Polarisasi Bahasa Jawa di Jombang juga terjadi cukup dinamis. Hingga sekarang interaksi antara kulonan dan etanan juga masih terjadi. Seperti di wilayah Megaluh yang disana terdapat peninggalan dari Majapahit yakni Petilasan Dhamarwulan membuat daerah Megaluh seharusnya berbahasa Arek.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang juga memiliki banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat telah memiliki dan mewarisi beragam kebudayaan termasuk juga bahasa daerah. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut tidak termasuk dialek dan subdialek. Penghitungan jumlah itu diperoleh dari hasil verifikasi dan validasi data di 2.452 daerah pengamatan. Bahasa-bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum semua teridentifikasi.

Sementara itu menurut Summer Institute of Linguistics (SIL) menyebut jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan. Sedangkan, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, disingkat UNESCO) baru mencatatkan 143 bahasa daerah di Indonesia berdasarkan status vitalitas atau daya hidup bahasa.

Dari sekian banyak bahasa yang ada di Indonesia, Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa dengan penutur terbanyak dengan jumlah lebih kurang 84 juta jiwa. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Jombang, Dra. Heny Sulistyowati, M.Hum., menguraikan, “Bahasa Jawa memang memiliki penggemar terbanyak dan juga memiliki logat serta tata bahasa yang berbeda di setiap daerah penggunanya. Wilayah Jawa yang kesehariannya masih kental dengan interaksi Bahasa Jawa diantaranya Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, terdapat pula di beberapa wilayah Sumatera dan Jawa Barat. Hal tersebut karena tersebarnya penduduk asli Jawa yang bermigrasi atau memutuskan untuk menetap sebab faktor mata pencaharian.”


Baca Juga : Pemantaban Kebutuhan Kepala dan Pengawas Sekolah

Terdapat banyak jenis Bahasa Jawa di Indonesia. Secara pengucapan dan tata bahasanya juga banyak jenisnya. Misal saja di Jawa Barat, Bahasa Jawa disana menggunakan bahasa yang lebih halus, biasa dikenal dengan Bahasa Sunda. Begitu juga di Jawa Timur dan Jawa Tengah, disana terdapat Jawa Osing, Jawa Arekan yang dipergunakan di wilayah Surabaya, Bahasa Madura, dan lain sebagainya.

“Selain itu terdapat faktor lain hingga Bahasa Jawa mampu lestari hingga saat ini, ialah mudahnya pengucapannya. Mudahnya pengucapan ini juga menjadi pengaruh mengapa Bahasa Jawa mayoritas dipergunakan.” ucap perempuan berhijab tersebut.

Menilik sejarah Bahasa Jawa lebih jauh, Budayawan Jombang, Nasrul Illahi mengemukakan bahwa sejatinya Bahasa Jawa sudah ada sedari lama. Bahkan diyakini ketika Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu berdiri sekitar tahun 929 M, masyarakat Nusantara di sekitarnya sudah berbahasa Jawa meski bentuknya belum seperti Bahasa Jawa saat ini dan tidak diketahui pula bagaimana bentuknya yang sesungguhnya.

Namun menurut pria yang akrab disapa Cak Nas ini, perkembangan Bahasa Jawa dapat pula dilihat dari prasasti-prasasti peninggalan kerajaan. Diantaranya yang dibuat oleh Mpu Sindok atau Dharmawangsa Teguh, Airlangga, dan seterusnya. Termasuk di dalamnya juga prasasti yang ditinggalkan pada masa Kerajaan Majapahit.

Beberapa prasasti yang ditemukan dan ada di Jombang seperti Prasasti Guwek di Tengaran, Peterongan, Prasasti Poh Rinting di Glagahan, Perak. Kemudian prasasti yang ada di Pucangan yang menggunakan dua Bahasa yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa, Prasasti Munggut, Katemas, Grogol (Kosambiya) yang semuanya berbahasa Jawa kuno dan ditulis menggunakan huruf kuadrat atau Jawa lama.

“Namun Bahasa Jawa yang digunakan di dalam prasasti tentunya merupakan Bahasa Jawa resmi. Sehingga akan berbeda jika dibandingkan dengan Bahasa Jawa sehari-hari yang digunakan saat ini,” ungkap Nasrul Illahi.

Sementara itu menurut Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa SMP Kabupaten Jombang, Toni Gunawan, S.Pd berpendapat bahwa asal-usul Bahasa Jawa dimulai dari Bahasa Jawa Kuna yang penggunanya merupakan orang-orang Jawa Kuno dari kerajaan pertama Nusantara. Jawa Kuna yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Sanskerta beberapa abad kemudian habis penggunanya kemudian muncul Bahasa Jawa Tengahan yakni bahasa yang digunakan oleh orang Jawa pada abad pertengahan setelah Jawa Kuna hilang. Sama seperti Bahasa Jawa Kuna yang hilang, Bahasa Jawa Tengahan pun mengalami kemusnahan dan digantikan dengan Bahasa Jawa Baru yang digunakan oleh Majapahit hingga sekarang.


Bahasa Jawa di Jombang

Dalam penelitiannya, Budayawan yang juga sekaligus Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Jember, Dr. Ayu Sutarto, MA mengklasifikasikan bahwa budaya termasuk Bahasa Jawa di Jombang dipengaruhi oleh Budaya Arek (Suroboyoan). Akan tetapi sebenarnya Jombang tidak sepenuhnya Budaya Arek karena Jombang juga berbatasan langsung dengan wilayah Matraman (wilayah yang mendapat pengaruh yang kuat dari budaya Kerajaan Mataram) seperti Kertosono, Nganjuk, Kediri yang terpengaruh dengan Budaya Matraman yang salah satunya menggunakan Bahasa Jawa halus meski tidak sehalus masyarakat Yogyakarta dan Surakarta.

“Penggunaan kata gak, ogak yang diartikan sebagai tidak itu mencerminkan Budaya Arek. Begitu juga dengan nang endi (dimana). Namun ketika menggunakan ora, ing, ning, ning endi itu Bahasa Kulonan (Jawa Tengah atau Matraman),” jelas Nasrul Illahi.

Ditekankan oleh pria berkumis tipis ini, Jombang memang berada di tengah-tengah antara Arek dan Mataraman. Bahasa Jawa yang digunakan di wilayah timur Jombang seperti di wilayah Kecamatan Mojoagung, Sumobito, Wonosalam, Mojowarno, Peterongan, sebagian besar Jombang memang dipengaruhi oleh Arek. Namun ketika agak ke barat sudah terpengaruh Matraman.

Polarisasi Bahasa Jawa di Jombang juga terjadi cukup dinamis. Hingga sekarang interaksi antara kulonan dan etanan juga masih terjadi. Seperti di wilayah Megaluh yang disana terdapat peninggalan dari Majapahit yakni Petilasan Dhamarwulan membuat daerah Megaluh seharusnya berbahasa Arek. Namun karena secara geografis dekat dengan daerah kulonan maka bahasanya nengah-nengah (percampuran).

“Disana ditemukan Bahasa kulonan seperti ora yang kemudian ditambah ‘k’ sehingga menjadi orak. Kemudian ketika mengucapkan Guk (sapaan untuk kakak laki-laki) jika di Bahasa atau logat Arek lainnya hanya singkat seperti Guk Di, Gu Man, namun ketika di Megaluh, dilengkapkan menjadi misalnya Guk Di Paidi, Guk Man Paiman,” tambah Nasrul Illahi.

Namun beberapa perbedaan penggunaka kata yang ditemukan di beberapa daerah tidak lantas membuat Bahasa Jawa yang ada di Jombang menjadi sebuah kekhasan yang kemudian bisa disebut sebagai Bahasa Jawa Jombangan. Banyak hal yang harus dipenuhi agar sebuah bahasa yang digunakan di masyarakat dapat disebut sebagai Bahasa secara khusus.

“Bahkan Bahasa Jawa di Jombang pun masih belum bisa juga disebut sebagai dialek. Dapat disebut sebagai Isolek yang berarti Bahasa ucapan sehari-hari biasa yang penggunanya terbatas namun sepertinya lebih tepat jika hanya disebut sebagai variasi style (gaya) pertuturan,” ungkap Guru Bahasa Jawa, Puspita Indriani, S.Pd.

Dijelaskan lebih lanjut oleh perempuan berhijab itu bahwa variasi gaya pertuturan itu membuat perbedaan pembunyian suatu kata yang jika ditinjau tetap memiliki makna hingga maksud yang sama. Pun ketika dimasukkan dalam kalimat dengan konteks yang berbeda akan tetap menghasilkan makna dan maksud yang sama. Seperti penggunaan kata jupuk (yang berarti mengambil) bisa berbeda-beda penyebutan diantaranya menjadi njipik dan njikik.

Hal ini disebabkan karena adanya interaksi komunikasi seperti pemakai (pelaku) dan pemakaiannya (kepada siapa berinteraksi) dalam penggunaan bahasa sehingga memunculkan sebuah ciri khas kedaerahan atau yang disebut dialek. Berdasarkan penggunaannya terdapat campur kode dan alih kode dari berbagai penjuru wilayah dari lingkungan terdekat Kabupaten Jombang ini.

Heny Sulistyowati mengatakan setelah pemakaian bahasa yang ditentukan atas pelaku dan kepada siapa berinteraksi yang disebut sebagai faktor sosial situasional. Sehingga akan tercipta sebuah lokal budaya begitu juga dengan interaksi sosial dalam berkomunikasi.

Ditambahkan pula perempuan yang juga menjabat sebagai Pengulas Nasional Peneliti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia ini bahwa dalam interaksinya, Bahasa Jawa juga memiliki idiolek atau ciri khas seseorang ketika bertutur sapa (logat). Hal tersebut dimiliki pada individu setiap orang, misal saja sebelum berbicara selalu mengawali dengan kata ‘jadi…’, kemudian ‘…e…’, ‘lalu…’ dan lain sebagainya. Penuturan ini menjadi perilaku atau kebiasaan yang tak disadari, begitu halnya dengan pemanjangan vokal atau konsonan yang menimbulkan makna baru.

“Pemanjangan vokal tersebut seperti ‘adoh’, ‘aduoh’, dan ‘adoouh’, masing-masing memiliki arti berbeda yakni jauh, agak jauh, dan jauh sekali. Maka muncul defenisi yang dipahami secara bersama bahwa, semakin panjang vokal atau konsonan yang diucapkan artinya semakin atau sekali. Tingkat perbandingan ini mampu mengekspresikan dalam pengucapan kata sifat diantaranya warna, ukuran atau jarak, rasa, serta perilaku seseorang,” tegas perempuan yang juga aktif dalam organisasi Asosiasi Program Keahlian Sejenis (APKS) Jombang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya saat tesis beberapa waktu lalu, terdapat temuan sejenis namun beda secara pengucapan. Tak memperpanjang kata tetapi mengganti salah satu huruf konsonan kata tersebut. Contohnya seperti penyebutan kata ‘abang’, jika menyatakan suatu yang sangat berubah menjadi ‘abing’. ‘Abing’ yang artinya sangat merah ini menjadi pembeda pengucapan wilayah Jawa Tengah dalam membandingkan ekspresi ‘sangat’.

Sementara itu Peneliti Badan Bahasa Jawa Timur, Drs. Amir Mahmud, M.Pd mengatakan jika dilihat melalui teori kebahasaan, gaya bahasa dengan pemanjangan vokal atau konsonan yang menimbulkan makna baru dapat diklasifikasikan dalam majas hiperbola. Majas Hiperbola adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.

“Selain itu teori yang dekat dengan fenomena tersebut adalah difotongisasi yakni perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Seperti misalnya cantik dadi cuantik merupakan bentuk vokal ‘a’ menjadi diftong ‘ua’,” jelas Amir Mahmud ketika dihubungi melalui pesan singkat.

Sehingga ketika ditarik sebuah kesimpulan sementara, pemilihan kata-kata atau diksi hingga penggunaan kalimat yang digunakan dalam Bahasa Jawa orang-orang Jombang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Bahasa Jawa pakem (Bahasa Jawa Tengah) dan Bahasa dari Budaya Arek.

“Untuk itu sepertinya lebih tepat ketika membicarakan Bahasa Jawa di Jombang, faktor yang menjadi fokusnya adalah kepribadian masyarakatnya. Bukan pada kata, diksi, atau bahasanya,” ujar Puspita Indriani.

Kepribadian masyarakat yang dimaksud adalah ketika berbicara tanpa tedeng aling-aling atau lugas dalam menyampaikan gagasan, tidak ada sortiran perkataan, disampaikan apa adanya, dan blak-blakan. Sisi lain lawan tuturnya juga sebaiknya yang juga terbuka, tidak mudah tersinggung, penyampaian yang keras dan kasar tidak perlu untuk dimasukkan dalam hati. Sehingga memberikan kesan tetap hangat dan akrab.

Aksentuasi dan intonasi ketika berbicara menjadi lebih tinggi, keras, dan kasar, tidak mendayu-dayu, dan to the point. Pilihan kata-kata yang digunakan juga lebih terbuka dan menggunakan kata yang digunakan sehari-hari. Jarang menggunakan bahasa kiasan (sanepan).

Namun ketika masyarakat Jombang dihadapkan pada tepa slira (sopan santun), unggah-ungguh basa dan tata krama, masyarakat Jombang masih mengikuti gaya Matraman yang masih sangat menghormati orang tua, menghargai sesama, dan tetap sopan pada yang lebih muda.

“Sehingga ketika mengajarkan Bahasa Jawa yang identik dengan mengajarkan budi pekerti, dekat kepada unggah-ungguh dan tata krama maka masih mengiblat pada Bahasa Jawa Matraman (Jawa Tengah). Dan masyarakat Jombang masih mampu untuk mengadaptasi seluruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Tergantung siapa (mayoritas orang) yang dihadapi dan paparan lingkungan masyarakat turut mempengaruhi pemilihan kata serta Bahasa yang digunakan,” ujar Toni Budiman.

Bahasa Jawa dalam penggunaannya terdapat tingkat tutur atau yang dalam Bahasa Jawa diistilahkan sebagai undhak-undhuk basa. Meski di setiap daerah di Jawa terdapat dialek/subdialek atau variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakainya. Penggunaan undhak-undhuk basa harus tetap diperhatikan dan diterapkan.

Undha-undhuk basa yang dalam sosiolinguistik merupakan salah satu bentuk register atau variasi linguistik yang disesuaikan dengan konteks pengguna bahasa menjadi bagian integral dalam tata krama masyarakat dalam berbahasa. Terdapat tiga bentuk utama variasi dalam undha-undhuk Basa Jawa, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Dalam masing-masing bentuk tersebut terdapat bentuk “penghormatan” juga “perendahan”. Seseorang dapat berubah registernya tergantung status dan lawan bicara. Status ini bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. fitrotul aini / chicilia risca.
Lebih baru Lebih lama