JOMBANG – Era digitalisasi teknologi informasi yang berkembang pesat di dewasa ini, bila diumpamakan bak mata pisau bermata dua. Pada satu sisi dapat dimanfaatkan secara positif dalam menunjang efektivitas serta efisiensi pekerjaan. Namun di bagian lainnya, digitalisasi yang tengah berlangsung sekarang juga turut melahirkan luberan informasi.


Dampaknya, kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat saat ini telah jauh dari kaidah kode etik jurnalistik. Khususnya, dalam kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan. Pada (24/10/2023), di suatu workshop yang berlangsung di Green Red Hotel Syariah Jombang, tema perihal Pedoman Penulisan Pemberitaan Korban Kekerasan Seksual Pada Anak dan Perempuan di Kabupaten Jombang, menjadi perhatian khusus bagi para pewarta lintas media bersama Woman Crisis Center (WCC) Jombang, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, dan Ketua Dewan Pers Indonesia.


Baca Juga : Hidup Sehat Tanpa Bullying


Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah S.H.I menjabarkan, narasi pemberitaan dari media lokal maupun nasional masih menyudutkan dan melanggengkan stigma ke perempuan, kaum muda dan kelompok pelajar yang menjadi korban kekerasan seksual. Disamping itu pula, untuk kode etik jurnalistik juga kerap diabaikan sebagai upaya meraup clickbait dengan judul bombastis.


Pemaparan Data Oleh Dewan Pers
Ninik Rahayu Saat Menyampaikan Peran Dewan Pers

“Begitupula untuk sorotan peliputan rekan-rekan media di lapangan masih berkutat pada data korban, yang acapkali justru disebarkan dengan inisial, menyebut tempat  yang memiliki keterikatan dengan korban misal perusahaan, lembaga dan satuan pendidikan. Idealnya, untuk lebih memuat nilai edukatif kepada publik perihal kasus kekerasan perempuan dan anak, data kasus yang diperoleh bisa dijabarkan mengenai kebutuhan korban dan proses upayanya dalam pemulihan haknya,” tegas Ana Abdillah.

Ketua Dewan Pers Indonesia, Dr. Ninik Rahayu yang hadir dalam forum via sambungan Google Meet, menambahkan, untuk saat ini Dewan Pers Indonesia tengah menggodok regulasi yang akan memayungi kinerja para awak media dalam memberitakan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Sehingga kedepannya, dari penerapan regulasi ini akan menjadi langkah penguatan kode etik jurnalistik sekaligus memperteguh peran para jurnalis sebagai garda depan pembela hak asasi manusia.


Materi dari LBH Surabaya

“Kemudian pertanyaannya, bagaimana jika terdapat media yang tak mengindahkan regulasi dan ketentuan kode etik jurnalistik ? Maka berita akan kami minta untuk take down, dan mencabut kartu pers pewarta yang bersangkutan. Sebab, ini juga menyangkut dari integritas sekaligus pemahaman isu dari si pewarta. Oleh karenanya perlu dipahami mulai saat ini, jejak digital merekam wajah korban, menyebutkan data informasi korban, maupun nama inisial korban merupakan bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik dalam mewartakan kekerasan seksual pada perempuan dan anak,” tandas Ninik Rahayu. ■ donny darmawan


أحدث أقدم