Layaknya rumah kuno pada umumnya, jendela maupun pintu memiliki ukuran relatif cukup besar berbahan kayu jati tua utuh tanpa adanya sambungan. Perbedaan arsitektur rumah gaya Belanda selalu memaksimalkan jendela sebagai tempat sirkulasi udara, sedangkan arsitektur Jawa hanya memiliki sepasang jendela di setiap ruangan dan ada ventilasi cukup besar di bagian atasanya.

SUMOBITO – Masa penjajahan bangsa Belanda terbilang sangat lama, pada akhirnya arsitektur bangunan rumah penduduk Jawa pun turut terkontaminasi dengan gaya serupa. Hal tersebut tampak secara gamblang ketika melihat beberapa rumah kuno peninggalan zaman dahulu yang masih berdiri kokoh di Desa Plosokerep, Sumobito.

Menurut penuturan salah satu pengelola rumah kuno, Jaya menjelaskan bahwa rumah Jawa bernuansa bangsa Eropa ini sudah dibangun sejak tahun 1909 dan sekarang kurang lebih telah memasuki usia seratus tujuh tahun. Bukti usia rumah bisa dilihat pada ukiran di salah satu pilar penyangga rumah yang terbuat dari kayu jati tua berukuran antara tigapuluh sentimeter persegi.

“Sejumlah rumah kuno yang ada di sini dulunya merupakan kediaman para pemerintah desa setempat dan semuanya masih memiliki hubungan saudara. Sehingga gaya bangunan peninggalan leluhur memiliki bentuk hampir sama dengan ukuran teras serta joglo di depan rumah yang sangat luas, seperti tempat berkumpul masyarakat di zaman dahulu untuk berembuk membahas suatu hal penting,” ungkap Jaya.

Walaupun terdapat unsur arsitektur gaya bangunan era kolonial di bagian ketebalan tembok rumah, tetapi filosofi membangun rumah khas Jawa tetap diutamakan. Apabila dilihat dari depan akan tampak joglo atau pendopo berbentuk persegi berukuran sangat luas sehingga akan terasa tenang dan teduh ketika berada di bawahnya sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.



Pendopo khas Jawa umumnya memiliki empat tiang penyangga utama (saka guru) tanpa penutup di setiap bagian sisinya, hal itu melambangkan sikap keterbukaan tuan rumah terhadap siapapun tamu yang datang. Bagian atap pendopo berbentuk melebar dan di bagian ujung sedikit mengecil membentuk sudut segitiga, supaya air hujan bisa mengalir perlahan serta genting tidak mudah bergeser saat hujan ataupun angin kencang.

Layaknya rumah kuno pada umumnya, jendela maupun pintu memiliki ukuran relatif cukup besar berbahan kayu jati tua utuh tanpa adanya sambungan. Perbedaan arsitektur rumah gaya Belanda selalu memaksimalkan jendela sebagai tempat sirkulasi udara, sedangkan arsitektur Jawa hanya memiliki sepasang jendela di setiap ruangan dan ada ventilasi cukup besar di bagian atasanya.

Satu hal unik berikutnya adalah adanya talang air berjumlah lima (talang limo) di setiap pembagian kamar, melambangkan rukun Islam. Masyarakat yang dulunya sudah menganut agama Islam bertujuan agar di setiap aktivitas selalu mengingat lima rukun Islam dan mengamalkannya.

Salah satu penerus rumah kuno lainnya, Mustakim memaparkan, “Selain terkenal akan kekokohan kontruksinya, bangunan zaman dahulu juga memiliki ruang kamar cukup banyak. Rata-rata setiap rumah tersedia sepuluh pembagian ruang kamar, hal itu disebabkan karena saat itu sebagian besar orang memiliki kepercayaan semakin banyak keturunan maka semakin murah juga rezekinya.” fakhruddin
Lebih baru Lebih lama