Ilustrasi orangtua bersama anaknya. (Ist) |
NASIONAL - Tidak ada anak yang terlahir manja, karena perilaku ini diajarkan dari lingkungan sekitarnya. Untuk itu orangtua perlu memahami pola asuh seperti apa yang bisa membentuk si kecil menjadi anak manja.
Dalam sebuah survei yang dilakukan di Parents.com terungkap, 42 persen orangtua mengaku anak mereka manja dan 80 persen menjawab perilaku manja itu akan berdampak di masa depan. Jika kita merasa buah hati termasuk manja, belum terlambat untuk mengubah perilakunya dengan melakukan taktik penyesuaian perilaku.
Baca Juga: SMA/SMK Terbaik di Jombang 2022/2023
Penyebab utama anak menjadi manja adalah karena orangtua terlalu lunak atau disebut juga pola asuh permisif. Menurut pakar di American Academy of Pediatrics, jika orangtua tidak menanamkan disiplin atau menegakkan batasan dapat menyebabkan anak berperilaku egois dan tidak dewasa.
Tetapi, sebagai orangtua kadang kita tanpa sadar menghindar dari membuat aturan atau mengalah karena bermaksud baik. Misalnya ingin menyenangkan anak dan membuat kenangan indah. Lagi pula, memberikan jauh lebih mudah ketimbang berkata tidak.
Orangtua yang bekerja juga sering dihantui rasa bersalah karena mereka meninggalkan rumah, entah karena harus ke kantor atau tugas ke luar kota. Pakar pendidikan anak, Dr.Louis Lichtman Ph.D,. mengatakan bisa dipahami jika kita cuma punya waktu bersama beberapa jam dalam sehari, kita tak ingi merusak kesenangan itu.
Walau tidak ada salahnya sesekali membelikan mainan kecil saat mengajaknya ke supermarket atau ke mal sebagai hadiah, tetapi risiko anak tumbuh manja akan lebih besar jika kita melakukan hal-hal tersebut karena rengekan mereka yang tak berkesudahan. Tugas kita sebagai orangtua adalah mendorong anak berperilaku baik, bukan sebaliknya.
Tanda Anak Manja
Banyak ahli perkembangan anak tidak menggunakan istilah anak manja karena istilah tersebut tidak didefinisikan dengan baik dan bersifat menghina. Namun, jika anak tidak diajarkan disiplin mereka akan menunjukkan perilaku:
· Kurang kontrol diri
· Agresif
· Selalu ingin diutamakan
· Impulsif
· Suka melawan
· Mendominasi
Anak-anak akan terus melanjutkan perilaku tersebut jika orangtua masih menghindar membuat batasan atau menerapkan disiplin. Perilaku manja ini akan menjadi masalah ketika anak mulai masuk sekolah, bahkan sampai dewasa. Anak yang manja cenderung akan bermasalah dalam hal motivasi, kurang gigih, dan juga hubungan dengan orang lain.
Mengubah Perilaku Manja
1. Refleksi pola asuh
Awalilah dengan memikirkan kembali mengapa kita memilih pola asuh seperti saat ini. Tanyakan mengapa saya sering membelikan anak benda-benda? Mengapa saya sulit berkata tidak? Refleksi semacam ini memang tidak mudah bagi sebagian orang, karena terkadang akan memunculkan lagi memori yang tidak menyenangkan dari masa kecil. Pahami bahwa anak manja tidak ada hubungannya dengan terlalu dicintai.
Pakar parenting, Aliza Pressman mengatakan jika cara Anda menunjukkan kasih sayang kepada anak Anda adalah 'memenuhi setiap keinginan dan kebutuhannya tanpa mengajari mereka bahwa ada batasan, dan bahwa mereka dapat melakukan dan mengupayakan segala sesuatunya sendiri maka kemungkinan besar anak akan manja.
2. Buat batasan
Anak-anak butuh batasan yang konsisten. Jika kita plin-plan, anak akan memanfaatkannya. Ini berarti, ketika anak tantrum saat keinginannya tidak dipenuhi, kita perlu mengajari anak untuk mengenali apa yang ia rasakan, bukannya menuruti perilakunya yang akan dianggap anak sebagai hadiah. Misalnya, Bunda tahu kamu kecewa karena tidak dibelikan mainan. Hal ini menunjukkan kita berempati pada perasaannya, tapi kita tetap membuat batasan.
3. Beri tanggung jawab
Cara lain adalah beri anak tanggung jawab di rumah dan beri hadiah berupa pujian saat anak melakukannya. Memberi hadiah berupa uang, mainan, atau makanan, saat mereka mengerjakan peer atau menyikat gigi sebelum tidur, tidak akan mengajarkan apa-apa, karena di dunia nyata tidak ada hadiah untuk orang yang melakukan tugas-tugas hariannya.
4. Jangan terlalu sering membantu
Orangtua punya kecenderungan untuk terburu-buru, memperbaiki, dan juga tidak ingin anaknya repot. Padahal, tidak apa-apa, bahkan bagus, jika anak belajar kalah atau gagal. Pengalaman itu akan memberi mereka pelajaran untuk menghadapinya.
Sumber/Rewrite: kompas.com/Tiyas Aprilia