Ilustrasi pelaksanaan konseling di satuan pendidikan. (Rabitha)


JOMBANG – Perilaku perundungan atau bullying seakan sudah menjadi wabah yang hampir dialami setiap satuan pendidikan. Pelbagai cara diupayakan untuk mengatasinya mulai dari tindakan kampanye hingga beragam hal teknis guna menyelesaikan paska terjadinya permasalahan. Kendati demikian, meski telah banyak kasus perundungan terungkap, ternyata semakin diketahui bahwa semua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es yang apabila ditelisik kian dalam maka akan didapati permasalahan yang lebih kompleks lagi.

Komunikasi harus terbangun dua arah, pertama yakni tim anti perundungan harus memberikan informasi dengan mendatangkan wali peserta didik ke satuan pendidikan. Kedua yakni memberikan layanan sosialisasi kepada wali peserta didik untuk tak segan menginformasikan kepada tim anti perundungan apabila mendapati buah hatinya melakukan tindakan atau menjadi target bullying.

Kota Santri juga tak lepas dari pelbagai terpaan kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Senen, S.Sos.,M.Si bahwa perundungan juga termasuk tindakan kekerasan. Bentuk perundungan yang umum terjadi di lingkungan satuan pendidikan adalah verbal dan fisik, hingga bentuk perundungan sosial dan dalam jaringan atau cyberbullying.

Senen, S.Sos.,M.Si. (Donny)

Senen mengatakan bahwa pada lingkungan satuan pendidikan, guru harus peka terhadap hal-hal kecil yang berpotensi terjadinya perundungan. Sebagai contoh dalam bentuk verbal yang seringnya dianggap sederhana dan bercanda, harus segera dihentikan atau ditindak agar tak berlanjut pada permasalahan yang lebih besar atau malah menjadi kebiasaan. Perilaku menyimpang yang sederhana ini juga berdampak pada pembentukan karakter peserta didik yang kini mulai berkembang positif berkat keberhasilan program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah-Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA), Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB-PPPA) Kabupaten Jombang, Moh Musyafiq, S.Psi. menerangkan ragam potensi terjadinya perundungan pada anak, jenisnya, hingga cara menanganinya kini mengalami pergeseran. Terlebih sebelum dan setelah masa pandemi Covid-19 yang menyebabkan anak kian akrab dengan gawai dan media sosial, sehingga marak pula didapati kasus cyberbullying.

Moh Musyafiq, S.Psi. (Rabitha)

Moh Musyafiq, menjabarkan bahwa apabila dahulu kasus perundungan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar, seperti permasalahan keluarga, tempat tinggal, pergaulan yang bermasalah di satuan pendidikan, namun untuk saat ini faktor lingkungan tersebut mulai tak dapat dijadikan acuan mutlak. Sebab, saat ini juga dapat bersumber dari kebiasaan akses telepon pintar maupun komputer yang tak bijak sesuai dengan umur dan kebutuhannya.

Praktisi Psikologi Kabupaten Jombang, Laubna Dzakiyah, S.Psi. menjelaskan bahwa cikal bakal terjadinya perundungan antar pelajar adalah adanya perbedaan, seperti berbeda pendapat dan status. Oleh sebab itu yang perlu ditekankan dalam lingkungan sosial baik di satuan pendidikan maupun diluar adalah sikap inklusivitas, artinya menyambut baik pelbagai macam perbedaan seperti, gender, etnis, agama, dan latar belakang lainnya. Sikap inklusivitas ditambah dengan pendidikan karakter yang berkelanjutan dan berkesinambungan akan membantu meminimalisir potensi perundungan.

Laubna Dzakiyah, S.Psi. (Rabitha)

Laubna Dzakiyah juga tak menampik bahwa perilaku bercanda memang seakan telah dijadikan tameng untuk menyelesaikan permasalahan yang sejatinya telah menjurus pada perilaku perundungan dengan cepat. Oleh sebab itu perlu adanya batasan serta pemahaman bagi civitas akademika untuk mampu membedakan antara perilaku perundungan dan bercandaan.

“Satuan pendidikan yang memiliki program anti perundungan yang baik, pastinya memberikan pemahaman kepada seluruh civitas akademika hingga peserta didik untuk mampu membedakan tiga hal yang berhubungan dengan perundungan. Diantaranya adalah, Joke (bercanda), Teasing (menggoda/usil) dan Bullying (perundungan). Hakikatnya perbedaan dari ketiga hal tersebut terletak pada relasi kuasa antara pelaku dan target bully,” terang praktisi psikologis Yayasan Roushon Fikr itu.

Baca Juga: Merintis Karier Jawara di Negeri China

Dalam situasi bercanda relasi yang terjadi adalah relasi yang setara, yakni pelaku dan target sama-sama menganggap hal tersebut lucu dan perilaku itu berhenti disitu baik waktu dan tempatnya, imbuh Laubna Dzakiyah. Namun, dalam kasus menggoda dan bullying relasinya tidak setara, pelaku merasa atau berusaha diakui sebagai yang berkuasa, dan perilaku tersebut diulang-ulang baik dengan cara yang sama atau berbeda.

Ilustrasi ruang BK di satuan pendidikan. (Rabitha)

Perempuan yang sedang menempuh pendidikan magister profesi psikologi itu juga menjabarkan bahwa mengenal potensi dan penanganan bullying tidak bisa bersifat situasional, harus dijalankan secara simultan dan berkesinambungan bersama pendidikan seks serta pendidikan karakter/value dan pengenalan diri. Sebut saja di Yayasan Roushon Fikr yang telah memiliki jadwal pengembangan diri. Artinya, terdapat mekanisme kurikulum pembelajaran yang mencakup pendidikan karakter (pengenalan diri, values/kindness-empathy-responsibility), pendidikan seks seperti pengenalan tubuh dan sistem biologis, menarche, pubertas serta anti bullying.



Peserta didik dikenalkan pada materi tersebut melalui media visual, diskusi dan permainan yang seru. Penanangan bullying yang bersifat situasional (saat dan paska) kejadian biasanya kurang efektif dan perilaku bullying akan cenderung berulang, tandas Laubna Dzakiyah. Karenanya penanganan tersebut harus bersifat antisipatif. Jika terlanjur terjadi maka biasanya dilakukan penyelidikan menyeluruh yang dilakukan oleh Tim (pihak satuan pendidikan beserta psikolog) kemudian dilakukan penanganan khusus baik itu psikoedukasi, konseling maupun diskusi bersama pelaku, target bullying serta bystander (saksi bullying) agar masing-masing mengambil langkah sadar untuk mencapai resolusi bersama.

Sekretaris Forum Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) Kabupaten Jombang, Priska Yulia Wardani, S.Psi. menyampaikan bahwa apabila dahulu guru BK sering dianggap sebagai polisi satuan pendidikan kini paradigma baru mulai bergeser bahwa guru BK hadir untuk memberikan layanan konseling. Ruang BK tak hanya diperuntukkan bagi peserta didik yang bermasalah saja, namun bagi seluruh peserta didik yang ingin mengungkapkan perasaan emosional, sosial, kesehatan, akademis hingga jenjang pendidikan.


Priska Yulia Wardani, S.Psi. (Rabitha)

Priska Yulia Wardani yang juga sebagai Guru BK SMP Negeri 3 Jombang menjelaskan bahwa antisipasi perundungan dapat diawali dengan pembentukan tim anti perundungan. Diantaranya terdiri dari kepala satuan pendidikan yang berperan sebagai pembina, wakil kepala bidang kesiswaan yang bertugas memberikan efek jera berupa teguran atau hukuman, guru BK untuk membina dan menelaah kondisi psikologis pelaku dan target bully, serta wali kelas untuk monitoring.

Tim tersebut juga bekerjasama dengan pihak wali peserta didik yang bersangkutan apabila terjadi kasus perundungan, jabar Priska Yulia Wardani. Komunikasi harus terbangun dua arah, pertama yakni tim anti perundungan harus memberikan informasi dengan mendatangkan wali peserta didik ke satuan pendidikan. Kedua yakni memberikan layanan sosialisasi kepada wali peserta didik untuk tak segan menginformasikan kepada tim anti perundungan apabila mendapati buah hatinya melakukan tindakan atau menjadi target bullying.

Reporter/Foto: Rabitha Maha

أحدث أقدم