Buku karya dari Abdullah Wong ini dipilih lantaran sang penulis ternyata memiliki sejarah kedekatan dengan Pesantren Tebuireng. Karya yang sebelumnya diterbitkan secara mandiri di tahun 2013, pada tahun 2017 novel yang menceritakan tentang tokoh Mada atau yang bernama lengkap Ahmada Musthofa ini diterbitkan kembali melalui Pustaka Tebuireng.

DIWEK – Ketika sebuah buku terbit dan beredar luas di masyarakat, tentu akan banyak persepsi serta pemahaman yang muncul di benak pembaca. Bisa mengenai isi buku atau bagaimana pemikiran penulis ketika sedang menjalani proses kreatifnya dalam pembuatan bukunya.

Hal semacam inilah yang menjadi satu faktor mengapa kegiatan bedah buku masih menarik minat pembaca atau masyarakat. Selain sebagai sebuah strategi pemasaran, menambah khazanah pengetahuan mengenai proses pembuatan hingga nilai-nilai dalam sebuah buku menjadi sebuah tawaran tersendiri yang menarik.

Organisasi Santri Pondok Putri (OSPI) Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Majalah Tebuireng, Tebuireng Online, dan Pustaka Tebuireng pada Jumat (30/8) mengadakan acara bedah buku. Diikuti oleh hampir seluruh santri putri Pesantren Tebuireng yang menempuh pendidikan di jenjang SMP, acara yang dilaksanakan di Masjid Ulil Albab tersebut membedah buku berjudul “Mada”.


Baca Juga : Cetak Talenta Peserta Didik Berkarakter

Buku karya dari Abdullah Wong ini dipilih lantaran sang penulis ternyata memiliki sejarah kedekatan dengan Pesantren Tebuireng. Karya yang sebelumnya diterbitkan secara mandiri di tahun 2013, pada tahun 2017 novel yang menceritakan tentang tokoh Mada atau yang bernama lengkap Ahmada Musthofa ini diterbitkan kembali melalui Pustaka Tebuireng.

“Disamping itu Mada juga bercerita mengenai kehidupan santri yang mencari sebuah nilai-nilai kehidupan yang dianalogikan melalui perjalanan mencari Gunadarma. Bersama dengan teman-temannya yang memiliki beragam latar belakang, Mada juga belajar mengenai bertoleransi. Sesuatu hal yang mulai langka saat ini,” ungkap Pembanding Bedah Buku, Zainuddin A.K.

Pria bertubuh kurus itu juga menambahkan bahwa kehadiran novel Mada ini juga bisa sekaligus digunakan sebagai penambah khazanah dalam dunia kesusastraan. Karena dalam penulisannya, Abdullah Wong sebagai penulis tidak menggunakan kaidah penulisan novel atau prosa pada umumnya. Namun dia memadukan kaidah penulisan prosa dan puisi. Sehingga membaca buku ini seolah tengah membaca puisi namun memiliki sebuah alur hingga konlik.

Sementara itu Abdullah Wong yang juga hadir sebagai pembicara menuturkan bahwa Mada adalah karya asli seorang santri. Sehingga ketika yang membaca juga seorang santri akan lebih mudah menemukan keterhubungannya.

Namun seperti yang telah diuraikan oleh Zainuddin A.K yang menyebutkan bahwa kaidah penulisan novel Mada yang berbeda dari novel-novel lain, Abdullah Wong mengaku bahwa itu memang inovasi yang dilakukannya. Dia berkeinginan pembaca mendapatkan pengalaman baru dalam membaca sebuah karya sastra.

“Inspirasinya dari nadhom atau lirik atau syair-syair dalam kitab Islam,” ungkap Abdullah Wong.

Tidak hanya berbentuk buku, Mada juga sudah beberapa kali dipentaskan dalam bentuk teater yang dipertunjukkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain itu, syair-syair di dalamnya juga mampu menginspirasi para band indie untuk membuat karya (lagu).

Bagi para peserta yang sepertinya sangat ingin mengikuti jejak menjadi seorang penulis, Abdullah Wong hanya berpesan bahwa para peserta yang mayoritas santriwati ini untuk terus saja menulis. Menuliskan apa saja yang dilihat, dilakukan, dan dirasakan.

“Dan yang terpenting temukan motivasi terkuat kenapa harus menjadi seorang penulis. Lakukan hal itu dengan serius sebagai bentuk pengabdian pada Allah serta menulislah untuk membawa manfaat bagi orang lain agar mereka bisa membaca. Karena bagaimana membaca bisa bermanfaat jika tidak ada yang mengekspresikan dengan menulis?” pesan Abdullah Wong. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama