TEMBELANG – Keterbatasan bukan akhir dari lahirnya sebuah inovasi. Itulah yang ditunjukkan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Pulogedang, Kecamatan Tembelang dengan melahirkan Wisata Edukasi Desa. Walaupun tak memiliki potensi alam yang memadai serupa dengan sentra pariwisata di Kecamatan Wonosalam yang sedang berkembang pesat. Tekad kuat menjadi modal untuk mencetuskan sebuah tempat wisata buatan yang bisa meningkatkan pemberdayaan ekonomi warga.

Kepala Desa Pulogedang, Eko Ariyanto, S.H menuturkan, semua berangkat dari pendalaman karakter tiap-tiap dusun yang ada. Sehingga bisa dibuat gambaran dasar konsep wisata edukasi yang akan diwujudkan. Hal itu bukannya tanpa alasan, karena dengan mewadahi potensi yang ada tiap dusun, maka keterlibatan warga akan terwakili sepenuhnya.

“Perpaduan itu akan menjadi sebuah destinasi yang menarik. Artinya pengunjung bisa menikmati tempat wisatanya, juga suguhan dari olahan warga sendiri,” terang Eko Ariyanto.

Sukar sekali mengubah pola pikir warga. Butuh waktu, pembiasaan, dan pengawasan yang serius. Karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan, maka dibutuhkan proses yang tidak sebentar dalam mengubahnya.

Apalagi pengalamannya berkunjung ke Vietnam dan Korea Selatan, menyaksikan dan merasakan sendiri sebuah desa mampu dijadikan sebagai destinasi wisata. Menggerakan aktif seluruh warganya untuk terlibat dan hasilnya pun langsung dirasakan. Seakan menambah keyakinan dan motivasinya bila bisa juga diwujudkan di Desa Pulugedang.

Selain infrastruktur, tambah Eko Ariyanto, penting pula mengubah cara pikir dan perilaku warganya. Oleh karena itu, dia serius menggarap kebiasaan baru yang produktif seluruh warganya dari usia produktif maupun usia senja. Semua dapat berkontribusi asalkan mampu diarahkan dengan baik.

Baca Juga: Keterjangkauan Pendidikan, Mematahkan Kemiskinan


Eko Ariyanto menjelaskan, “Para ibu rumah tangga misalnya mulai diikutkan pelatihan memasak yang laik dan membuat kerajinan. Sedangkan anak-anak dan pemuda desa didorong untuk aktif berorganisasi supaya semakin terasah pemikirannya.”

Serupa dengan kepala desanya, Kepala Dusun Pulogedang, Khoirun Irham A. P. pun mengakui sukar sekali mengubah pola pikir warga. Butuh waktu, pembiasaan, dan pengawasan yang serius. Karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan, maka dibutuhkan proses yang tidak sebentar dalam mengubahnya. Tak sekedar himbauan atau perintah saja, tapi juga dibutuhkan teladan dan fasilitas pendukung.



“Seperti kebiasaan membuang sampah (baca: Popok), warga lebih suka langsung dilemparkan ke sungai daripada ditaruh di tempat sampah. Hal itu karena berkembangnya mitos bahwa tak boleh membakar/membuang di tempat sampah. Oleh karena itu, mesti ditunjukkan bukti dan data sebenarnya,” ungkap Khoirun Irham.

Eko Ariyanto berharap kalau dijalankan serius secara berkelanjutan dan membangun sinergitas dengan pelbagai pihak, kurun waktu sepuluh tahun mendatang keseluruhan bisa terwujud.

Reporter/Foto: Fitrotul Aini/Istimewa

Lebih baru Lebih lama