Di mata sebagian peserta didik, pelajaran sejarah sering dianggap tidak lebih dari hafalan nama, tanggal, dan peristiwa masa lampau. Tak jarang muncul anggapan bahwa pelajaran ini membosankan dan tak relevan dengan kehidupan masa kini. Benarkah?


JOMBANG – Di beberapa sekolah, pelajaran sejarah masih kerap dipandang sebelah mata. Tak sedikit peserta didik menganggapnya sebagai mata pelajaran pelengkap, bukan pelajaran yang dapat menunjang masa depan. Mereka memahaminya sebagai hafalan tanpa makna praktis maupun ideologis.


Hal ini juga diamini oleh Putri Mayang Timur, alumni Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga yang pernah menempuh pendidikan di salah satu SMA Negeri di Jombang. Ia mengakuinya kepada Majalah Suara Pendidikan, pengalaman belajar sejarah sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan oleh guru.


“Saya masih ingat dulu pelajaran sejarah jadi menyenangkan karena gurunya memakai metode kuis dan diskusi. Itu yang membuat saya merasa enjoy menyerap materi,” kenangnya.


Menurut Mayang, metode ceramah yang monoton dan terpaku pada buku ajar justru membuat peserta didik pasif dan bosan. Padahal jika disampaikan dengan pendekatan kreatif, sejarah akan memantik rasa ingin tahu dan daya kritis.

 

Tantangan Guru Sejarah

Pembelajaran sejarah tidak hanya menghadapi tantangan metode, tetapi juga soal kondisi tenaga pendidik. Eny Faridah, S.Pd., Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMA/SMK se-Kabupaten Jombang, menuturkan bahwa distribusi guru sejarah masih belum merata dan sering kali hanya ada satu guru sejarah di satu sekolah.


“Kalau guru mata pelajaran umum terdapat empat hingga lima guru. Berbeda dengan guru sejarah kadang cuma satu orang. Bahkan, ada sekolah yang tidak punya guru sejarah sama sekali,” jelasnya.


Selain itu, beban kerja guru sejarah juga cukup berat. Untuk memenuhi target mengajar sesuai Kurikulum 2013, seorang guru dituntut mengajar minimal 24 jam pelajaran (JP) per minggu. Namun, jika melebihi 40 JP, kelebihan jam itu tidak dihitung sebagai beban kerja yang dibayar.


“Meski hanya 16 JP saja, tetapi dalam rentang 24 sampai 40 JP itu tetap melelahkan. Apalagi kalau harus mengajar di beberapa kelas berbeda. Stamina dan kondisi fisik guru cepat lelah,” rinci alumnus IKIP Surabaya tersebut.


Dalam Kurikulum Merdeka, terdapat mata pelajaran Sejarah sebagai pilihan di fase F (kelas X dan XI) yang bisa dimanfaatkan sekolah untuk menambah beban mengajar guru sejarah. Namun, kenyataannya, tidak semua sekolah memiliki guru berlatar belakang pendidikan sejarah.


“Idealnya sejarah diajarkan oleh sarjana pendidikan sejarah. Tetapi karena keterbatasan guru, kadang malah diisi oleh guru dari mapel lain yang jamnya kurang dari 24 JP. Ini tentu berdampak pada kualitas penyampaian materi,” terang perempuan yang telah mengajar sejak 1998 di SMA Negeri Jogoroto.

 

Menumbuhkan Minat Peserta Didik

Sebagaimana ditulis oleh Ester Lince Napitupulu dalam Kompas.id edisi 11 November 2021, pembelajaran sejarah membutuhkan pedagogis kreatif agar tak membosankan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah mengaitkan materi sejarah dengan konteks lokal di sekitar tempat tinggal peserta didik.


Hal ini selaras dengan materi pembelajaran sejarah kelas X SMA pada Semester Ganjil yang mencakup Ruang Lingkup Sejarah. Melalui topik ini, Eny Faridah memilih metode  pembelajran yang mendorong peserta didik untuk mulai mengenal dan meneliti sejarah lokal masing-masing.


“Di bab tersebut ada topik tentang penelitian sejarah. Nah, dari situ kita bisa menggiring peserta didik untuk mulai meneliti daerah masing-masing. Meski begitu, penelitian sejarah di tingkat SMA masih tergolong sangat sederhana,” imbuh Eny Faridah.


Semua materi, lanjut Eny Faridah dapat diorientasikan untuk menatap masa depan dengan menghubungkannya dengan kondisi kekinian. Ia menambahkan bahwa saat ini Pemerintah Kabupaten Jombang juga berupaya menggalakkan penulisan sejarah lokal sebagai langkah memperkuat identitas diri.


“Kita mengemas pembelajaran sejarah secara kreatif yang dikolaborasikan dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dalam konsep lawatan sejarah itu, peserta didik diajak untuk berkunjung ke Makam Gus Dur, kemudian ke Museum Trowulan. Hal itu dilakukan untuk memupuk rasa cinta terhadap daerahnya,” tegasnya.


Pembelajaran sejarah dengan model tersebut ternyata membuahkan respon positif dari peserta didik.


“Setiap tahun animo peserta didik untuk belajar sejarah mengalami peningkatan. Beberapa peserta didik mengungkapkan bahwa belajar sejarah menjadikan manusia lebih bijaksana,” lanjut perempuan alumnus SMA Negeri 1 Jombang itu.


Pendapat Eny Faridah dikuatkan pula oleh penelitian Satrio Wibowo dan Edwin Putra Dwi Suprapto (2020) yang berjudul “Meningkatkan Minat dan Prestasi Belajar Sejarah Melalui Model Grup Investigasi dengan Media Museum pada Peserta didik kelas XII IPS 1 SMA Katolik Untung Suropati Sidoarjo”.


Dalam penelitian itu, mereka mencatat bahwa terdapat peningkatan minat belajar peserta didik mulai dari pre-siklus hingga siklus ke III. Pada pra-siklus, rata-rata minat belajar peserta didik hanya 74,53 sementara pada siklus III meningkat menjadi 113,33 dengan ketuntasan klasikal 100%.


Dalam penelitian itu, memang hanya berjumlah 20 peserta didik saja tetapi penelitian itu dapat menjadi gambaran kecil bagaimana metode pembelajaran yang menarik menjadi kunci ketertarikan peserta didik terhadap sejarah.

 

Digitalisasi di Kancah Sejarah

Perkembangan teknologi digital menjadi salah satu pemicu tumbuhnya ketertarikan peserta didik pada sejarah. Menurut Moch. Sholeh Pratama, S.Hum. M.Hum., alumni Magister Sejarah UGM, teknologi kini memudahkan peserta didik mengakses sumber sejarah dan ikut aktif menyampaikan cerita masa lalu melalui format digital.


“Generasi muda kini mulai melirik sejarah. Banyak sekali media sosial seperti Instagram, Tiktok, X, dan Facebook yang berfokus pada konten sejarah bergaya tren kekinian. Ini juga sangat digemari oleh generasi Z. Jadi, sebenarnya, sejarah itu sedang digemari belakangan ini,” sebutnya, Senin (21/7). Berita selengkapnya baca di Majalah Suara Pendidikan edisi 147, dicetak dan diterbitkan sertiap bulan. Langganan  disini !  


Lebih baru Lebih lama