Pemantik dan moderator diskusi. (donny)


JOMBANG – Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pasalnya, dalam revisi undang-undang tersebut posisi KPK dalam tupoksinya sebagai lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, disebut-sebut sebagai bentuk upaya pelemahan tersistematis.

Terakhir, publik juga dikejutkan dengan penonaktifan sebanyak 75 pegawai KPK yang notabene pernah menuntaskan kasus besar. Tentu kedua hal tersebut memicu kontroversi dan pertanyaan besar di benak masyarakat, apa yang menjadi latar belakang munculnya UU KPK dan penonaktifan 75 pegawai KPK itu.

Guna menjawab pertanyaan tersebut, sekelompok pemuda-pemudi Kota Santri yang tergabung dalam komunitas Brand Kreatif Lokal dan Caffe Platarium.co, mengadakan nonton bareng film dokumenter bertajuk Ronde Terakhir Melawan Korupsi, The End Game pada (5/6) dan dilaksanakan di pelataran Platarium.co.

Film berdurasi ± 2 jam besutan jurnalis kawakan Dhandy Dwi Laksono ini secara khusus mengupas sengkarut polemik yang tengah menggejala di tubuh lembaga anti rasuah tersebut. Selama dua jam, satu per satu mantan pegawai KPK mengutarakan pengalamannya kala terjun dalam pengusutan kasus tindakan korupsi.

Memang tidak ada salahnya jika membedah dan menelaaah apa yang terjadi pada KPK saat ini, namun juga penting lagi adalah tidak terbawa dalam isu yang keluar pada konteks permasalahan. Sehingga film dokumenter ini baiknya ada referensi pembandingnya.

Dalam beberapa penuturannya, para mantan pegawai KPK menilai bahwasannya negara belum sepenuhnya hadir untuk perkara pemberantasan korupsi. Termasuk penyerangan Novel Baswedan yang menjadi pil pahit. Meski dalam kasus itu, pihak Polri sudah menetapkan tersangka, namun aktor intelektual masih samar hingga hari ini.

Malam semakin lingsir, film pun telah usai. Tanda akan dimulainya sesi diskusi yang menjadi babak akhir acara. Peserta yang tidak lebih dari 40 orang dan didominasi oleh pelajar serta mahasiswa masih cukup antusias mengikuti jalannya acara. Faris Arfan yang bertugas sebagai moderator mencoba melontarkan pertanyaan mengenai tanggapan para peserta yang hadir malam itu.

Tanggapannya pun beragam, salah satunya dikemukakan oleh Lutfan Efendi. Lutfan Efendi yang namanya cukup familiar di jagat literasi Kota Santri lewat Pentol Nusantaranya, mengungkapkan, bahwa film tersebut seyogianya disertai pembanding agar pendiskusian bisa seimbang dan proposional.

Baca Juga: Ketahui 6 Cara Mengolah Limbah Keras di Sekitar Rumah

“Memang tidak ada salahnya jika membedah dan menelaaah apa yang terjadi pada KPK saat ini, namun juga penting lagi adalah tidak terbawa dalam isu yang keluar pada konteks permasalahan. Sehingga film dokumenter ini baiknya ada referensi pembandingnya,” tutur Lutfan Efendi.

Berbeda dengan pendapat Lutfan Efendi, pemantik diskusi yakni Muhammad Aji Husain mengatakan bahwa adanya kemelut di KPK laik untuk dikaji bersama, sebab perkara korupsi berpilin erat dengan persoalan sosial, ekonomi, dan, politik masyarakat secara luas.

Lebih lanjut, pria yang masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Malang ini menambahkan, tolok ukur kebangsaan melalui tes wawasan kebangsaan menjadi klise. Sebab hasil akhirnya, para pegawai KPK yang ikut tes tidak lolos.

Muhammad Aji Husain menjelaskan, “Beberapa mantan pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan, pernah menangani kasus korupsi besar. Sekaligus sudah lebih dari lima tahun bekerja di KPK.”

Suasana diskusi dengan penerapan protokol kesehatan. (ist)

“Tentu ini membingungkan masyarakat. Selaiknya masyarakat juga mesti memahami bahwa jika seseorang pegawai KPK telah proaktif dalam menuntaskan tindak pidana korupsi maka sudah jelas, rasa kebangsaan itu tertanam kuat dalam sanubarinya. Sesederhana itu logika pemahaman yang bisa kita gunakan sebagai pisau analisa dalam memahami konflik di tubuh KPK,” lanjutnya.

Diskusi semakin menarik, walau dalam nuansa pandemi dan penerapan protokol kesehatan secara ketat, tidak menyurutkan para peserta untuk bertukar pendapat dan gagasannya mengenai KPK dan korupsi. Terakhir di penghujung acara, koordinator penyelenggara, Yayan menyampaikan, tujuan dari diadakannya nonton bareng dan diskusi ini ialah untuk membuka akses literasi khususnya bagi masyarakat Jombang.

“Awal kami mendapat file film ini, memang sengaja berkontak langsung dengan Dhandy Dwi Laksono. Kemudian kami mengikuti petunjuk teknis yang telah ditetapkan oleh tim dari Watchdoc (tim dari Dhandy Dwi Laksono). Setelah semua sarat terpenuhi baru kami bisa menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi ini serentak di beberapa daerah dengan penerapan protokol kesehatan. Sekaligus besar harapan kami agar ruang semacam ini terbuka bagi siapapun untuk mengasah kepekaan kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia,” tandas Yayan.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama