kegiatan pembelajaran berlangsung. Tetapi dia pun memahami hal tersebut karena jarak tempuh juga cukup jauh. Kebanyakan guru bertempat tinggal di kota dan jarak tempuh sampai di sekolah memakan waktu hingga sepuluh jam.

“Kami percaya bahwa mereka punya mimpi dan semangat yang sama besarnya dengan anak-anak di belahan Indonesia lain. Di situ kami yakin bahwa ketika mereka bisa terus bermimpi dan semangat untuk mencapai mimpi dan tidak akan kalah dengan anak-anak Indonesia lain,” ujar Inarotul Faizah penuh keyakinan. aditya eko
Lebih baru Lebih lama