Rahmat Sularso Nh.*

Kemajuan sebuah peradaban tak dapat dihindari. Hal itu terasa betul ketika Covid-19 melanda seluruh dunia. Praktik aktivitas yang berkaitan dengan tatap muka dibatasi, beralih ke model dalam jaringan (daring). Tak lain guna menjaga jarak serta memutus penularan Covid-19 yang begitu masif. Cukup lewat telpon genggam atau komputer jinjing sudah dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Tanpa terkecuali dunia pendidikan pun telah bermetamorfosis ke arah sana.

Di Jombang bisa dirasakan ketika hendak menginjak tahun pelajaran baru, Penerimaan Peserta Didik Baru sudah sepenuhnya dilakukan dengan cara daring. Pendaftaran, pengunggahan data pendukung, dan hasilnya pun disampaikan melalui laman khusus. Hanya untuk jenjang SD saja yang masih melakukan pertemuan, tetapi tetap membatasi serta menegakkan protokol kesehatan yang berlaku. Begitu juga saat pengenalan lingkungan sekolah dan mengawali pembelajaran, semua berubah drastis karena meniadakan pertemuan. Pembelajaran jarak jauh bisa dijalankan lewat daring dengan sejumlah penyesuaian, termasuk dalam penilainnya.

Namun jika tak ada pembendungan baik dalam diri pengguna maupun sistem yang dibangun, maka tentunya kemajuan peradaban tersebut akan menggerus keutuhan bangsa. Tak ubahnya sebuah pisau, jika digunakan sebagaimana peruntukannya akan sangat bermanfaat. Sebaliknya kalau tak sesuai fitrahnya, maka yang terjadi mengarah pada hal-hal negatif.

Baca Juga: Allahu Robbi

Oleh karena itu, selain sistem yang dibangun dengan mapan dan dapat dikendalikan pemegang tertinggi kekuasaan di bangsa ini -- pemerintah, tak kalah penting juga penguatan dalam setiap individu warga negara. Salah satunya melalui dunia pendidikan karena hampir sebagian besar waktu dihabiskan di sana sedari usia emas hingga beranjak dewasa bersiap menjemput masa depan.

Cara yang dianggap masih ampuh adalah menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Seperti dimaknai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisime adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri.

Munculnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak bisa menampikan karena munculnya banyak persoalan yang berkaitan dengan teknologi. Upaya propaganda, berita palsu, hingga menistakan sesuatu berlangsung begitu gencar. Ujung-ujungnya memberikan kerugian telak untuk persatuan dan kesatuan Indonesia.

Saat rasa nasionalisme itu telah larut di dalam setiap diri warga negara Indonesia, apabila memiliki rasa cinta terhadap tanah air dan bangsanya, mampu bersikap rukun serta harmonis di tengah perbedaan yang ada, mempererat tali persaudaraan, menghilangkan ekstrimisme berlebihan, rela berkorban sekaligus menjaganya baik gangguan dari dalam maupun luar. Sebagaimana yang teruraikan dalam tujuan daripada nasionalisme itu sendiri.

Berkaca pada generasi masa kini, dibutuhkan penyesuaian kembali dalam menyampaikan serta menyemai materi nasionalisme yang lebih sederhana dan tepat. Harapannya tentu dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari dengan mudah.

Kalau sekedar menyampaikan dengan pola klasikal semacam era Orde Baru yang dikenal dengan Eka Prasetya Pancakarsa bertujuan menata tata kehidupan bernegara. Tentu tak akan masuk dan bisa saja dianggap sambil lalu. Walaupun secara isi masih kontekstual, namun pola yang diambil sudah tidak relevan dengan zamannya,

Senyampang itu juga perlu pertimbangan peserta didik yang dihadapi. Tiap jenjangnya jelas membutuhkan metode penyampaian dan pendekatan yang berbeda. Begitu pun capaian yang diharapkan, untuk itu semua harusnya terhubung hingga ke jenjang berikutnya. Tidak akan terputus dan berbeda jauh penekanan nasionalisme yang diberikan. Baik di tingkat pra sekolah, dasar, menengah pertama, dan atas. Bahkan ketika sudah melebarkan ke ranah yang lebih luas (kemajemukan masyarakat), tentu telaahnya akan berbeda pula sehingga bisa menyarikan strategi yang tepat.

Meminjam pemaknaan yang disampaikan oleh Lothrop Stoodard, seorang sejarawan dan jurnalis dari Amerika Serikat, sesungguhnya nasionalisme adalah kepercayaan yang menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Untuk itu perlu mengawalinya dengan membentuk kepercayaan terhadap bangsanya agar utuh terpatri.

Membangun kepercayaan utamanya dalam bernegara tidaklah berhenti pada tingkat pembicaraan atau wacana tetapi dibuktikan secara meyakinkan. Apalagi peserta didik yang memiliki kapasitas wawasan berbeda-beda. Dengan kata lain, disinilah harus mampu meletakan persamaan persepsi tentang perbendaharaan pengetahuan mengenai Indonesia.

Muaranya adalah ketepatan materi yang diperoleh oleh peserta didik mengenai nasionalisme tersebut. Tak jauh dari ruang lingkup kehidupan peserta didik itu sendiri. Sehingga lebih mudah diraih pemahamannya karena dekat dengan keberadaannya sekarang ini.

Selain ada rujukan materi pokok yang dijadikan sebagai dasar pembelajaran, peran guru dan orangtua sangatlah primer. Guru tentu bisa memetakan kemampuan peserta didik yang dihadapinya, sehingga jeli dalam menggunakan cara-cara yang sesuai. Sedangkan orangtua bertanggungjawab menindaklanjuti hasil yang diperoleh peserta didik di sekolah. Diimplementasikan dalam tindakan kesehariannya.

Merujuk kembali seperti penjelasan di atas tentang tujuan nasionalisme yang berakhir pada kebaikan dan mencitrakan karakter bangsa Indonesia dengan adat istiadat Timurnya. Mencoba menghargai perbedaan yang ada di lingkungannya, mencipta harmonisasi dan kerukunan antar tetangga, hingga menguatkan semangat cinta terhadap tanah air dan bangsanya dengan merayakan hari-hari besar negara sekaligus menghimpun pengetahuan berkenaan riwayat panjang keberadaan Indonesia.

Jika sudah mampu benar luluh dalam sanubari, biarpun ada perubahan yang berlangsung serta derasnya kemajuan dalam pelbagai sendi kehidupan. Tak sampai menggoyahkan keutuhan bangsa ini dalam menyambut segala macam situasi dan kondisi yang pasti terus berganti.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan.
Lebih baru Lebih lama