Istimewa

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018. Baru berjalan beberapa episode, pro dan kontra pun muncul ke permukaan. Bagi warga yang kontra, kebijakan tersebut dinilai berlebihan. Sebab kualitas dan sarana prasarana sekolah di berbagai daerah belum merata, sehingga tidak memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar dengan baik.

Sekolah yang dianggap favorit otomatis didominasi peserta didik zona terdekat. Sementara itu, calon peserta didik di luar zona harus gigit jari. Bagi mereka yang pro, kebijakan tersebut dinilai adil. Sebab, sekolah akan memprioritaskan zona yang lebih dekat, sehingga sekolah akan menerima calon peserta didik berapa pun nilainya.

Menurut aturan PPDB, pembagian jalur sudah jelas yakni 80% zonasi. Sedangkan sisanya untuk peserta didik berprestasi 15% dan perpindahan orang tua 5%. Jika di satu wilayah, jumlah sekolah tidak cukup menampung peserta didik, maka bisa dilebarkan. Tiga aspek tersebut yang menjadi fokus pemerintah untuk pemerataan peserta didik.

Hal tersebut dilakukan agar penerimaan peserta didik baru bisa merata. Sekolah di wilayah tertentu yang awalnya didominasi peserta didik luar wilayah karena dianggap favorit, disamaratakan agar peserta didik daerah tersebut bisa masuk. Sehingga adanya sistem zonasi, secara tidak langsung upaya menghapus riwayat sekolah favorit dilakukan.

Baca Juga: Hindari Kecanduan Gawai, Seimbangkan Perilaku

Walaupun tujuan yang dikehendaki terbilang baik, namun adanya persiapan yang kurang baik dari sisi realisasi kebijakan (aturan Permendikbud) hingga sistem dan sumber daya manusia pelaksana menjadikan pelaksanaan PPDB zonasi menimbulkan muti permasalahan. Mulai dari perhitungan jarak, verifikasi keabsahan data kependudukan, dan perhitungan nilai prestasi.

“Untuk meminimalisir permasalahan tersebut pada tahun PPDB 2020 ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, merubah skema kuota jalur zonasi menjadi 50%, afirmasi 15%, pindahan 5%, dan jalur prestasi 30%. Lewat kebijakan ini, Kemendikbud ingin mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru,” kata Kepala Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Agus Suryo Handoko, S.Pd, M.MPd.

Zonasi tidak hanya mengatur pemerataan kualitas sekolah dan peserta didik, tetapi juga menitikberatkan pada peran dan komposisi guru di suatu daerah. Agus Suryo Handoko mengingatkan, kebijakan ini harus diselaraskan dengan pemerataan kuantitas dan kualitas guru di seluruh daerah. Pemerataan tidak cukup hanya dengan zonasi. Dampak yang lebih besar lagi adalah pemerataan kuantitas dan kualitas guru, selain itu sarana dan prasarana sekolah juga harus memadai. Inilah yang banyak manfaatnya terhadap pemerataan pendidikan.

“Dengan kata lain, semua sekolah harus siap dan sesuai dengan Standar Pendidikan Minimal (SPM). Terlebih kesiapan sekolah dalam menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini menjadi penting karena masuk pada kuota 50% tersebut,” tandasnya.

Menyoroti peserta didik berkebutuhan khusus harus tetap mengikuti prosedur. Namun di tahun 2020 kriteria sekolah inklusi harus didata dan diidentifikasi kembali agar sesuai dengan kebutuhan ABK tersebut. Sebagai contoh, meski zona rumah ABK dengan sekolah berdekatan namun sekolah tersebut belum memenuhi syarat untuk menunjang kebutuhannya maka tidak dapat bersekolah di sana. Melainkan akan dicarikan sekolah yang menunjang kebutuhannya.

Agus Suryo Handoko menambahkan, “Beberapa permasalahan lain yang dihadapi adalah penentuan titik koordinat rumah dengan sekolah masih kurang akurat. Akibatnya sejumlah wali peserta didik memprotes kesalahan data jarak tersebut. Kesalahan jarak terjadi karena orang tua tidak tepat menunjukkan titik rumah saat verifikasi berkas. Penentuan titik rumah diperlukan karena satelit tidak bisa mendeteksi alamat secara detail.”

Setelah konfirmasi titik rumah, lanjutnya, diperlukan pula tanda tangan wali peserta didik, sehingga data pada sistem PPDB merupakan hasil konfirmasi orang tua. Para wali peserta didik mengeluhkan karena jarak sekolah ke rumah pada peta tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, anak-anak mereka terancam tidak bisa mendaftar melalui sistem zonasi dan terlempar ke sekolah lain yang lebih jauh.

Permasalahan berikutnya yaitu waktu pendaftaran PPDB yang dirasa masih kurang panjang. Selain itu sosialisasi juga masih kurang, banyak wali peserta didik yang kebingunan mengenai pendaftaran. Akibatnya, banyak informasi-informasi yang keliru dan pendaftar berjubel datang ke sekolah dan di kantor Disdikbud Kabupaten Jombang.

“Untuk itu pada PPDB zonasi 2020 nanti akan kami benahi. Perihal keakuratan jarak antara rumah calon peserta didik baru ke sekolah akan dilibatkan secara langsung peserta didik yang bersangkutan menentukan titik koordinat rumahnya sendiri. Sehingga diharapkan agar titik koordinatnya bisa sesuai. Selain itu, untuk waktu juga akan kami sesuaikan agar dapat maksimal,” papar Agus Suryo Handoko.

Sementara itu, Kepala Seksi Peserta Didik dan Pembangunan Karakter SMP Disdikbud Kabupaten Jombang, Rhendra Kusuma, S.Kom., menjelaskan terkait penentuan titik koordinat rumah peserta didik dapat dilakukan oleh wali peserta didik atau meminta bantuan operator sekolah masing-masing. Hal ini dilakukan agar koordinat rumah calon peserta didik baru dapat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

“Menentukan titiknya menyerupai saat menggunakan aplikasi Google Maps. Wali peserta didik atau operator sekolah kemudian menitik sesuai lokasi rumah, nanti yang dilihat adalah data koordinat yang ditampilkan di aplikasi tersebut. Namun sebelumnya Data Pokok Pendidik (Dapodik) juga harus terdapat titik koordinat tersebut yang disesuaikan dengan Kartu Keluarga (KK) dan data pendukung lainnya. Hal itu akan menjadi komperasi data dan juga dapat meminimalisir rekayasa data untuk daftar PPDB nantinya,” jelas Rhendra Kusuma.

Rhendra Kusuma juga menambahkan, pertama yang dilakukan ialah wali peserta didik bersama calon peserta didik melakukan pendaftaran akun. Akun tersebut yang nantinya dipergunakan wali peserta didik mendaftar secara online pada sekolah yang diinginkan dalam waktu 24 jam non stop. Sehingga tak perlu lagi bertandang ke sekolah yang dituju, sebab semua informasi bisa diakses dalam aplikasi.

“Aplikasi dengan nama ‘PPDB Jombang’ menampung semua data yang terverifikasi. Seluruh pengisian data pada akun calon peserta didik tersebut sudah terkoneksi secara otomatis dengan Dapodik. Artinya sekolah memiliki peran begitu penting dalam keakuratan data peserta didik yang sudah diinstruksikan sejak bulan Desember 2019 lalu oleh Disdikbud Kabupaten Jombang,” tegasnya.

Berdasarkan pengamatan dari panitia PPDB 2020, penentuaan titik koordinat yang dipergunakan melalui udara tersebut tak mempengaruhi perhitungan jarak dari penggunaan alat transportasi. Maka tidak ada akumulasi angka dari jalan atau lintasan yang dilaui ke arah sekolah. Perhitungan tersebut dilakukan dengan menarik garis lurus dari pusat lokasi rumah calon peserta didik ke sekolah yang ditujunya. Langkahnya dengan memotong langsung jarak dari masing-masing titik lokasi yang diinginkan.

“Hal ini sebelumnya telah dikaji dari perhitungan secara geografis atau dengan mengacu pada jalan yang dilalui oleh kendaraan. Hasilnya ialah kurang standar jika acuannya layaknya penjumlahan jarak menggunakan darat. Sehingga alternatif pilihannya dengan menggunakan mengukuran melalui udara dan menarik lurus dari titik lokasi yang diinginkan,” ungkap pria yang sering disapa Rhendra.

Disisi lain, berdasarkan hasil pelaksaan PPDB 2019 terdapat kekurangan pagu sekolah yang berada di daerah-daerah pinggiran serta daerah yang tidak mendapat zona. Rhendra Kusuma menerangkan bahwa pada PPDB zonasi tahun 2020 nanti akan mengadopsi sistem PPDB tahun 2018 dan 2019 yaitu menggunakan zona per wilayah (kecamatan) dan pengukuran jarak rumah ke sekolah. Melalui sistem tersebut peserta didik dengan zona per wilayah menjadi prioritas utama.

“Peserta didik harus mendaftar di zona wilayahnya sendiri. Namun jika sudah mencapai 50% (kuota penuh) maka calon pendaftar bisa menggunakan sistem jarak di luar zona wilayahnya tersebut. Itu dilakukan agar pagu sekolah terpenuhi dan semua wilayah memiliki zona sekolah,” imbuhnya.

Gunakan Sistem Apapun Tak Masalah

Mengulas tentang proses hingga hasil yang diterima oleh peserta didik, dalam proses seleksi PPDB zonasi mengalami penyesuaian setiap tahunnya. Diulas lebih jauh, bentuk penyesuaian tersebut berdasar atas kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum.

Diketahui bahwa pada pelaksanaan PPDB jenjang SMP menggunakan sistem zonasi. Berdasarkan ulasan oleh Pengamat Pendidikan, Sunandar, M.Si. Hal ini memiliki tujuan agar peserta didik bersekolah tak lagi jauh jaraknya. Kemudian guna memeratakan pendidikan di setiap wilayah.

Keinginan tersebut dirasa belum sejalan, sebab tak diimbangi dengan kuota. Selanjutnya tak diikuti dengan perkembangan perangkat. Perangkat yang dimaksud ialah Sumber Daya Manusia (SDM) atau guru, serta sarana dan prasarana.

“Melihat dari calon pendaftar di 306 desa yang ada di Kabupaten Jombang masih belum meratanya jumlah peserta didik di lembaga tertentu. Artinya kalkulasi yang tepat terhadap kebutuhan calon peserta didik SMP perlu diperhatikan. Pasalnya minat dari calon pendaftar cenderung berkeinginan sekolah di SMP Negeri,” terang Sunandar.

Disisi lain, menurutnya terkait dengan sorotan pemerataan jumlah peserta didik masih menjadi keluhan yang ia terima dari masyarakat. Sebab jumlah calon pendaftar dengan yang diterima tak sebanding.

“Permasalahan lainnya ialah terdapat bentuk respon dari kekuatiran wali peserta didik yang terancam buah hatinya tak diterima disekolah yang diinginkan. Respon tersebut seperti manipulasi data kependudukan yang dirubah dengan mengikutsertakan kepada kerabat yang berada di wilayah tertentu. Lantaran calon peserta didik tersebut berada di luar zonasi,” resahnya saat ditemui Majalah Suara Pendidikan.

Faktanya, terdapat perpindahan penduduk yang terlihat signifikan dengan alasan atau keterangan mengikuti keluarga. Seperti data yang dilansir dari Kantor Desa Sengon, Kecamatan Jombang. Terdapat peningkatan perpindahan sejak bulan Juli 2019 hingga November 2019.

Berdasarkan data Kependudukan di Desa Sengon, bulan Juli 2019 terdapat tiga warga yang pindah dari Kecamatan Plandaan, Ploso, dan Diwek. Rata-rata usianya ialah 11 tahun hingga 13 tahun, yakni tahun kelahiran 2008, 2007, dan tahun 2006. Usia tersebut masuk dalam kriteria usia SD masuk ke jenjang SMP. Selanjutnya di bulan Agustus 2019, terdapat dua perpindahan dari Desa Kepatihan dan Desa Dapurkejambon. Beranjak ke bulan September 2019 perpindahan meningkat menjadi lima warga. Masing-masing dari Kecamatan Megaluh, Peterongan; Jogoroto, dan Kecamatan Jombang. Pada bulan Oktober 2019, berjumlah dua warga yang pindah dengan usia 12 tahun dari Desa Jabon dan Denanyar. Terakhir pada bulan November 2019 berjumlah lima warga yang pindah dengan keterangan mengikuti keluarga. Masing-masing berasal dari Kecamatan Megaluh, Jogoroto, Peterongan, serta Desa Candimulyo, Kecamatan Jombang.

Sunandar menjabbarkan, jika bentuk keingianan dari wali peserta didik masih mengacu pada standar sekolah harus di sekolah negeri. Banyak pertimbangan dan juga alasan mengapa sebagian besar dari masyarakat memilihkan buah hatinya ke sekolah negeri. Satu diantaranya terkait dengan biaya yang dikeluarkan tak begitu banyak, sebab adanya kebijakan pemerintah dalam meringankan administrasi.

“Ketika terjalin komitmen yang kokoh dan serius, dipastikan hasilnya juga akan maksimal. Konsistensi ini bersinergi merujuk pada pemerintah pusat yang turun pada tingkat di bawahnya seperti di provinsi, dan kabupaten. Kemudian sejalan dengan kebijakan yang diulas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam merancang anggaran daerah,” sahut pria yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang. aditya eko / chicilia risca
Lebih baru Lebih lama