Pertanyaan sederhana sejauh mana hasilnya? Apakah sertifikasi sudah menambal kegelisahan soal pengembangan kompetensi seorang guru dan kepala sekolah? Atau justru hasilnya menguak kenyataan pahit, karena masih banyak yang belum mentas dari standar kelulusan. Lalu dimana peran serta fungsi kelompok kerja?

Rahmat Sularso Nh.*)

Kehadiran guru sebagai profesi berimbas terbentuknya organiasasi profesi atau kelompok kerja tersebut. Secara harfiah kelompok kerja hadir untuk memelihara seraya menerapkan standar pelatihan etika pada profesi (guru, red) guna melindungi kepentingan guru.

Ditingkatan guru terdapat dua oraganisasi profesi yakni Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). KKG berorientasi untuk guru di Sekolah Dasar (SD) serta guru kelas, sedangkan MGMP diperuntukkan bagi guru mata pelajaran di tataran jenjang pendidikan SMP/SMA/SMK Sederajat. Meskipun selaku organisasi berbeda, tetapi visinya serupa seperti yang termaktup dalam buku standar pengembangan KKG/MGMP terbutan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tahun 2008 saat itu masih bernama Kemendiknas. Antara lain sebagai wadah kerjasama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, menumbuhkan dan meningkatkan semangat kompetitif dikalangan anggota, sarana pembinaan profesional, serta tempat penyebaran inovasi.

Sementara Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) dan Musyawarah Kerja Kepala Sekkolah (MKKS) merupakan kelompok kerja dari himpunan kepala sekolah di satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD), SMP, SMA/SMP. Tiada jauh berbeda dengan KKG/MGMP, K3S/MKKS juga menjadi bejana pembinaan profesional kepala sekolah. Baik menyentuh kemampuan edukatif maupun manajemen sekolah.

Seperti diketahui bersama bahwa tugas dan wewenang kepala sekolah sudah mengalami pergeseran. Kalau dahulu lebih pada menjalankan kebijakan yang bersifat sentralistik, kini menuju ke desentralistik nan partisipatif. Artinya, sebagai pemangku tumpuk kepemimpinan tertinggi di sekolah, kepala sekolah harus menunjukkan kepiawaiannya melalui kebijakan lokal (di sekolah/desentralistik)

Oleh karenanya merujuk dari pemahaman di atas maka dapat disimpulkan jikalau peran serta kelompok kerja sangat vital. Utamanya didalam hal pembinaan keprofesional guru dan kepala sekolah. Sebagaimana dijelaskan oleh Wijono (1989:132) pembinaan kemampuan profesional ialah bantuan berupa bimbingan, pengarahan dan dorongan perluasan pengetahuan.

Pertanyaan sederhana sejauh mana hasilnya? Apakah sertifikasi sudah menambal kegelisahan soal pengembangan kompetensi seorang guru dan kepala sekolah? Atau justru hasilnya menguak kenyataan pahit, karena masih banyak yang belum mentas dari standar kelulusan. Lalu dimana peran serta fungsi kelompok kerja? Andaikan rutin diadakan pertemuan, apakah materi atau pembahasannya sudah menitikberatkan atas kebutuhan pengembangan keprofesionalan?

Serentetan tanya itu jangan disalah-artikan sebagai sikap menatap sebelah mata kelompok kerja yang digadang bagai Kawah Candradimuka bak Gatot Kaca dalam memperoleh kesaktian mandragunanya mestinya mampu meramu tiap tatap muka dengan menggelayutkan aspek prioritas pengembangan keprofesionalan.

Dalam kegiatan pembinaan menejeman program harus jelas serta terarah. Artinya, jelas ada tujuan yang harus di raih sehingga penetapan program pembinaan akan memiliki alur terstruktur dam berkelanjutan. Kualitas pertemuan bukan semata-mata membahas tematik tertentu dalam waktu sekilas. Selain tidak mengena kepada seluruh anggota, belum menjangkau aspek kebutuhan sesuai kendala yang dihadapi oleh guru demikian kepala sekolah. Maka dari itu peningkatan kualitas aktivitas kelompok kerja harus ditingkatkan ditambah dengan mengoptimalisasi intensifikasi pembinaan berkala.

Contohlah hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menjadi pijakan menyusun program kelompok kerja. Lantaran hasil UKG sudah mengejawantahkan masing-masing kemampuan guru dan kepala sekolah dari pelbagai aspek penilaian. Alhasil dapat dipetakan pembinaan kemampuan profesional yang dibutuhkan. Di tengah prosesnya tetap ada tahapan evaluasi sebagai penilai menurut program yang dijalankan. Alasannya ada potensi anggota kelompok kerja ada yang mampu mengikuti dengan baik maupun sebaliknya malah tertinggal. Diperlukan penangan khusus agar enggan semakin terpuruk karena tertinggal dengan rekan lainnya. Rekan sebaya atau yang bertindak sebagi tutor harus mengubah formulasi metode yang digunakan. Entah lebih disederhanakan atau mengambil pilihan yang lebih memudahkan pemahaman.

Walaupun kelompok kerja dijalankan secara kolektif lagi swadaya imbasnya pun agak menyendat jalannya pembinaan keprofesionalan guru/kepala sekolah. Bahkan hasil yang ingin di tuai harus tertunda sementara.

Diakui sesungguhnya menjalankan program pengembangan keprofesionalan yang berkelanjutan membutuhkan alokasi anggaran tidak sedikit. Kelompok kerja setidak-tidaknya dalam satu bulan sekali mengadakan pertemuan. Satu tahun ada duabelas kali pertemuan, apakah itu sudah cukup? Boleh jadi butuh tambahan waktu biar rentan perjumpaan tiada terlampau jauh. Selain pertautan antar pertemuan memberikan pengaruh besar kepada kesolitan pemikiran, juga memberikan tarikan semangat lebih baik.

Wajar bila tinggal menantikan buah manis kelompok kerja.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan.
Lebih baru Lebih lama