Rahmat
Sularso Nh.
Rencana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang yang bakal melakukan penggabungan merger untuk sejumlah SDN dengan menelisik adanya kekurangan peserta didik dan upaya peningkatan kualitas pendidikan tentunya menarik harapan akan menjadikan semakin lebih baik. Pelaksanaannya kalau mulai berlangsung pada tahun 2021, besar kemungkinan realisasi atau bakal berjalan di tahun pelajaran yang akan datang yakni 2020/2023.
Memang dalam persoalan merger ini tak hanya sekadar menggabungkan SDN saja. Namun ada ihwal yang lebih penting lagi yaitu persetujuan dari segenap civitas akademika di sana serta elemen komplementer lain yang notabene dari luar. Katakanlah, ada salah satu saja yang tak menghendaki dengan pelbagai latar alasannya. Tentunya tiada mungkin juga berjalan mulus, bahkan bisa saja urung dilaksanakan. Maka akan kembali seperti sediakala, pendidikan berjalan sebagaimana yang sebelumnya.
Berbeda lagi kalau sudah terjadi. Arah pemikirannya yang terjadi adalah lebih menyentuh pada aspek internal SDN itu. Boleh jadi pertambahan peserta didik ini semakin melengkapi rombongan belajar (Rombel) yang sesuai standar. Namun jikalau berlebihan, potensi terjadinya kelas paralel sangat besar sekali.
Dari pada itu ada pemikiran lain yang tercetus, diantaranya adalah andaikan kelas paralel itu tak mampu diikuti oleh angkatan/kelas dibawahnya. Jelas akan menjadi boomerang tersendiri kedepannya. Bagaimana mungkin terjadi kalau yang sebelumnya jumlah guru mengalami ketepatan sesuai dengan rombel yang ada. Kalau sampai semakin menurun jumlah peserta didik maka besar kemungkinan akan terjadi kelebihan guru. Dampaknya jelas, guru mesti di mutasi agar tercapai pemenuhan 24 jam mengajar sebagai salah satu persyaratan dalam penerimaan Tunjangan Profesi Guru atau TPP.
Jika memang kehendak yang diharapkan ialah peningkatan kualitas, mau tidak mau di dalam seluruh komponen pendidikan tersebut harus tergarap secara matang. Namun menjadi pertanyaan juga, kualitas seperti apa yang dikehendaki? Jangan-jangan pengejawantahan makna 'berkualitas' ini memuai begitu saja. Sebaliknya malah menjadi tak tentu arah dalam pembinaan maupun laju pendayagunaan kualitas itu sendiri.
Pertama dan paling utama yaitu kepala sekolah. Andaikan saja semata-mata menukar kepala sekolah dari posisi lama ke baru, maka yang terjadi boleh jadi sia-sia saja. Dapat dibayangkan sendiri, kalau kepala sekolah yang dimaksud di sekolah lama sama saja atau tak ada lonjakan sesuatu yang berarti. Demikian pula yang terjadi di sekolah baru nantinya. Belum lagi masalah lain berkenaan dengan adaptasi yang boleh saja sukar dijalani serta bisa juga mengalami stagnasi atau kebuntuan.
Perlu diketahui bahwasannya kepala sekolah merupakan seorang pemimpin tunggal yang kedudukannya tidaklah tergantikan. Baik sebagai pengambil kebijakan ataupun memunculkan sebuah ide atau gagasan cemerlang dalam peningkatan kualitas tersebut. Andaikan pada tahapan awal adaptasi maupun penyesuaian diri gagal dilakukan, jangan berharap banyak pada kualitas SDN-nya.
Sedangkan guru juga memang tali penting dalam merger kali ini. Selain penyesuaian terhadap situasi yang baru, guru mesti dapat menciptakan ruang tersendiri dalam diri peserta didik. Tak dapat disangkal lagi, proses ini membutuhkan waktu yang cepat. Mau tak mau wajib dilakukan oleh guru mengingat dalam pelaksanaan pembelajaran, hubungan yang harmonis sekaligus hangat antara guru dan peserta didiknya akan menjadi jembatan yang laik agar berhasil berjalan sukses.
Artinya, guru mampu menyampaikan berdasarkan pada kapasitas berpikir peserta didik, begitu juga kala berupaya mendalaminya. Sebab keberhasilan daripada pembelajaran bukan hanya tuntas dalam satu babak saja yaitu di dalam kelas. Melainkan sama halnya dengan perumpamaan kebanyakan bahwa sesunggunya guru ialah orang tua kedua bagi peserta didik. Maka kedudukan guru demi mencapai keberhasilan pembelajaran wajib mengetahui kondisi intern dan ektern peserta didik. Dengan demikian, harapan pada kualitas yang diharapkan terwujud secara baik dan terarah pada tiap-tiap tingkat pembelajaraannya.
Sementara itu wali peserta didik, komite sekolah, maupun unsur-unsur lain yang dipandang mampu untuk menindaklanjuti proses perbaikan kualitas yang diharapkan seyogianya telah mencapai kesepakatan bersama dengan sekolah teruntuk arah dan kebijakan yang diambil. Jangan sampai ada anggapan bahwa mereka hanyalah sampiran atau pendukung saja dari proses yang terjadi. Akibatnya bakal fatal dan bisa saja menjeruskan keseluruhannya ke arah yang tak lagi koherensi dengan tujuan awal.
Kuncinya tiada lain yakni jalinan komunikasi yang apik. Kesemua komponen wajib menjalin komunikasi serta berkomitmen dalam melakoni segela persetujuan yang ditimbulkan.
Tinggal selanjutnya menyiapkan aspek peserta didik dan pelbagai pihak lain. Peserta didik mau tidak mau akan menerima kondisi ini. Selain mereka sudah masuk dalam institusi kelembagaan sekolah, kalaupun mesti pindah rasanya tidak tepat.
Baca Juga: 8 Tahun Majalah Suara Pendidikan
Proses penyesuaian diri menjadi sesuatu yang wajib. Bersama teman sebanyanya mungkin tak ada kesulitan berarti karena pastinya kalau masa-masa SD adalah waktu bermain bersama yang jamak. Bukan saja di sekolah, namun bisa di luar lingkungan sekolah.
Rata-rata peserta didik ini adalah teman sepermainan di luar. Menjadikannya dapat segera dalam beradaptasi dengan lingkungan khususnya saat berada di sekolah. Hanya tantangan terbesarnya ketika bertemu dengan orang-orang baru yang notabene akan memberikan pengajaran serta ilmu pengetahuan yang baru. Peserta didik maupun guru harus mampu menjalin lagi-lagi bentuk komunikasi yang cemerlang. Kalau terjadi tumpukan yang malah menjelma sebagai penghalang, sedikit banyak akan menghambat penerimaan dalam pembelajaran. Bisa dari guru maupun peserta didiknya, keduanya sama-sama akan merugi sendiri.
Terlepas dari itu semua, adakah didalam benak dan pikiran sedikit saja terbesit bahwa latarbelakang yang menjadi alasan utamanya terjadi merger karena ketidakmampuan bersaing secara kualitas dengan sejumlah sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya. Jika dibenarkan demikian, pertanyaan kedua mengapa bukan sekolahnya saja secara keseluruhan yang diperbaiki.
Hal ini jelas menjadi keprihatinan. Bagaimana pun juga SD merupakan menjadi sebuah dasar pendidikan sebelum peserta didik utamanya mengarungi belantara lebih luas di jenjang berikutnya. Belum tentu juga dengan adanya merger akan mengubah situasi dan kondisi secara keseluruhannya.
Namun tiada salahnya optimis kedepan akan mejemput sesuatu yang lebih baik. Baik selaku kualitasnya atau pun lainnya. Sebab, sampai saat ini pun belum jelas juga arah yang dikehendaki dalam menuju kelebihbaikan tersebut.
