JOMBANG – Kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Hal dasar yang terbangun dalam analogi ini yakni ketika manusia memiliki masalah pada organ jantung, sirkulasi kegiatan harian juga tersendat.

Secara otomatis harus bersikap hati-hati memperlakukan pola aktivitas yang menyesuaikan, dan tak memforsir. Perlahan bergulir untuk melakukan pembiasaan baru dengan tak memaksakan kehendak khusus yang penuh ambisius.

Literatur pola serta konsep kurikulum di tengah pandemi juga tergambarkan bahwa pendidikan akan mengalami sesak nafas, jika tak disesuaikan dengan kebutuhan saat ini, yakni Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Respon cepat yang terpikirkan adalah mencari cara untuk mendapatkan obat dan penyembuhan serta mampu menurunkan risiko sesak nafas. Praktiknya, keseharian aktivitas belajar peserta didik dan sekolah (guru dan kepala sekolah) mendapat resep dari Kemendikbud dengan mengkonsumsi kurikulum kondisi khusus.

Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Jawa Timur, Dr. H. Rofiatul Hosna, M.Pd. menerangkan, hadirnya kurikulum kondisi khusus memberikan ruang solusi bersama bagi pendidikan Indonesia, khususnya Wilayah Jawa Timur. Melihat pelaksanaannya yang sudah berjalan dua minggu, guru merasa terbantu dengan pemetaan yang terstruktur dari kurikulum kondisi khusus.

“Namun praktiknya dikembalikan lagi kepada kepala sekolah untuk merealisasikan kurikulum dengan penyesuaian secara spesifik. Bahwa kondisi ini sebagai solusi yang tak membebankan peserta didik dari tiga pilihan alternatif yang ditawarkan Kemendikbud,” urainya.

Hadirnya kurikulum kondisi khusus memberikan ruang solusi bersama bagi pendidikan Indonesia, khususnya Wilayah Jawa Timur.

Terdapat satu sinergitas yang dilakukan sebelum sekolah mempunyai satu kebijakan internal. Yakni dengan mengacu pada Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. SK tersebut hadir sebagai landasan untuk melaksanakan pembelajaran dengan kurikulum kondisi khusus. Sehingga terdapat satu kesepakatan untuk menggunakan kurikulum mandiri pada lingkup Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang.

Sinergitas runtutnya ialah penyesuaian guru pada materi bahan ajar yang dimiliki. Tentu guru sebelumnya melakukan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rofiatul Hosna menjabarkan bahwa penyusunan RPP yang sudah dilakukan guru tak perlu melalui proses sejak awal. Guru hanya melakukan penyesuaian yang kemudian diperkuat dengan hasil diagnostic assessment.

“Peran guru setelah itu melakukan peninjauan kembali tentang kesesuaian kompetensi dasar pada RPP dalam kurikulum kondisi khusus. Di sinilah perbedaan kurikulum sebelumnya dan kurikulum saat pandemi,” ungkapnya.

Baca Juga: Sulistyaningati Campursari Adalah Dunianya

“Tindak lanjut diagnostic assessment sebagai teropong pantauan untuk peserta didik dalam menerapkan materi kurikulum kondisi khusus, pada prosesnya akan mampu memetakan peserta didik dengan permasalahan dan kesulitan saat proses pembelajaran berlangsung,” terang perempuan yang menjabat sebagai Dewan Pakar Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Jombang.

Perempuan yang juga sebagai Asesor Sertifikasi Dosen (BKD) ini mengulas pada pendalaman diagnostic assessment tersebut. Menurutnya, guru secara khusus memperhatikan peserta didik untuk mampu melewati kendala, serta keadaan tersulit dalam menyelesaikan tugas.

Selain itu dalam pembelajaran juga perlu menggunakan strategi secara kontekstual dan bermakna. Sehingga guru memahami dengan jelas dan teliti apa yang seharusnya menjadi kebutuhan peserta didiknya.

Rofiatul Hosna menerangkan bahwa Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) di semua jenjang melakukan penyerderhanaan pada seluruh mata pelajaran. Secara kompleks, tujuan kurikulum kondisi khusus mencakup empat kompetensi, yakni kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.

Praktiknya tentu merujuk pada tahapan penyelesaian dari meteri pembelajaran yang diberikan. Penyisipan empat kompetensi ini mampu memberikan sinergitas ketercapaian peserta didik dalam menuntaskan tugasnya.



Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof. Akh. Muzakki ketika dikonfirmasi melalui ponselnya menjelaskan bahwa relevannya kurikulum khusus tersebut karena ada penyesuaian yang berujung pada reduksi materi. Artinya, tak menurunkan kualitas dan proses pembelajaran. Catatan penting yang perlu digarisbawahi, lanjutnya, materi harus tebang pilih mulai dari bentuk penyampaian hingga penyelenggaraan serta tahapan materi pembelajaran.

Melihat beberapa aktivitas penyesuaian yang sudah berlangsung, Akh Muzakki menelaah, ketika kurikulum sudah disesuaikan dan diperbarui, ketuntasan dan kualitas guru dalam pembelajaran masih belum berimplikasi khususnya pada guru dan sekolah.

Telusur ini masih menunjukkan sebagian guru dan sekolah menerapkan pembelajaran dengan mengganti media penyampaiannya yakni melalui Daring. Artinya bentuk materi yang disajikan kuantitasnya setara pembelajaran normal. Sehingga takaran porsinya tetap disamakan, hanya saja proses dan penyelesaiannya tak tatap muka.

Akh. Muzakki menerangkan, “Kemasan pembelajaran yang disajikan memang tak mengurangi kualitas, tetapi esensinya hanya sebatas proses melalui pembelajaran dengan Daring. Begitu disayangkan ketika proses ini tak mendapatkan perhatian yang serius oleh guru di tengah pandemi. Condong menuangkan kewajiban belajar kepada peserta didik yang menakar penyelesaikan keseluruhan kompetensi.”

“Sehingga beberapa kali menyaksikan respon yang lebih menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan pembelajaran cukup terbatas. Selain waktu, terdapat sarana dan prasana peserta didik yang beragam untuk menyelesaikan tugas dengan pengumpulan yang sama dalam satu waktu,” ungkapnya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh HIPKIN Jawa Timur, sebanyak 50% guru sudah menerapkan pembelajaran dengan kurikulum kondisi khusus. Rofiatul Hosna menyampaikan bahwa tahapan ini cenderung merangkak naik prosentasenya melalui fasilitas komunikasi terbuka. Yaitu melalui media sosial dan juga penjelasan dengan Zoom Meeting.

Merujuk pada hal tersebut, beberapa hal menjadi pertimbangan dalam interaksi peserta didik selama masa pandemi. Dalam penjelasannya, Akh Muzakki mengatakan bahwa ada penyesuaian instrumen dalam penyetaraan kurikulum kondisi khusus. Ada tiga jenis interaksi utama peserta didik. Pertama dengan sumber belajar, kemudian sesama teman atau peserta didik, serta dengan guru. Nah, dari ketiga komponen tersebut harus tuntas dikuasai oleh guru di ruang virtual.

“Pada satu sisi, penyampaian materi pembelajaran tak hanya sebatas menuntaskan melainkan juga menyisipkan nilai moral. Jika selama ini ulasan materi bisa didapatkan dari perkembangan teknologi secara mudah, lain cerita dengan moral. Sehingga langkah-langkah yang terealisasi dalam penerapannya ialah dengan beragam toleransi yang sesuai pada era kedaruratan. Namun sebagai bentuk penyesuaian tentu tak tersandera oleh prosesnya. Kecepatan memang dibutuhkan, tetapi tidak meninggalkan substansi,” jelas Akh Muzakki.

Gagasan yang diungkap oleh Akh Muzakki ialah dalam melaksanakan pembelajaran kurikulum kondisi khusus, peserta didik, guru, dan kepala sekolah diberikan keleluasaan agar tak tersandera pada administrasi yang berlembar-lembar.

Terpenting ialah penerapan dari kompetensi yang menjadi tujuan, materi tahapan, soal, serta evaluasi. Nah tugas selanjutnya hasil akhir keputusan. Tugas pemerintah daerah atau pemerintah kabupaten melakukan penyesuaian dengan mengedepankan kualitas prima pendidikan.

“Penting untuk dijalankan bersama pada assessment valid. Sekolah memperoleh dokumen yang valid mengenai pencapaian peserta didik dalam melaksanakan kurikulum kondisi khusus. Pencapaian valid dengan fleksibelitas dimaksudkan merupakan murni hasil kerja peserta didik tanpa campur tangan hasil pekerjaan orangtua dan orang lain. Sehingga proses pembelajaran memang betul dilalui oleh peserta didik. Porsi peserta didik dalam menakar ketangkasan menjawab pertanyaan juga betul dipahami serta mampu untuk memberikan solusi atas beberapa rumusan masalah dari daftar pertanyaan,” pungkas Rofiatul Hosna.

