Di tengah kompleksitas zaman yang ditandai oleh krisis ekologi, digitalisasi masif, dan polarisasi sosial, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan mendasar: bagaimana mendidik manusia agar bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara reflektif, etis, dan tangguh menghadapi perubahan? Pertanyaan ini menuntun kita pada urgensi pendekatan pembelajaran transformatif (transformative learning), sebuah model pendidikan yang berakar pada perubahan kesadaran kritis, bukan sekadar penguasaan konten.
Paradigma Baru dalam Pembelajaran: Dari Informasi Menuju Transformasi
Teori Transformative Learning pertama kali dikembangkan oleh Jack Mezirow (1978, 1991) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap perempuan dewasa yang kembali ke pendidikan tinggi. Ia menemukan bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika individu mengalami perubahan mendasar dalam cara mereka memandang dunia. Bukan hanya belajar sesuatu yang baru, melainkan mengubah kerangka berpikir (frame of reference) melalui proses refleksi kritis terhadap asumsi, nilai, dan pengalaman.
Menurut Mezirow (2000), pembelajaran transformatif memiliki tiga komponen kunci:
- Disorienting Dilemma: pengalaman mengguncang yang memicu keraguan terhadap keyakinan lama;
- Critical Reflection : evaluasi kritis terhadap asumsi dan cara pandang;
- Rational Discourse : dialog reflektif yang memungkinkan individu membangun perspektif baru secara rasional dan etis.
Di sinilah transformative learning berbeda dari sekadar informative learning. Bila yang pertama mengubah identitas dan kesadaran, yang kedua hanya menambahkan informasi baru ke dalam struktur lama yang tidak dikaji ulang.
Relevansi di Konteks Indonesia: Sekolah dan Kampus Butuh Paradigma Kritis
Dalam konteks pendidikan Indonesia, pembelajaran masih dominan berorientasi pada hafalan, ujian, dan kompetensi teknis. Siswa dan mahasiswa sering kali dianggap sebagai penerima pasif informasi, bukan subjek aktif yang merefleksikan makna dan dampak sosial dari pengetahuan yang diperoleh. Model seperti ini melahirkan lulusan yang cakap menjawab soal, tetapi gagal membaca realitas, apalagi mentransformasikannya.
Pembelajaran transformatif mengajak peserta didik untuk menjadi agen perubahan sosial, bukan sekadar pencari kerja. Melalui pendekatan ini, mereka dilatih untuk mengenali struktur sosial yang timpang, memahami kompleksitas identitas, serta mengambil keputusan yang etis dan visioner.
Sejumlah studi kontemporer mendukung relevansi pendekatan ini dalam konteks Global South. Misalnya, Taylor & Snyder (2012) menekankan pentingnya dialog dan refleksi dalam komunitas sebagai sarana transformatif, terutama di masyarakat dengan sejarah ketimpangan dan kolonialisme. Di Indonesia, riset oleh Yuliana & Gunawan (2022) menunjukkan bahwa penerapan transformative learning dalam pendidikan karakter mampu meningkatkan empati sosial dan kesadaran keberagaman pada siswa sekolah menengah.
Peran Pendidik: Dari Transfer Pengetahuan Menuju Fasilitator Kesadaran
Transformative learning menuntut pendidik mengadopsi peran baru. Guru dan dosen tidak lagi sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator kesadaran dan pembimbing refleksi. Ini mengandaikan kapasitas pedagogis yang reflektif, empatik, dan terbuka terhadap dialog. Brookfield (2017) menyebut peran ini sebagai critical educator, yaitu pendidik yang mengajak peserta didik untuk secara sadar mengkritisi kekuasaan, nilai dominan, dan norma-norma yang menindas.
Dalam praktiknya, ini dapat diwujudkan melalui:
- Pertanyaan reflektif yang menggugah pemikiran kritis siswa;
- Studi kasus kontekstual yang mendorong empati dan analisis sosial;
- Proyek kolaboratif yang menekankan aksi nyata di masyarakat.
Hal yang tak kalah penting adalah menciptakan safe space, ruang aman untuk berdiskusi secara otentik tanpa takut dihakimi. Pendidikan yang transformatif tidak bisa berlangsung dalam budaya otoritarian dan kontrol berlebihan. Ia menuntut kepercayaan dan relasi yang setara.
Institusi Pendidikan sebagai Komunitas Transformatif
Untuk menjadikan transformative learning sebagai arus utama, institusi pendidikan harus berubah dari sekadar "tempat mengajar" menjadi komunitas pembelajar (learning community). Di sini, semua warga sekolah—guru, siswa, pimpinan, bahkan orang tua terlibat dalam refleksi dan pembaruan nilai-nilai bersama.
Model ini sejalan dengan gagasan whole institution approach dalam pendidikan berkelanjutan (UNESCO, 2020), yang menekankan pentingnya integrasi nilai, kurikulum, kebijakan, dan budaya sekolah untuk membentuk agen-agen perubahan.
Kesimpulan: Menuju Pendidikan yang Membebaskan dan Membentuk
Transformative learning bukan sekadar alternatif pedagogi, melainkan fondasi bagi sistem pendidikan yang berorientasi pada pembebasan, keadilan sosial, dan kemanusiaan. Di era di mana teknologi kian canggih tetapi krisis identitas dan etika makin tajam, kita butuh pendidikan yang mengubah bukan hanya cara berpikir, tetapi cara hidup.
Seperti diungkapkan Paulo Freire (1970), “Pendidikan sejati adalah praksis: refleksi dan aksi terhadap dunia untuk mentransformasikannya.” Maka, pertanyaan bagi kita semua bukanlah apakah kita telah mengajar cukup banyak, melainkan apakah pendidikan yang kita hadirkan sudah cukup mengubah hidup dan menyadarkan manusia akan makna keberadaannya.
-------
dosen tetap Program Studi PGSD FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang, penulis dan peneliti di bidang manajemen pendidikan, kepemimpinan sekolah dasar, serta pendidikan kontekstual berbasis nilai-nilai lokal NTT dan spiritualitas Kristen.
Referensi:
- Brookfield, S. D. (2017). Becoming a Critically Reflective Teacher. Jossey-Bass.
- Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Herder and Herder.
- Mezirow, J. (1991). Transformative Dimensions of Adult Learning. Jossey-Bass.
- Mezirow, J. (2000). Learning as Transformation: Critical Perspectives on a Theory in Progress. Jossey-Bass.
- Taylor, E. W., & Snyder, M. J. (2012). A Critical Review of Research on Transformative Learning Theory: The 2006–2010. In Handbook of Transformative Learning.
- UNESCO. (2020). Education for Sustainable Development: A Roadmap.
- Yuliana, Y., & Gunawan, I. (2022). “Transformative Learning Approach in Character Education.” Indonesian Journal of Educational Studies, 25(1), 12–24.