Sutrami saat hendak pentas Remo Lanang. (ist)


JOMBANG – Dunia panggung seni pertunjukkan merupakan jalan hidup yang saya lalui dengan penuh penjiwaan. Pernyataan ini diluncurkan dengan raut wajah yang tegas oleh Sutrami, sewaktu Majalah Suara Pendidikan menggali kisah perjalanan keseniannya pada (16/5) di kediamannya yang beralamat di Dusun Gedangkeret, Desa Banjardowo, Kecamatan Jombang.

Kalimat tersebut lantas diuraikan kembali oleh Sutrami dengan mengkisahkan awal mula karirnya di dunia seni pertunjukkan tradisional. Bermula dari titisan keluarga yang berdarah seniman, Sutrami ditempa ilmu dan pengetahuannya mengenai dunia seni tari dan suara.

Tidak sembarangan dalam melakoni tiap pementasannya. Tiap panggung dengan dua sisi yang berbeda antara peremo lanang dan pesinden , diakuinya memang menguras tenaga.

Sutrami berkisah, “Dahulu ibu seorang seniman Tari Srimpi. Sedangkan paman juga pemain kendang. Begitupula dengan bibi yang juga pesinden dari Kecamatan Plandaan. Melalui ketiga sosok inilah, saya diajarkan tentang bagaimana penguasaan lagu-lagu dengan cengkok slendro dan pelog beserta karakteristik Tari Remo sedari usia belia. Tepatnya saat masih duduk di bangku SD. Ketika itu saban pulang sekolah, saya setahap demi setahap berlatih tarik suara dan menari bersama bibi dan paman di rumah. Setiap harinya latihan menggunakan metode aba-aba lisan dari bibi dengan diiringi irama permainan kendang dari paman.”

Apa yang diajarkan bibi dan pamannya kepada Sutrami lantas membuahkan hasil. Usai dirasa Sutrami sudah memiliki bekal pengetahuan dan penguasaan yang cukup di bidang pesindenan dan remo, tibalah waktu bagi Sutrami untuk unjuk gigi.

Baca Juga: Cuaca Panas di Siang Hari, Hadapi dengan Langkah Berikut

“Setelah lulus SD pada tahun 1987, memang waktu pentas saya untuk pertama kalinya. Kala itu, saya dipentaskan oleh bibi dalam pagelaran Wayang Kulit di Desa Banjardowo sebagai sinden dan peremo putri. Dari pentas perdana inilah, perjalanan saya di dunia seni pertunjukkan dimulai,” ujar Sutrami.

Lika-liku di dunia seni lantas dialami oleh nenek dua orang cucu ini. Setelah melepas masa lajangnya dan diperistri oleh seorang panjak (pemain) kendang, Sutrami tidak lagi pentas menarikan Remo Putri. Melainkan Remo Lanang. Perubahan ini pun atas gagasan sang suami yang melihat karakteristik wiraga Sutrami lebih ideal untuk menari Remo Lanang.



“Pergantian ini ibarat menjadi ilham bagi dunia kesenian saya. Sebab, ketika beberapa pentas berganti dari sinden di siang sampai sore hari, kemudian meremo lanang malam hari dan berlanjut kembali menyinden, penjiwaan keduanya telah luruh dalam sanubari saya hingga saat ini,” imbuh pemilik nama panggung Ririn Sutrami.

Selaiknya mengemban amanat profesi, Sutrami juga tidak sembarangan dalam melakoni tiap pementasannya. Tiap panggung dengan dua sisi yang berbeda antara peremo lanang dan pesinden , diakuinya memang menguras tenaga. Namun Sutrami tak menyerah. Baginya mengatur jam tidur, dan menimbang asupan makanan secara teratur menjadi kunci kebugaran saat pentas.


Busana sinden yang dikenakan Sutrami. (ist)

“Selain itu, menguasai panggung juga tidak mudah. Dibutuhkan mental yang teruji untuk mampu menghibur penonton, terutama si punya hajat. Oleh karenannya, bagi saya seni hiburan mesti dijiwai mendalam. Artinya, siapapun yang mengundang dan mengajak pentas sebagai seorang seniman tidak patut membedakan antar satu dengan lainnya. Wajib profesional dan maksimal dalam menghibur dengan memberikan suguhan suara dan tari yang terbaik,” tandas Sutrami.

Reporter/Foto: Donny Darmawan/Ist

Lebih baru Lebih lama