Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya sudah menjadi tali yang mempererat perbadaan di dalam bangsa ini. Oleh karena itu, ruhnya harus dijaga dengan dimplementasikan dalam wujud nyata seperti Tari Batik Jombangan. Ide ini tercetus dari hasil diskusi seluruh anggota menampilkan sebuah sajian yang mencerminkan identitas Jombang. - H. Didik Tondo Susilo, SH., M.Si. -

JOMBANG – Banyak langkah yang bisa digunakan dalam mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Diantaranya berangkat dari keberagaman seni budaya yang sangat banyak di Indonesia, dapat dijadikan sebagai medium pemersatu. Laiknya menyajikan kegiatan Tari Bati Jombangan. Meski terbilang tari kreasi baru yang mempresentasikan khasanah kekayaan budaya Kota Santri dan diikuti oleh pelbagai macam latarbelakang penari. Ternyata hasilnya luar biasa, karena semangat yang diusung satu tujuan.

“Gebyar Tari Batik Jombangan merupakan sajian acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang pertama dilaksanakan dengan seribu penari kolosal. Pelaksanaan di Jalan Wahid Hasyim tepatnya di depan Gedung DPRD Jombang tersebut dihadiri pula oleh Bupati dan Wakil Bupati Jombang,” terang Pengarah Acara, H. Didik Tondo Susilo, SH., M.Si.

Sebelumnya jika setiap tahunnya pelaksanaan peringatan ini ditampilkan di Pendopo Kabupaten Jombang dengan mengundang Forum Komunikasi Masyarakat Jombang (FKMJ), hal itu dirasa monoton dan tak mampu berikan sajian menghibur untuk masyarakat luas. Tahun ini FKMJ merubah konsepnya dengan tampilan berbeda. Tak hanya berbeda mengenai tempat penampilan saja melainkan mengusung arti yang penuh makna khususnya pada kebhinekaan di palemahan Kebo Kicak ini.

Baca Juga :
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak 2019 Calon Muda Bermunculan

“Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya sudah menjadi tali yang mempererat perbadaan di dalam bangsa ini. Oleh karena itu, ruhnya harus dijaga dengan dimplementasikan dalam wujud nyata seperti Tari Bati Jombangan. Ide ini tercetus dari hasil diskusi seluruh anggota menampilkan sebuah sajian yang mencerminkan identitas Jombang,” ujar Sekertaris Umum FKMJ tersebut.

Tari kolosal ini di bawah naungan seorang Penata Gerak dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jombang, Dwi Sabda Irawati, ST. Terdapat makna yang terjalin dalam Tari Batik Jombangan, karena besik gerakannya diambil dari Tari Remo. Ditambah dengan Sampur (Jawa: Selendang) yang digunakan memiliki motif batik khas Jombang.

“Didukung pula dengan konstum modifikasi yang tak jauh dari hiasan penari tari remo, yakni sanggul dengan mahkota kecil dan bunga, anting, kace, dan klintingan,” terang perempuan yang sering disapa Sabda ini.

Penampilan Tari Batik Jombangan memiliki tiga gerakan pokok, yakni srambangan (khas iringan Jawa Timur) artinya menampilkan gerakan yang dinamakan singget. Singget sendiri sebagai penanda perpindahan gerakan satu dengan lainnya.

Dwi Sabda Irawati menuturkan, “Setiap gerakan seperti memutar pergelangan tangan dari arah dalam ke luar dengan posisi kedua tangan terlentang lurus sisi kanan dan kiri dilanjutkan ke atas dan ke bawah. Hal ini sebagai simbol bahwa kehidupan manusia yang harus seimbang antara rohani dan sesama manusia. Kemudian gerakan maju dan mundur serta berputar, hal ini menggambarkan bahwa kehidupan manusia ini sangatlah dinamis.”

Perempuan dua anak ini menceritakan, bahwa gerakan yang kedua terinspirasi dari kegiatan sedang membatik. Gerakan ini divisualkan dengan seperti memegang canting, menorehkan cairan lilin malam, kemudian ditarik ke atas mendekati arah muka tepatnya dibagian bibir dengan ilustrasi seperti meniup. Disusul gerakan simbolik yang ketiga ialah tari kerakyatan pencak silat.

Peserta yang ikut serta merupakan perwakilan dari anggota FKMJ yang mendaftar secara berkelompok. Pendaftar harus memiliki kemampuan tata gerak. Panitia memberikan kuota sebanyak seratus penari yang berlatih selama persiapan tiga bulan. Namun semakin mendekati hari hingga H-7 masih ada pendaftar yang datang ke panitia untuk berpartisipasi hingga total keseluruhan lebih kurang seribu penari.

Menurut ulasan Dwi Sabda Irawati, terdapat beberapa kesulitan diantaranya penggabungan ketiga gerakan dengan musik. Karena diawali penentuan gerak baru selanjutnya irama yang mengikuti. Pada saat pergantian musik ada satu perpindahan yang tak enak didengar. Namun semua mampu diatasi sejak satu bulan pertama persiapan. Selebihnya begitu mengalir dan semua peserta menikmati bahkan secara langsung dapat menirukan koreografi pelatih.

Penata Musik, Budi Subandrio, S.Pd., mengkombinasikan irama menggunakan gamelan khas Jawa Timur laras pelog dipadu syair-syair yang berisi tentang batik dan seni budaya. Selanjutnya diikuti kolaborasi musik tionghoa iringan musik pertunjukkan wayang potehi serta musik hadrah yang semakin rancak untuk gerakan setiap penari.

Persiapan selama tiga bulan ini sukses mengedukasi masyarakat Jombang untuk turut serta dalam Gebyar Tari Batik Jombangan yang terlaksana lebih kurang 20 menit. Kemeriahan ini juga merupakan gabungan keikutsertaan tigapuluhtiga organisasi masyarakat dari latar belakang yang beragam.

Rangkaian kegiatan begitu dinikmati oleh masyarakat dan tamu undangan. Tak disangka, sebagian besar masyarakat juga turut menari meski tak memakai atribut selendang. Sama halnya dengan Bupati serta Wakil Bupati dengan cepat menirukan setiap gerakan tari. Apresiasi serta kebanggan pengenalan budaya Jombang ini disambut baik pula oleh seluruh tamu undangan yang tak segan lagi ikut berpartisipasi menari bersama. chicilia risca
Lebih baru Lebih lama