Baginya, melalui musik tradisional ini mampu menjadi media perantara mengenal kesenangan dan kebutuhan peserta didik. Selain itu tujuan lainnya juga turut memperkenalkan dan melestarikan salah satu kebudayaan Indonesia dari lingkungan terdekatnya. - Pelatih angklung, Selvi Listyaningsih, S.Pd. -

MOJOWARNO – Memahami kebermanfaatan dari barang di lingkungan menjadi sangat penting, terlebih merasakan dampak positif yang mempermudah kebutuhan. Seperti kesulitan yang kala itu dirasakan oleh mantan guru SD, Selvi Listyaningsih, S.Pd., untuk memecahkan serangkaian kesulitan pada pelajaran Matematika saat masih di jenjang SD.

“Saat saya mendapatkan pekerjaan rumah (PR) pelajaran Matematika tantang pembagian, saya merasakan kesulitan dalam menjawabnya. Dirumah kala itu saya tinggal bersama nenek, yang berlatarbelakang tak merasakan pendidikan formal. Namun rasa gelisah tetap saya ungkapkan kepadanya. Solusi yang diberikan oleh nenek waktu itu ialah dengan membuatkan saya stik bambu yang biasa di pergunakan sebagai tusuk sate atau sering dikatakan sodo,” terangnya.

Perempuan lulusan salah satu universitas di Surabaya ini juga bercerita, dengan menggunakan stik bambu tersebut neneknya mengarahkan untuk membagi jumlah stik yang dia genggam. Setelah menemukan jawaban dari kegelisahannya, dia memaknai bambu mampu membantu dalam serangkaian kebutuhan sosialnya. Hal inilah yang menjadikan dirinya memilih menjadi instruktur angklung.


Baca Juga : Tunjukkan Ragam Bagam Bahasa di Jombang

Berdasarkan ceritanya, alat musik angklung yang terbuat dari bambu ini memiliki kedekatan dengannya dalam mengakrabkan diri kepada peserta didik saat itu menjadi guru kelas. Baginya, melalui musik tradisional ini mampu menjadi media perantara mengenal kesenangan dan kebutuhan peserta didik. Selain itu tujuan lainnya juga turut memperkenalkan dan melestarikan salah satu kebudayaan Indonesia dari lingkungan terdekatnya. Sasaran utama ialah sekolah yang terletak dilokasi terpencil serta memiliki sedikit peserta didik.

“Sampai dengan saat ini, peserta didik yang saya ajarkan angklung merasa senang bahkan menantikan saya untuk mengajak bermain bersama. Sebelumnya keadaan tak seberuntung saat ini. Ketika saya masih menjadi guru SD, saya menjumpai beberapa karakter peserta didik yang pasif dalam bersosial dan menanggapi proses pembelajaran tidak fokus. Namun semua permasalahan itu secara berkala mampu terkikis sebab penerapan bermain angklung. Alasan mendasar yang saya tekankan saat belajar angklung ialah fokus, ketepatan, dan kebersamaan,” ulas perempuan asal Mojowarno tersebut.


Peserta didik yang bermain angklung akan terlebih dahulu diajarkan dasar cara memegang, kemudian menggoyangkan. Terlebih ketika membunyikan haruslah tepat yang berarti mesti secara bersama, bila tidak serempak maka tak akan menjadi satu kesatuan nada lagu yang diinginkan.

Ungkap perempuan duapuluhlima tahun tersebut, “Usai rangkaian proses yang dilakukan tersebut, peserta didik semakin terpengaruh seperti cara menyikapi pembelajaran di kelas. Lebih semangat, memiliki rasa peduli dan empati, dan fokus pada rangkaian pembelajaran disemua mata pelajaran.”

Kesimpulan yang kemudian Selvi Listyaningsih ambil ialah semangat belajar tak harus bersumber dari mereka yang berpendidikan tinggi. Namun seberapa besar pengaruh positif yang mampu merubah lingkungan terdekat dari semula biasa menjadi spesial serta bernilai kualitas.

“Melalui bekal yang saya miliki ini, akan saya bagikan ilmu bermain angklung pada setiap SD yang terletak di desa terpencil dengan jumlah peserta didik yang sangat minim. Sehingga secara tidak langsung mengangkat keunggulan dengan kesenian bermusik. Hal ini tentu akan menumbuhkan semangat untuk berkembang semakin lebih baik dari sisi non akademik,” tutupnya. chicilia risca
Lebih baru Lebih lama