Nasrul lllahi saat menjabarkan sejarah Jombang masa lampau. (Donny) |
DIWEK – Perkembangan zaman yang kian melesat dengan segala nilai dan pembentukan norma barunya, telah banyak memantik segudang tanya mengenai eksistensi ajaran luhur nenek moyang masa lampau. Tak terkecuali peran dan upaya para pemuda di dalamnya.
Sebagai langkah mewedar kedua pertanyaan tersebut, Pemerintah Desa Cukir bersama jajaran tokoh masyarakat dan pemuda, pada (5/8) menghelat diskusi dengan tajuk Pemuda dan Gerakan Nguri-Nguri Kebudayaan di Desa. Bertempat di Warung Kuyaka Cukir, diskusi dibuka dengan penjabaran makna desa dalam bentang ekologi.
Proses melokalisir tradisi di desa dapat melibatkan forum pemuda dalam pendataannya. Lebih luasnya lagi sesuai nilai budaya desa yang melekat, dunia pendidikan dapat berperan dalam melestarikannya sebagai sarana edukasi dan pengembangan kegiatan.
Menurut Pegiat Sastra Jawa, Gito Sosroasmito yang didapuk sebagai narasumber I, menjabarkan, cikal bakal kebudayaan desa tak bisa dilepaskan dari keterikatan tradisi menjaga alam. Sebab nilai yang bersumber dan dianut oleh leluhur masa lampau merupakan ungkapan lahiriyah untuk menyeimbangkan hubungan kehidupan bersama alam.
“Sehingga pelajaran yang dapat dipetik hari ini, generasi usia produktif harus memiliki ikatan pengetahuan dan ilmu terhadap lanskap sejarah budaya desanya. Sehingga, tatkala terjadi suatu persoalan dan permasalahan di tingkat lokal, pisau analisis yang digunakan harus kontekstual. Sejalan dengan kearifan yang ada di desa,” ujar Gito Sosroasmito.
Baca Juga: Kiat Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Anak
Ihwal pengetahuan dan ilmu kebudayaan desa, Gito Sosroasmito mengatakan, sosok pemuda atau nom-noman merupakan memang penting dibutuhkan sebagai garda depan dalam pelestariannya. Bentuk praktiknya, kepercayaan diri kepada nilai-nilai lokal mesti ditumbuhkan melalui banyak gagasan dan kontribusi di segala aspek dalam rangka pemajuan desa.
Melanjutkan penjabaran Gito Sosroasmito, Pemerhati Budaya Jombang, Nasrul Illahi yang menjadi narasumber II turut menerangkan hal serupa. Sesuai kaidah budaya dan sejarah lokal baik versi tutur maupun babad, ini dapat direpresentasikan menjadi pedoman kebijakan gerakan perlindungan budaya desa.
“Sebagai contoh, pada Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah, proses melokalisir tradisi di desa dapat melibatkan forum pemuda dalam pendataannya. Lebih luasnya lagi sesuai nilai budaya desa yang melekat, dunia pendidikan dapat berperan dalam melestarikannya sebagai sarana edukasi dan pengembangan kegiatan,” ujar pria yang akrab disapa Cak Nas ini.
Sementara itu Direktur BumDES Cukir, Yudha selaku narasumber III menguraikan, dinamika sosial budaya Desa Cukir dalam sejarahnya harus menjadi satu refleksi bersama. Artinya, apa yang saat ini telah diwariskan para pendahulu setidaknya dijadikan pelecut seluruh pihak untuk mencintai Desa Cukir.
Yudha menegaskan, “Jejak Mbah Saribo atau yang masyhur dengan sebutan Mbah Ijo dalam membuka wilayah Desa Cukir sampai hari ini begitu besar manfaatnya bagi masyarakat. Termasuk Desa Cukir dengan sejarah Pabrik Gula dan cikal bakal Pesantren Tebuireng seluruhnya ada disini. Lantas, dengan modal tersebut, sosial budaya di masa lalu Desa Cukir harus selalu dimaknai secara aktual, digalakkan dan diberdayakan sesuai semangat zaman dan generasi saat ini.”
Reporter/Foto: Donny Darmawan