Ilustrasi peserta didik belajar. (Ist)


Achmad Fathoni, S.Pd.SD *

Indonesia telah menetapkan visi yang dikenal sebagai Visi Indonesia 2045. Dinyatakan bahwa Indonesia menjadi “Negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur”. Visi Indonesia 2045 memiliki empat pilar utama, dan salah satunya sangat erat berkaitan dengan pendidikan, yaitu pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk membangun pilar ini, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencanangkan “Merdeka Belajar” yang mana seluruh pemangku kepentingan pendidikan, termasuk peserta didik, guru, keluarga, institusi pendidikan, dunia usaha/industri, dan masyarakat bergotong-royong menjadi agen perubahan.

Merdeka Belajar merupakan tuntutan untuk menjamawab tantangan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini semakin kompleks. Bukan saja harus merespon tantangan yang sedang dihadapi, dunia pendidikan kita juga perlu merespon tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa-masa mendatang. Perhatian terhadap tantangan-tantangan pendidikan ini menjadi penting karena lembaga pendidikan dipersiapkan untuk melahirkan generasi masa depan yang unggul dan berkarakter.

Baca Juga: Kenapa Sering Mengantuk padahal Sudah Cukup Tidur?

Sebagai petunjuk arah, orientasi “Merdeka Belajar” yang diharapkan mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, harus mampu menjawab tantangan kekinian dan yang mungkin muncul di masa mendatang, agar mampu menyiapkan generasi masa depan yang unggul dan berkarakter. Setidaknya, terdapat empat tantangan besar yang sedang dan akan kita hadapi di masa-masa mendatang, yaitu persoalan nilai luhur dan moral bangsa, kematangan untuk menjadi warga dunia, perwujudan keadilan sosial, serta kompetensi Abad 21 yang harus dibangun.

Realitas Pelajar Kita Saat Ini

Krisis moral tengah menimpa generasi muda kita saat ini. Hal ini tercermin dari semakin banyaknya perilaku amoral dari sebagian pelajar kita. Sebagian mereka terbiasa dengan kata-kata umpatan dan kasar, melawan orang tua dan guru, melakukan perundungan (bullying). Bahkan ada yang berani melakukan tindak kriminalitas seperti tawuran, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.



Data hasil riset Programme for International Students Assassment (PISA) 2018 menunjukkan pelajar yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Angka ini menempatkan Indonesia di posoisi kelima tertinggi dari 78 negara yang pelajar sekolahnya paling banyak mengalami perundungan. Di tingkat nasional, pada tahun 2018 KPAI melaporkan bahwa 84% pelajar mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Badan Narkotika Nasional (BNN) juga melaporkan hasil survei bahwa ada 2,3 juta pelajar yang mengkonsumsi narkoba.

Lebih memprihatinkan lagi, krisis moral ini bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, tetapi juga melanda ke madrasah hingga ke dunia pesantren. Ada santri tewas karena dianiaya kakak kelasnya. Di tempat lain ada beberapa santri tega membakar adik kelasnya karena motif balas dendam. Fakta lain, ada guru yang menasehati pelajar putrinya untuk berjilbab malah terancam dipecat. Sementara kampanye gaya hidup hedonisme, pornografi-pornoaksi, pergaulan bebas tengah gencar menghantam pelajar kita melalui media sosial pada gawai (gadged) di tangan hampir semua pelajar kita.

Semua fakta itu adalah cerminan dari penerapan sistem pendidikan yang ada selama ini. Ditengarai masih jauh dari paradigma dan spirit agama (baca: Islam). Bahkan adanya dugaan terjadinya upaya terselubung untuk mendistorsi peran agama sebagai dasar dan paradigma dalam penyusunan kurikulum. Bahkan ada indikasi kuat menjadikan praradigma sekularisasi (menjauhkan peran agama dalam kehidupan) dalam pengembangan kurikulum. Hal itu diperkuat dengan adanya fakta perumusan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang beberapa waktu lalu tengah digodok Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, frasa agama dihilangkan, meski pada akhirnya ada revisi setelah menuai kritikan tajam dari masyakarat.

Hal ini sangat bertolak belakang ketika agama berhasil mencetak masyarakat yang semula ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) menjadi cendekiawan di berbagai bidang. Selain melahirkan ulama’ yang ahli ilmu agama, juga melahirkan para ilmuan di bidang kedokteran, fisika, farmasi, teknik, matematika, kimia, militer, dan sebagainya, Nama-nama ilmuwan seperti Ibn Khaldun dalam ilmu sosiologi, Al-Khawarizmi dalam bidang matematika, Az-Zahrawi dan Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, terus dikenang masyarakat dunia hingga sekarang.

Profil Pelajar Pancasila Yang Ideal

Ada enam dimensi Profil Pelajar Pancasila yang harus dimiliki pelajar Indonesia. Penjabaran enam dimensi tersebut dalam konseptual dan implementasinya yang ideal dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Beriman Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia. Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pelajar yang menunjukkan kepribadian yang baik, berakhlak mulia, dalam menerapkan pemahaman agama dalam kehidupan sehari-hari. Menerapkan agama (baca: Islam) mencakup tiga dimensi, yaitu hubungan dengan dirinya sendiri (akhlak), hubungan dengan manusia lain (muamalah), dan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (ibadah). Tiap pribadi harus memperkuat kepribadian agama tersebut. Sehingga dalam setiap langkah geraknya, aktifitas (amaliyah) pelajar akan terarah-teratur sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agamanya.

Kedua, Berkebinekaan Global. Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya, dan tetap berpikir terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga menimbulkan rasa saling menghargai dan kemungkinan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa. Namun demikian, Pelajar Indonesia harus dibekali pemahaman bahwa dunia saat ini berada dalam hegemoni pandangan hidup yang kapitalististik sekular. Yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Paham ini dapat menyebabkan pelajar kita menjadi teralienasi dari nilai-nilai agama. Misalnya, secara factual saat ini terdapat 34 negara di dunia yang melegalkan perkawinan sejenis (wanita-wanita atau pria-pria).

Ketiga, Gotong-royong. Pelajar Indonesia memiliki kemampuan gotong-royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan secara brsama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah, dan ringan. Tentu yang dimaksud di sini adalah gotong-royong dalam hal yang positif. Untuk itu pelajar kita harus ditanamkan paradigma yang benar dalam mengimplementasikan konsep gotong royong tersebut. Paradigma yang benar tersebut tentu harus merujuk pada standar benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela dengan spirit agama yang dianutnya.

Keempat, Mandiri. Pelajar Indonesia merupakan pelajar yang mandiri yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Menjadi pelajar sepanjang hayat membutuhkan kemandirian, yang mana seseorang mampu mengidentifikasi kebutuhannya untuk belajar, termotivasi, dan menggunakan metode belajar yang sesuai dengan dirinya. Lebih dari itu Pelajar Indonesia harus diberikan kaidah berpikir yang benar dalam proses menuntut ilmu, agar ilmu yang diperoleh menjadi ilmu yang bermanfaat.

Kelima, Bernalar Kritis. Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Untuk itu dalam setiap pembelajaran, guru sebagai pengelola dalam kelas hendaknya mengaitkan topik dan konten dalam pembelajaran sesuai dengan fakta yang dihadapi negeri dan bangsanya, tentu dengan memperhatikan tingkat perkembangan berfikir peserta didik yang ada.

Keenam, Kreatif. Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang original, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Sebagian orang berpendapat bahwa kreativitas itu hanya dimiliki segelintir orang berbakat. Menurut John Kao, pengarang buku Jamming: The Art and Discipline in Bussines Creativity (1996) membantah pendapat ini, “Kita semua memiliki kemampuan kreatif yang mengangumkan, dan kreativitas bisa diajarkan dan dipelajari”.

Makna kata kreatif sesungguhnya berkisar pada persoalan menghasilkan sesuatu yang baru. Suatu ide atau gagasan tentu lahir dari proses berpikir yang melibatkan empat unsur berpikir alat indera, fakta, informasi terdahulu, dan otak. Arti kata kreatif di sini harus diarahkan pada proses dan hasil yang positif, untuk kemaslahatan atau kebaikan bukan untuk keburukan masyarakat.

*) Kepala SDN Pesantren Kecamatan Tembelang
Lebih baru Lebih lama