Mengulas tentang assessment reliable, yang artinya menjelaskan hasil informasi dan penilaian murni tentang pencapaian peserta didik. Yakni menilai berdasarkan atas pekerjaan yang sudah diselesaikan. Kemudian menambahkan secara pribadi nilai atas dasar kedekatan tertentu secara sosial. Sehingga hasil akhirnya adil sama rata dengan tak merugikan peserta didik lainnya. Konkretnya guru memastikan pekerjaan peserta didik dari goresan tinta yang terlihat. Kemudian dikomunikasikan kepada peserta didik untuk mengkonfirmasi.



Perempuan yang kerap dipanggil Rofiatul juga menjabarkan tentang penilaian otentik. Penilaian ini berfokus pada capaian peserta didik dalam konteks penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini disesuaikan dengan impiris pada kehidupannya. Ada kedekatan antara peserta didik dan guru yang mampu menyelesaikan satu ulasan dengan sederhana. Otomatis, bentuk penyelesaian dan jawaban dari peserta didik akan berbeda. Melihat dari konteks cara memandang sebuah soal berdasarkan pengalaman yang bersinergi pada kebudayaan tempat tinggal.

“Penerapan kurikulum kondisi khusus yang menghasilkan penilaian sudah terintegrasi secara maksimal, sehingga menghasilkan pembelajaran umpan balik yang berguna untuk memperbaiki proses dan menghasilkan pola belajar yang diinginkan peserta didik. Sehingga uraian penilaian mampu diimplementasikan pada kurikulum kondisi khusus saat masa pandemi,” harap Rofiatul Hosna.

Menurut Rofiatul Hosna akan ada proses untuk tahapan selanjutnya dengan penerapan kurikulum kondisi khusus di semester ganjil ke genap. Yakni dengan melakukan penyesuaian penambahan yang bertahap jumlahnya. Namun penting untuk dicermati bersama, bahwa dalam pelaksanaan tersebut tetap harus mengedepankan korelasi jika akan kembali pada penerapan kurikulum sebelumnya.

Akh Muzakki menjelaskan pula bahwa tugas Disdikbud Kabupaten Jombang melalui pengawas sekolah berperan sebagai lintasan yang mengetahui secara langsung seluruh proses sekolah dalam penyesuaian kurikulum kondisi khusus. Melalui supervisi serta pendampingan, perannya sangat menentukan setiap sekolah untuk mampu melaksanakan kurikulum kondisi khusus tanpa meninggalkan kualitas.

Koordinator Pengawas SMP Disdikbud Kabupaten Jombang, Drs. Suhariyanto, M.Si. menerangkan, “Menakar hasil supervisi dengan penyesuaian kurikulum kondisi khusus, sekolah mampu melaksanakan dengan inovasi dan cara pendekatan kepada peserta didik dengan sigap. Jika dalam ukuran prosentase sudah mencapai 75% jenjang SMP Negeri/Swasta merealisasikan dengan kebijakan otonom sekolah dari kepala sekolah.”

Suhariyanto menambahkan, temuan tentang evaluasi yang kemudian berkembang pada pendampingan ialah pada penyusunan RPP guru yang masih diperlukan dengan penyesuaian kurikulum kondisi khusus.

Penekanan yang ditegaskan dalam implementasi materi pembelajaran ialah mempermudah dalam pemahaman dan pengerjaan oleh peserta didik. Hal ini guru melalui RPP yang diterapkan mampu mempercepat proses belajar peserta didik.

“Capaian hasil ketuntasan dalam belajar peserta didik memang belum 50%. Lantaran kurikulum kondisi khusus ini cenderung melaksanakan pembelajaran yang tak menciptakan tanggungan bagi peserta didik, guru, dan orangtua untuk menyelesaikan materi dengan cepat. Seperti timbangan yang seimbang antara materi dan pemahaman peserta didik untuk kemudian mampu mengimplementasikan secara konkret dalam praktiknya,” urai Suhariyanto.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y./Istimewa
Lebih baru Lebih lama