Poster himbauan tentang bahaya kekerasan dan perundungan. (Donny)


JOMBANG – Jagat sosial media kian hari ramai dengan pemberitaan kasus perundungan atau bullying. Di lingkup satuan pendidikan lah kasus tersebut banyak bermuara. Merunut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, di sepanjang tahun 2022 telah terdapat temuan serta laporan perundungan sebanyak 442 kasus dari jenjang SD sampai menengah atas. Seturut pula, Federasi Serikat Guru Indonesia mencatat 6 kasus perundungan hingga 14 perkara serupa dalam bentuk kekerasan seksual.

Guru dan wali peserta didik harus seirama dalam memotret kebaikan anak didik pasca terbangun frekuensi emosionalnya. Contoh, ketika anak didik tidak melakukan perundungan maka harus di apresiasi dan di dampingi secara berkelanjutan.

Berdasarkan uraian data di atas, perundungan ibarat fenomena gunung es yang memang membutuhkan keterlibatan seluruh pihak dalam mencari akar permasalahan sekaligus solusi konkret penanganannya. Mulai dari pemerintah, satuan pendidikan, hingga masyarakat yang dalam hal ini ialah wali peserta didik.

Baca Juga: Rawan! Perundungan Terjadi Tanpa Disadari

Berkaca pada rentetan masalah perundungan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang menegaskan komitmen guna mengikisnya. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Disdikbud Kabupaten Jombang, Senen, S.Sos., M.Si. Diakuinya perihal maraknya perundungan merupakan satu catatan tersendiri di dunia pendidikan yang harus disikapi secara bijak. Artinya, dari beberapa faktor penyebab terjadi perundungan dari lingkungan maupun hal lain harus mampu diselesaikan melalui metode persuasif dari guru terhadap peserta didik.

Senen menegaskan, “Kebajikan dalam merespon perundungan di satuan pendidikan tentu guru yang harus menjadi ujung tombaknya. Sebab, telah banyak kegiatan penguatan kompetensi maupun pembinaan kepada guru yang difasilitasi oleh Disdikbud untuk memahamkan implementasi secara tepat ihwal penanganan perundungan di satuan pendidikan. Sehingga, bentuk komitmen yang kita jalankan tak sekadar imbauan semata. Melainkan turut mencakup teori hingga praktiknya, dengan tujuan utama menghapus seraya mengikis praktik perundungan di tiap satuan pendidikan.”

Senen. (Donny)

Menurut Senen, untuk meredam gejala perundungan, guru wajib melakukan pendekatan secara persuasif kepada peserta didik. Skema semacam ini pun mesti disertai akan dampak dan pentingnya pelarangan segala bentuk perundungan baik verbal maupun fisik ke peserta didik.

Senen menambahkan, “Komunikasi yang melahirkan iklim harmonis pada seluruh warga satuan pendidikan pada akhirnya menjadi fondasi terpenting pencegahan perundungan. Karenanya, peran wali peserta didik dalam mendeteksi sikap serta gaya belajar peserta didik wajib di analisa lantas guru memiliki takaran tindakan tatkala terjadi perundungan.”

Sejurus dengan pernyataan Senen, mantan Sekretaris Disdikbud Kabupaten Jombang yang terakhir menjabat sampai (4/7), Bambang Rudy Tjahjo Surjono, M.Pd. membenarkan bahwasannya komitmen mengatasi perundungan harus terimplementasi secara konkret di tingkat satuan pendidikan. Adapun ketentuannya mulai dari regulasi, sampai pembinaan acuannya tetap pada prinsip pelaksanaan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Bambang Rudy Tjahjo Surjono. (Donny)

“Perlu ditekankan bahwa merespon perundungan bukanah suatu hal yang baru. Landasan implementasi SRA mesti dipahami menyeluruh oleh para guru dan kepala satuan pendidikan. Tujuannya jelas, supaya ketegasan dalam menyikapi perundungan bukan lagi dinilai sebagai sebuah aib. Melainkan harus diselesaikan tuntas ke akarnya, supaya iklim pendidikan di satuan pendidikan sesuai pada marwah SRA yang harus menihilkan laku diskriminatif, kekerasan, maupun perundungan dengan segala bentuknya,” ujar Bambang Rudy Tjahjo Surjono.



Bentuk pengendalian perundungan yang masih senapas pada SRA, turut seirama dengan penajaman pemahaman pendidikan inklusif pada seluruh pendidik dan kepala satuan pendidikan dari tingkat PAUD, SD, SMP, imbuh Bambang Rudy Tjahjo Surjono. Sehingga diharapkan, komitmen yang menjembatani antara pelaksanaan regulasi dengan kompetensi pendidik berjalan selaras.

Kepala Seksi Peserta Didik dan Pembangunan Karakter SD, Bidang Pembinaan SD Disdikbud Kabupaten Jombang, Supartini, S.Sos., M.M. pun mengakui, bilamana konsep pendidikan inklusif sebagaimana yang telah dilaksanakan pada Bimbingan Teknis (Bimtek) per (26-27/6) hingga (3/7), bertujuan agar satuan pendidikan memiliki acuan dalam mengkomodir segala kebutuhan peserta didik dari segala aspek. Menurut Supartini, manakala kebutuhan peserta didik telah mampu diakomodir oleh para pendidik, maka perundungan dapat dicegah.


Supartini. (Donny)

Supartini menjabarkan, “Di lapangan acuan terkait pemahaman karakteristik peserta didik belum banyak dipahami oleh pendidik secara utuh nan menyeluruh. Sebagai contoh, ketika terdapat satu peserta didik yang terindikasi berkebutuhan, jika tidak mendapat perlakuan yang sesuai, bukan tak mungkin perundungan antar peserta didik bisa saja terjadi karena mereka pada dasarnya juga belum memahami bahwa tindakannya masuk dalam perundungan. Maka dari itulah dalam hal terkecil penyikapan pada kondisi tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemetaan kebutuhan peserta didik, serta memantau pencapaiannya melalui parenting bersama wali peserta didik. Agar, wali peserta didik turut mengetahui dan memberikan masukan ihwal metode pelayanan satuan pendidikan lewat acuan yang sudah dibuat oleh guru dari hasil Bimtek tersebut.”

Safak Efendi. (Donny)

Senada dengan Supartini, Kepala Bidang Pembinaan SMP, Disdikbud Kabupaten Jombang, Safak Efendi, M.Pd. turut menegaskan pentingnya penangkalan tindak perundungan harus didasari atas kecakapan pendidiknya. Kecakapan ini melingkupi penyusunan standar operasional satuan pendidikan yang mencakup pelaksanaan langkah inklusif.

“Tentu sudah menjadi suatu pengetahuan mendasar bagi seorang pendidik, bahwa iklim belajar di satuan pendidikan harus menjadi rumah kedua bagi peserta didik. Artinya, standar operasional yang ditetapkan mesti menaungi seluruh layanan berprinsip inklusif pada seluruh peserta didik. Contoh konkretnya, bisa diawali dari pembuatan peraturan di satuan pendidikan. Sebelumnya, bisa dirumuskan terlebih dahulu pokok masalah yang kerap berpotensi menjadi pelanggaran di satuan pendidikan pada seluruh warga satuan pendidikan. Semisal kasusnya perundungan, maka ketentuan peraturan harus di desain untuk mencegahnya,” terang Safak Efendi.

Mantan Kepala SMP Negeri 1 Bareng ini juga menambahkan, bentuk lain yang dapat ditempuh ialah dengan menggandeng pihak tertentu dalam kapasitasnya untuk mendukung inklusifitas satuan pendidikan, imbuh Safak Efendi. Termasuk tindakan perundungan. Walhasil, dalam prosesnya menyoal langkah antisipasi terhadap perundungan juga menjadi tanggung bersama, mulai dari satuan pendidikan, wali peserta didik, sampai lembaga/dinas terkait yang memiliki kesesuaian tugas, pokok dan fungsinya.

Atma Widya Rahayu. (ist)

Sementara itu, solusi lain penanganan perundungan turut diutarakan oleh Owner Center Terapi Autis Hiperaktif sekaligus Kepala TK Inklusi Pelangiku Jombang, Atma Widya Rahayu, S.Pd. Sepengalamannya, terdapat dua metode alternatif yang dapat diterapkan guna menangani kasus perundungan dan upaya pencegahannya. Diantaranya, bermain peran dan breifing.

Atma Widya Rahayu menjabarkan, “Pada saat bermain peran, anak seyogianya kita ajak untuk memahami dan merasakan gambaran kondisi lingkunga terdekatnya. Disinilah imaji dan rasa anak terasah yang harus dipantik melalui pertanyaan tentang gambaran dirinya jika diberlakukan tidak semestitnya dan sebaliknya. Maka opsi jawaban dari sang anak inilah yang menjadi kunci pemahaman bahwa bila tindakannya kurang elok dan termasuk perundungan. Kedua, untuk briefing sebenarnya bermuara dari pendekatan guru atau wali peserta didik kepada sang anak, guna membangun frekuensi emosional.”

Setali tiga uang, Atma Widya Rahayu juga menjelaskan, berdasarkan frekuensi emosional yang telah terbangun sewaktu anak membutuhkan perhatian khusus. Semacam meluapkan emosinya dan citra dirinya yang menurun, baik dirundung maupun menjadi aktor perundungan, maka tidak boleh ada penghakiman baginya. Solusi pengendalian emosional seperti ini juga wajib mendahulukan sudut pandang dari anak, agar kita memahami latar belakang perbuatannya. Terakhir dan yang paling inti, guru dan wali peserta didik harus seirama dalam memotret kebaikan anak didik pasca terbangun frekuensi emosionalnya. Contoh, ketika anak didik tidak melakukan perundungan maka harus di apresiasi dan di dampingi secara berkelanjutan.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama