Anak bermain medsos bersama orangtua. (ist)


NASIONAL - Istilah Sharenting kini tengah populer di kalangan orangtua. Sharenting adalah membagikan momen anak bertumbuh dan berkembang melalui kanal sosial media. Mengabadikan momen dan merayakan tumbuh kembang anak menjadi beberapa alasan orangtua membuat akun pribadi anak di sosial media.

Pendidik anak usia dini di Rumah Main Cikal, Ina Winangsih menyebutkan bahwa kelekatan anak dan orangtua mendorong rasa ingin mengabadikan cerita anak. Aktualisasi diri orangtua terhadap pengasuhan anak secara sadar atau tidak sadar juga mendorong orangtua membuat akun instagram sendiri bagi anak.

Apabila orang tua memutuskan untuk membuat akun anak di sosial media, maka alangkah baiknya membatasi orang-orang yang dapat melihat dokumentasi anak, agar terhindar dari penyalahgunaan dokumentasi anak.

Namun, dia juga menyebutkan bahwa orangtua harus memperhatikan berbagai hal penting yang perlu diterapkan terkait privasi anak. Apa saja hal tersebut?

Tetapkan Alasan Membuat Akun Sosial Media Anak

Dalam membuat atau mendedikasikan akun sosial media khusus anak, orangtua alangkah baiknya merefleksikan dahulu tujuan atau alasan membuat sosial media anak. Jika anak sudah memungkinkan atau sudah paham untuk diajak berdialog dan dimintai pendapatnya, maka tanyakan pendapat anak dan biarkan anak memilih sesuai dengan kenyamanannya.

Baca Juga: Karir Terus Menanjak, Perlu Citra Diri yang Bijak

Ina Winangsih mengatakan sebaiknya orangtua memerhatikan peruntukan media sosial sebelum membuatkan akun untuk anaknya. Biarkan anak memilih untuk memiliki akun sosial media atau tidak, ketika dirinya sudah paham dan dapat menentukan. Sementara anak tumbuh, orang tua dapat menyimpan dokumentasi atau membuat catatan pribadi yang hanya dapat diakses oleh orang tua dan anak kelak.

Jaga Hak Dan Privasi Anak

Ketika memutuskan membuat sosial media khusus anak untuk mengabadikan cerita pengembangan dirinya, maka orangtua harus menjaga hak dan privasi anak. Orangtua harus menjaga hal-hal yang tidak seharusnya dipublikasikan dalam sosial media, sebagai berikut:

· Bagian privat anak (alat kelamin, foto tanpa pakaian)

· Identitas anak (nama lengkap, nama panggilan, tanggal lahir, lokasi sekolah dan juga informasi kelas anak, dan sebagainya)

· Keberadaan anak (tidak membagikan lokasi anak secara real time)

· Aktivitas yang privat (mandi, buang air besar/kecil)

Sebagai Pendidik yang memfokuskan diri dalam Pendidikan Anak Usia Dini, Ina Winangsih menyebutkan bahwa orang tua dapat menyalahi hak privasi anak apabila mempublikasikan beberapa hal yang tidak seharusnya dipublikasikan. Mengingat, hal tersebut dapat menempatkan anak dalam risiko.



Ina Winangsih melanjutkan sharenting dapat menyalahi hak privasi anak apabila orangtua membagikan hal-hal privat seperti bagian tubuh tertentu, bagian muka yang terekspos dengan jelas, atau bahkan data informasi anak. Hal ini tidak bisa dianggap berbagi cerita tentang anak saja, karena selain menyalahi hak privasi anak, kita juga telah menempatkan anak pada risiko, misalnya memancing stalker untuk berbuat hal yang berbahaya pada anak atau bahkan orang tuanya.

Seleksi dan Kurasi dengan Baik Foto Anak

Jika sudah memahami hal-hal yang tidak dapat dipublikasikan di sosial media anak, maka langkah selanjutnya adalah melakukan seleksi dan kurasi foto anak apabila akun sosial media yang dibuat terbuka untuk umum. Fokuskan pada kegiatan anak saja dan disarankan tidak menyebutkan lokasi realtime anak.

Orangtua pasti ingin memiliki dokumentasi tumbuh kembang anaknya. Boleh saja apabila ingin membagikannya di sosial media. Namun, orangtua perlu menyeleksi atau membatasi siapa saja yang sekiranya boleh melihat dokumentasi-dokumentasi tersebut. Ina Winangsih menuturkan akan lebih baik apabila orangtua menyimpannya sendiri dan menyusunnya dalam folder-folder pribadi yang dapat diakses orangtua atau anak ketika dewasa nanti.

Batasi Orang yang dapat Melihat Dokumentasi Anak

Apabila orang tua memutuskan untuk membuat akun anak di sosial media, maka alangkah baiknya membatasi orang-orang yang dapat melihat dokumentasi anak, agar terhindar dari penyalahgunaan dokumentasi anak. Dalam hal ini, orang tua menjadi pusat kontrol dan kendali utama atas siapa saja yang dapat melihat foto-foto aktivitas dan kegiatan anak.

Ina Winangsih menambahkan kita tidak tahu apa yang akan orang lakukan pada konten yang kita bagikan. Maka sebaiknya kita yang memegang kontrol penuh terhadap apa yang akan kita bagikan di sosial media. Terutama anak memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa karena dalam konteks sosial media, anak masih belum bisa menggunakannya dan tidak memiliki kendali atas apa yang akan orang lakukan terhadap dokumentasi/identitas yang kita bagikan.

Sumber/Rewrite: kompas.com/Tiyas Aprilia

Lebih baru Lebih lama