Para korban kekerasan seksual saat mendapat dampingan psikologis dari WCC Jombang. (ist)


JOMBANG – Maraknya khasus kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika sesungguhnya sangat disesalkan sekali. Mereka (baca: korban) notabene adalah calon penerus bangsa di masa akan datang. Jika tidak dapat segera bangkit dan memulihkan kembali kondisinya, jelasnya satu peluang negeri ini telah pupus.

Data yang dibeberkan oleh Woman Crisis Center (WCC) Jombang per Januari hingga Nopember 2021 terbilang sangat mencengangkan. Bertapa tidak di Kota Santri ini terdapat 76 kasus kekerasan yang dialami perempuan. 40 kasus diantaranya dalam rumah tangga dan 36 kasus lainnya perihal kekerasan seksual.

Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah, S.H.I. mengungkapkan sejauh ini lembaga swadaya masyarakat yang dijalankannya menangani pelbagai jenis bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dari kekerasan verbal lewat cyber, inses atau hubungan sedarah, dalam berpacaran, pelecehan seksual secara fisik, dan pemerkosaan. Sesungguhnya kalau mau lebih turun ke bawah, sebenarnya masih banyak kasus kekerasan yang dialami perempuan di Jombang, namun belum semuanya naik kepermukaan. Tentunya ada beberapa pertimbangan dari korban maupun keluarga enggan melaporkan musibah yang menimpanya tersebut.

Pentingnya penegakan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak untuk dipahamkan pada peserta didik di jenjang pendidikan dasar maupun menengah.

“Pertama, dikarenakan dominasi pelaku. Baik secara fisik maupun strara sosial, sehingga akan berpikir dua kali kalau akan melaporkannya. Ada semacam kekhawatiran dan ketakutan tersendiri yang bakal dialami oleh korban pasca pelaporan. Biasanya ini dialami oleh korban kekerasan seksual. Kedua, stigma yang berkembang di masyarakat acap menilai korban sebagai individu yang menggoda. Dengan kata lain, cap negatif sudah disematkan terlebih dahulu sebelum melihat persoalannya secara utuh,” terang Ana Abdillah.

Padahal tidaklah selalu demikian, lanjut perempuan berhijab ini. Dorongan seseorang melakukan kekerasan seksual karena dilandasi tidak adanya pemahaman pendidikan seksual yang laik. Akibatnya mudah sekali tergoda dan selagi ada kesempatan akan melangsungkan aksi bejatnya tersebut.

Baca Juga: HUT DWP Kabupaten Jombang

Dosen Prodi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Dwi Rahayu Kristianti, S.H., M.A. saat dihubungi terpisah melalui sambungan WhatsApp, pada Rabu (8/12), menegaskan, belum adanya supremasi hukum yang memihak pada kepentingan korban kekerasan seksual juga menjadi faktor mengapa kekerasan seksual itu tumbuh subur.

Dwi Rahayu Kristianti mengungkapkan, “Ini tercermin dari penanganan kasus kekerasan seksual yang hanya bersifat hukuman berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal idealnya tidak sebatas hukuman, melainkan juga diberikan rehabilitasi bagi korban dan pelaku. Perlu dipahami bahwa ada banyak variabel pembentuk sikap pelaku ketika melakukan tindak kekerasan seksual, diantaranya pola asuh yang kurang tepat saat masa pertumbuhan anak-anak ke usia remaja, serta minimnya pemahaman terkait pendidikan seksual utamanya kesehatan organ reproduksi secara bertanggung jawab.”

Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah, S.H.I. saat ditemui di Kantor WCC pada (12/9). (Donny).

Menyoroti lebih dalam terkait kondisi anak-anak yang cukup rentan menjadi korban, Dwi Rahayu Kristianti menjelaskan pentingnya penegakan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak untuk dipahamkan pada peserta didik di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Karena, jika hanya berdasarkan KUHP, upaya memutus rantai kekerasan seksual ini hanya sebatas tindak pidana, dan bukan kepada penanaman nilai-nilai edukasi seputar pendidikan seks.

Dosen Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Dwi Rahayu Kristianti, S.H., M.A. aktif mendampingi korban kekerasan seksual. (ist)

“Selain itu kampanye memutus rantai kekerasan seksual melalui nilai-nilai edukasi, harus mendapat dukungan dari masyarakat secara penuh. Pasalnya anggapan pendidikan seks yang mengajarkan hubungan seksual harus segera dipungkasi. Seharusnya pola pikir masyarakat harus lebih terbuka, supaya jaring pengaman sosial bagi anak-anak, berupa ruang aman untuk bermain dan belajar senantiasa mewujud secara nyata,” pungkas Dwi Rahayu Kristiani.

Reporter/Foto: Donny Darmawan/Istimewa

Lebih baru Lebih lama