*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan
Rencana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang yang bakal melakukan penggabungan merger untuk sejumlah SDN dengan menelisik adanya kekurangan peserta didik dan upaya peningkatan kualitas pendidikan tentunya menarik harapan akan menjadikan semakin lebih baik. Pelaksanaannya kalau mulai berlangsung pada tahun 2021, besar kemungkinan realisasi atau bakal berjalan di tahun pelajaran yang akan datang yakni 2020/2023.
Memang dalam persoalan merger ini tak hanya sekadar menggabungkan SDN saja. Namun ada ihwal yang lebih penting lagi yaitu persetujuan dari segenap civitas akademika di sana serta elemen komplementer lain yang notabene dari luar. Katakanlah, ada salah satu saja yang tak menghendaki dengan pelbagai latar alasannya. Tentunya tiada mungkin juga berjalan mulus, bahkan bisa saja urung dilaksanakan. Maka akan kembali seperti sediakala, pendidikan berjalan sebagaimana yang sebelumnya.
Berbeda lagi kalau sudah terjadi. Arah pemikirannya yang terjadi adalah lebih menyentuh pada aspek internal SDN itu. Boleh jadi pertambahan peserta didik ini semakin melengkapi rombongan belajar (Rombel) yang sesuai standar. Namun jikalau berlebihan, potensi terjadinya kelas paralel sangat besar sekali.
Dari pada itu ada pemikiran lain yang tercetus, diantaranya adalah andaikan kelas paralel itu tak mampu diikuti oleh angkatan/kelas dibawahnya. Jelas akan menjadi boomerang tersendiri kedepannya. Bagaimana mungkin terjadi kalau yang sebelumnya jumlah guru mengalami ketepatan sesuai dengan rombel yang ada. Kalau sampai semakin menurun jumlah peserta didik maka besar kemungkinan akan terjadi kelebihan guru. Dampaknya jelas, guru mesti di mutasi agar tercapai pemenuhan 24 jam mengajar sebagai salah satu persyaratan dalam penerimaan Tunjangan Profesi Guru atau TPP.
Guru juga memang tali penting dalam merger kali ini. Selain penyesuaian terhadap situasi yang baru, guru mesti dapat menciptakan ruang tersendiri dalam diri peserta didik. Tak dapat disangkal lagi, proses ini membutuhkan waktu yang cepat.
Jika memang kehendak yang diharapkan ialah peningkatan kualitas, mau tidak mau di dalam seluruh komponen pendidikan tersebut harus tergarap secara matang. Namun menjadi pertanyaan juga, kualitas seperti apa yang dikehendaki? Jangan-jangan pengejawantahan makna 'berkualitas' ini memuai begitu saja. Sebaliknya malah menjadi tak tentu arah dalam pembinaan maupun laju pendayagunaan kualitas itu sendiri.
Pertama dan paling utama yaitu kepala sekolah. Andaikan saja semata-mata menukar kepala sekolah dari posisi lama ke baru, maka yang terjadi boleh jadi sia-sia saja. Dapat dibayangkan sendiri, kalau kepala sekolah yang dimaksud di sekolah lama sama saja atau tak ada lonjakan sesuatu yang berarti. Demikian pula yang terjadi di sekolah baru nantinya. Belum lagi masalah lain berkenaan dengan adaptasi yang boleh saja sukar dijalani serta bisa juga mengalami stagnasi atau kebuntuan.
Perlu diketahui bahwasannya kepala sekolah merupakan seorang pemimpin tunggal yang kedudukannya tidaklah tergantikan. Baik sebagai pengambil kebijakan ataupun memunculkan sebuah ide atau gagasan cemerlang dalam peningkatan kualitas tersebut. Andaikan pada tahapan awal adaptasi maupun penyesuaian diri gagal dilakukan, jangan berharap banyak pada kualitas SDN-nya.
Sedangkan guru juga memang tali penting dalam merger kali ini. Selain penyesuaian terhadap situasi yang baru, guru mesti dapat menciptakan ruang tersendiri dalam diri peserta didik. Tak dapat disangkal lagi, proses ini membutuhkan waktu yang cepat. Mau tak mau wajib dilakukan oleh guru mengingat dalam pelaksanaan pembelajaran, hubungan yang harmonis sekaligus hangat antara guru dan peserta didiknya akan menjadi jembatan yang laik agar berhasil berjalan sukses.
Artinya, guru mampu menyampaikan berdasarkan pada kapasitas berpikir peserta didik, begitu juga kala berupaya mendalaminya. Sebab keberhasilan daripada pembelajaran bukan hanya tuntas dalam satu babak saja yaitu di dalam kelas. Melainkan sama halnya dengan perumpamaan kebanyakan bahwa sesunggunya guru ialah orang tua kedua bagi peserta didik. Maka kedudukan guru demi mencapai keberhasilan pembelajaran wajib mengetahui kondisi intern dan ektern peserta didik. Dengan demikian, harapan pada kualitas yang diharapkan terwujud secara baik dan terarah pada tiap-tiap tingkat pembelajaraannya.
Sementara itu wali peserta didik, komite sekolah, maupun unsur-unsur lain yang dipandang mampu untuk menindaklanjuti proses perbaikan kualitas yang diharapkan seyogianya telah mencapai kesepakatan bersama dengan sekolah teruntuk arah dan kebijakan yang diambil. Jangan sampai ada anggapan bahwa mereka hanyalah sampiran atau pendukung saja dari proses yang terjadi. Akibatnya bakal fatal dan bisa saja menjeruskan keseluruhannya ke arah yang tak lagi koherensi dengan tujuan awal.
Kuncinya tiada lain yakni jalinan komunikasi yang apik. Kesemua komponen wajib menjalin komunikasi serta berkomitmen dalam melakoni segela persetujuan yang ditimbulkan.
Tinggal selanjutnya menyiapkan aspek peserta didik dan pelbagai pihak lain. Peserta didik mau tidak mau akan menerima kondisi ini. Selain mereka sudah masuk dalam institusi kelembagaan sekolah, kalaupun mesti pindah rasanya tidak tepat.
Baca Juga: 8 Tahun Majalah Suara Pendidikan
Proses penyesuaian diri menjadi sesuatu yang wajib. Bersama teman sebanyanya mungkin tak ada kesulitan berarti karena pastinya kalau masa-masa SD adalah waktu bermain bersama yang jamak. Bukan saja di sekolah, namun bisa di luar lingkungan sekolah.
Rata-rata peserta didik ini adalah teman sepermainan di luar. Menjadikannya dapat segera dalam beradaptasi dengan lingkungan khususnya saat berada di sekolah. Hanya tantangan terbesarnya ketika bertemu dengan orang-orang baru yang notabene akan memberikan pengajaran serta ilmu pengetahuan yang baru. Peserta didik maupun guru harus mampu menjalin lagi-lagi bentuk komunikasi yang cemerlang. Kalau terjadi tumpukan yang malah menjelma sebagai penghalang, sedikit banyak akan menghambat penerimaan dalam pembelajaran. Bisa dari guru maupun peserta didiknya, keduanya sama-sama akan merugi sendiri.
Terlepas dari itu semua, adakah didalam benak dan pikiran sedikit saja terbesit bahwa latarbelakang yang menjadi alasan utamanya terjadi merger karena ketidakmampuan bersaing secara kualitas dengan sejumlah sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya. Jika dibenarkan demikian, pertanyaan kedua mengapa bukan sekolahnya saja secara keseluruhan yang diperbaiki.
Hal ini jelas menjadi keprihatinan. Bagaimana pun juga SD merupakan menjadi sebuah dasar pendidikan sebelum peserta didik utamanya mengarungi belantara lebih luas di jenjang berikutnya. Belum tentu juga dengan adanya merger akan mengubah situasi dan kondisi secara keseluruhannya.
Namun tiada salahnya optimis kedepan akan mejemput sesuatu yang lebih baik. Baik selaku kualitasnya atau pun lainnya. Sebab, sampai saat ini pun belum jelas juga arah yang dikehendaki dalam menuju kelebihbaikan tersebut.
*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan