Salah satu buku yang menjadi referensi penulisan alur cerita oleh Tri Juono Setyo Utomo. (Donny)


MEGALUH – Melakoni perjalanan dari panggung ke pangggung merupakan bagian hidup seorang Tri Juono Setyo Utomo. Sebagai seniman Ludruk, aktivitas pentas yang dilakoninya sejak 2005 silam, memberikan segudang pengalaman seraya ilmu hidup dari pelbagai peran dalam tiap ceritanya.

Untuk saat ini, PR terbesar Ludruk adalah menciptakan regenerasi yang wajib melibatkan seluruh pihak terkait. Pemerintah daerah dan para seniman harus terkoneksi dengan baik, dalam melahirkan generasi Ludruk kedepannya.

Dijumpai pada (6/9) di Kantor Desa Dukuharum Megaluh, Tri Juono Setyo Utomo berkisah, bahwa ilmu berkesenian telah diserapnya dari darah kedua orang tuanya yang merupakan pengrawit atau pemain gamelan pada era 1990-an silam. Berdasarkan gen seni inilah, Tri Juono Setyo Utomo sejak kecil juga telah dikenalkan ragam kesenian pertunjukkan. Mulai dari Wayang Kulit dan Ketoprak.

“Singkat cerita, awal mula berkecimpung di dunia Ludruk, sebab turut mempelajarinya dari suami kakak, yang merupakan seniman Ludruk Mustika Jaya. Dari sinilah, Ludruk lamat-lamat saya pelajari dengan cara nyebeng atau berguru kepada sesama seniman,” tutur Tri Juono Setyo Utomo.

Baca Juga: Pentingnya Soft Skill Komunikasi untuk Karir

Berkat Ludruk yang memiliki konsep sederhana dan lekat dengan cerita serta dialek keseharian, Tri Juono Setyo Utomo tak kesusahan saat belajar menyelami tiap lakon dalam pementasan. Semuanya dipelajari seksama dengan memperhatikan pembawaan lakon oleh sesama seniman.

“Pembelajaran dalam Ludruk memang demikian, mengalir dan berangkat dari rangkuman pengalaman tiap seniman. Tidak ada naskah, ataupun catatan dialog yang harus diperankan tiap seniman Ludruk. Hanya saja, terdapat uraian alur cerita yang membagi peran dan durasi tampil dari arahan Sutradara,” imbuh Tri Juono Setyo Utomo.



Hal tersebut lantas memantik Tri Juono Setyo Utomo untuk menuangkan idenya dalam menulis lakon Ludruk. Baik gubahan dari lakon lama maupun yang ditulisnya dari pengamatan terhadap fenomena sosial di lingkungannya.

Tri Juono Setyo Utomo berkisah, “Merambah dunia menulis alur cerita sebenarnya juga berawal dari kebiasaan yang suka menulis keseharian. Kemudian semakin terpantik tatkala mengikuti Workshop Ludruk di Surabaya, sekitar tahun 2012 lalu. Dalam menulis alur cerita Ludruk, semuanya saya tulis dalam bentuk narasi dengan mencuplik nuansa kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebab inilah yang menjadi ciri khas Ludruk. Cerita sederhana, merakyat, nan menggelitik.”


Tri Juono Setyo Utomo sebelum naik ke atas panggung. (ist)

Tak hanya menulis, pada dua grup Ludruk, Ludruk Mustika Jaya Jombang dan Armada Jaya Tuban, Tri Juono Setyo Utomo turut di dapuk sebagai Sutradara. Tantangannya pun tak sekedar menulis cerita dalam pementasan Ludruk. Melainkan, memilih karakter si pemain Ludruk yang sesuai dengan lakonnya.

“Tantangannya, jika jumlah pemain terbatas, atau tidak ada yang sesuai karakter dalam lakon, maka pendekatannya dipilih lewat pawakan atau segi fisik. Maka demikianlah Ludruk dengan khazanah ceritanya, bisa dibawakan spontanitas lewat bekal pengalaman tiap seniman Ludruk. Hanya saja untuk saat ini, PR terbesar Ludruk adalah menciptakan regenerasi yang wajib melibatkan seluruh pihak terkait. Pemerintah daerah dan para seniman harus terkoneksi dengan baik, dalam melahirkan generasi Ludruk kedepannya,” tegas Tri Juono Setyo Utomo.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama