Oleh : Endang Setiyowati Kepala UPT SD Negeri 232 Gresik

Dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang, dunia pendidikan kita telah akrab pada dua istilah baru. Yakni, Literasi dan Numerasi (Litnum). Mengutip dari ditpsd.kemdikbud.go.id, antara Literasi dan Numerasi, keduanya memiliki definisi yang berbeda.

Pertama. Literasi adalah kemampuan menganalisis, memahami, dan menggunakan informasi tertulis lainnya. Sedangkan untuk Numerasi, pengertiannya ialah kemampuan memahami, menerapkan, berfikir, menggunakan angka dan konsep matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Berdasar definisi keduanya, maka saat ini pembelajaran khususnya di bidang Matematika dituntut untuk lebih transmormatif.

Hal ini bisa dilakukan dengan mengadopsi metode pembelajaran Matematika yang juga berlandaskan Literasi. Sehingga gabungan keduanya berupa Literasi Matematis akan lebih kontekstual pada permasalahan sehari-sehari siswa-siswi. 

Persoalan pembelajaran kontekstual yang mencoba mendekatkan realita masalahan sehari-hari bagi siswa-siswi, ini juga sejalan dengan tujuan atau capaian dari Litnum sebagai inti dari pembelajaran abad ke 21 saat ini. Dimana siswa-siswi tidak ditempatkan sebagai objek penerapan atau uji coba rumus.

Melainkan mereka mesti diikutsertakan, terlibat aktif dan memiliki pengalaman dalam berliterasi matematis. Sebab, di samping keharusan untuk terus meningkatan indeks kualitas Litnum di Rapor Pendidikan, para guru termasuk kepala sekolah juga mesti mampu merancang strategi pembelajaran dengan metode yang komunikatif, taktis, kreatif, dan menyenangkan. 

Hal tersebut cukup erat kaitannya dengan bagaimana respon dan proses siswa-siswi di dalam maupun di luar kelas dalam memahami dan menerapkan Litnum. Bilamana, penguatan Litnum dirancang dengan strategi pembelajaran yang komunikatif, taktis, kreatif, bermakna dan menyenangkan, maka kelancaran siswa-siswi dalam mencerna, memahami, serta mempratikkan apa itu literasi matematis, akan sejalan dengan naiknya indeks Literasi dan Numerasi sekolah dalam Rapor Pendidikan.

Menurut Robb Randal, seorang pakar pendidikan asal Australia, guna membentuk dan melahirkan kokohnya pemahaman yang kritis terhadap siswa-siswi, maka ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh guru. Khususnya dalam menyongsong pembelajaran modern saat ini. Diantaranya, pemahaman konseptual yang kuat, serta penerapan pembelajaran ke banyak konteks. Lebih lanjut, menurut Rob Randal mencontohkan, bahwa keduanya bisa diterapkan pada pembelajaran Matematika.


Dimana dalam Matematika kritis, posisi siswa-siswi bukan lagi harus menghafalkan rumus. Tetapi memahami mengapa, kenapa, dan bagaimana suatu konsep bekerja. Kemudian dari hasil pemahaman atas bekerjanya suatu konsep ini, guru bisa memberikan arahan kepada siswa-siswi untuk melanjutkan ke tahap penerapan ke beberapa konteks. Misalnya penggunaan Matematika dalam ekonomi, atau bidang ilmu yang lainnya.

Lewat gagasan Robb Randal inilah akhirnya saya terinspirasi untuk membuat satu metode pembelajaran dimana para siswa-siswi bisa dapat mengalami konsep Matematika secara langsung. Juga, bagaimana caranya supaya mereka tidak terbebani dengan pemahaman logika di balik angka-angka yang ada.

Akhirnya dengan menyesuaikan karakter siswa-siswi di SD Negeri 232 Gresik, saya menemukan praktik belajar Matematika secara tepat, kritis, dan menyenangkan. Yakni lewat Litnum model permainan Ular Tangga Literasi. Sebelum ke ranah praktik, Ular Tangga Literasi ini saya konsep dalam buku panuan Literasi Numerasi Petualang SD Negeri 232 Gresik. 

Di dalamnya, selain bentuk lembar kerja, konsep, dan praktik, dalam permainan Ular Tangga Literasi ini turut saya jabarkan secara kontekstual, serta bisa dijadikan referensi proyek mini antara mata pelajaran. Lalu kemudian, bentuk permainan saya modifikasi dengan membuat papan besar berisi 100 kotak, persis seperti permainan Ular Tangga, dengan beberapa kotak khusus. Seperti pilihan Kartu Soal atau Kotak Bom yang berisi kartu tantangan. 


Dalam aturan mainnya, siswa-siswi semula berdiri sebagai pion. Lalu bergerak sesuai dengan angka terakhir yang ada di dadu. Jika berhenti di kotak Kartu Soal, maka si siswa maupun siswi wajib menjawab soal Matematika sederhana. Misalnya berapa 2x5 ?, dan seterusnya. Jika berada di Kotak Bom yang berisi kartu tantangan tadi, siswa-siswi yang berada wajib melakukan aktivitas lain tetapi tetap dengan catatan harus ada unsur Matematikanya. Misal menyebutkan benda berbentuk kubus, persegi, di kelas.
Selanjutnya, jika kebetulan dadu bergerak ke kotak naik, maka siswa-siswi boleh melanjutkan tahapan kotak berikutnya. Namun sebaliknya, apabila berada di kotak ekor yang berarti turun, siswa-siswi harus menyelesaikan tantangan elemen edukatif. Menariknya, di elemen edukatif ini siswa-siswi mesti menjawab seraya memberikan argumentasi yang logis dan kritis dari pertanyaan yang ada. Misalnya, “warna primer adalah merah, kuning, biru, karena..”. 

Kemudian, supaya tak terkesan individual, di bagian elemen edukatif ini saya berikan kesempatan bagi siswa lain untuk membantu menjawab dengan berdiskusi kelompok. Terakhir, di penghujung permainan Ular Tangga Literasi ini, ketika sudah muncul pemenangnya, diskusi masih berlanjut. Ini dikhususkan untuk setiap siswa-siswi membagikan satu konsep pelajaran dari kartu soal atau tantangan di Kotak Bom.

Lantas bagaimana kriteria dan indikator pemahaman siswa-siswi dalam Ular Tangga Literasi ini ?. Sebelumnya metode pengukuran indikatornya meliputi tiga hal utama. Diantaranya :

Observasi : Saat observasi ini guru menggunakan lembar kerja untuk mencatat antuasiasme siswa-siswi, jawaban benar/salah, dan bentuk kerjasama.

Tes Lisan : Guru memberikan soal sederhana pasca permainan atau wawancara singkat tentang konsep pelajaran.

Catatan Permainan : Guru menghitung jumlah tangga naik turun dan keberhasilan tantangan untuk catatan capaian kognitif siswa-siswi.

Refleksi : Ini penting supaya Guru mengetahui sejauhmana siswa-siswi mampu menjabarkan kembali apa yang sudah dipelajarinya melalui narasi atau lisan dengan bahasa yang terstruktur.

Melalui empat tahapan pengukuran tersebut, lantas dikembangkan ke Aspek Kognitif sebagai pengukuran pemahaman berfikir kritis. Kedua, Aspek Afektif sebagai tolak ukur antusiasme sikap dan minat belajar siswa-siswi tatkala belajar dengan Ular Tangga Literasi. Ketiga aspek Psikomotorik dimana pada aspek ini untuk meninjau keterampilan praktis dan gerak siswa-siswi saat belajar. Terakhir, adalah evaluasi pembelajaran, yang mana guru mesti menelaah kekurangan yang ada di lapangan sewaktu siswa-siswi belajar Litnum melalui Ular Tangga Literasi ini.

Lewat permainan Ular Tangga yang saya modifikasi kedalam pembelajaran Matematika, akhirnya saya menilai bahwasannya, esensi Literasi Matematis ini tidak terletak hanya pada hafalan rumus semata. Melainkan bagaimana menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan kemampuan berfikir secara kritis yang tumbuh secara alami di lingkungan belajar siswa-siswi.

Di samping itu, dari Ular Tangga Literasi ini, filosofi pendidikan nasional dan tantangannya serasa begitu nyata dan dekat. Hal ini tercermin bagaimana ketika siswa-siswi bermain Ular Tangga Literasi, mereka tak hanya menghitung dan menghafal. Melainkan turut berfikir kritis, percaya diri, berani menghadapi tantangan beserta mencari pemecahan solusinya. 
Sehingga, Ular Tangga Literasi bukan sekadar permainan. Lebih dari itu, ini menjadi simbol kecil dari upaya membangun perubahan terhadap cara dan metode pembelajaran bagi siswa-siswi Indonesia kedepannya. Dari semula yang kaku, konvensional, dan tidak membangun budaya kooperatif, saat ini perlahan berubah menuju metode yang kreatif, ceria, humanis, serta kontekstual. 
Sekaligus, dari Ular Tangga Literasi saya harapkan mampu menjadi inspirasi bagi seluruh guru di Indonesia. Bahwa, untuk berinovasi di dunia pembelajaran, tidak selalu dan harus dimulai dari hal besar dan identik dengan segala perangkat teknologi digital. 

Melainkan bisa dimulai dan lahir dari hal sederhana dan tetap substansial dengan landasan pembelajaran yang membentuk sikap kritis, berkarakter, percaya diri, dan solutif bagi tumbuh kembang pemikiran siswa-siswi secara berkelanjutan.
Perubahan metode pembelajaran Matematika melalui literasi matematis ini juga bukan hanya mengasash ketajaman daya kognitif siswa-siswi. Pada sisi yang lain, ketika Ular Tangga Literasi ini dipraktikkan di luar kelas, maka secara perlahan kepekaan, daya emosional lewat cara belajar dengan permainan yang menggembirakan, membuat siswa-siswi bahagia.

Artinya, secara lebih luas dan mendalam, Ular Tangga Literasi ini menjadi bagian penting perubahan belajar yang menyenangkan. Dimana selain menjadi subjek aktif, siswa-siswi juga turut larut dalam membangun suasana positif, serta bebas dari rasa paksaan untuk belajar. 
Oleh karenanya, hasil akhir dari Ular Tangga Literasi bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar melalui metode belajar yang menyenangkan dan bermakna. Serta melibatkan pemahaman dan pengalaman berliterasi matematis secara mendalam. 
Lebih baru Lebih lama