Dahulu, graffiti dan mural digunakan untuk mengekspresikan kritik sosial yang terkadang bersifat sarkasme. Agaknya kini bomber hanya ingin memperindah kota dengan coretan-coretan mereka. Bukan tembok fly over berwarna abu-abu monoton yang diinginkan namun dengan warna-warni graffiti yang dapat menunjang program-program pariwisata.

JOMBANG, MSP – Graffiti merupakan seni jalanan yang terkadang menghiasi gang atau tembok yang berada di daerah perkotaan. Lalu, apakah gambar yang didesain tersebut dipandang indah oleh warga sekitar, atau malah sebaliknya?

“Kalau dibilang indah, iya memang indah. Kalau dibilang merusak, benar juga. Tetapi yang melakukan coret-coret tembok ini biasanya juga sudah izin dengan perangkat desa maupun pemilik tembok sendiri,” tutur warga Desa Pesantren Kecamatan Tembelang, Ningsih.

Grafiti ini bisa dikatakan sebagai aksi vandalisme, karena bersifat merusak dan menghancurkan suatu barang ataupun keindahannya. Namun demikian, warga masyarakat sekitar tidak dapat begitu saja menyalahkan maupun merendahkan para pelaku atau individu yang melakukan aksi tersebut.

Selama ini bomber atau writer (pelukis graffiti) dan pelukis mural selalu dianggap sebagai pelaku vandalisme. Mereka menggambarkan kritik sosial dan opini mereka pada tembok-tembok fly over dan fasilitas umum. Karena terbentur izin dari pemerintah daerah bomber sulit untuk mewujudkan karya mereka karena takut kepergok oleh polisi setempat.

Dahulu, graffiti dan mural digunakan untuk mengekspresikan kritik sosial yang terkadang bersifat sarkasme. Agaknya kini bomber hanya ingin memperindah kota dengan coretan-coretan mereka. Bukan tembok fly over berwarna abu-abu monoton yang diinginkan namun dengan warna-warni graffiti yang dapat menunjang program-program pariwisata.

Salah satu anggota komunitas Jombang Street Culture (JSC), M. Fauzi Sholahuddin mengatakan, “Ruang publik untuk para bomber ini sebenarnya terlalu terbatas. Padahal keinginan kami begitu sederhana. Kami hanya ingin membantu memperindah kota dan menjadikan kota sebagai tempat yang ramah bagi para wisatawan lokal maupun turis asing. Tidak ada niat untuk membuat kotor.”

Terbukti di beberapa kota di dunia seperti di New York (Amerika Serikat), Berlin (Jerman), London (Inggris) dan Melbourne (Australia) yang memberikan keleluasaan kepada para bomber justru mendapatkan keuntungan dari anak-anak muda kreatifnya. Graffiti menjadi ikon kota tersebut dan memberikan dampak signifikan bagi industri pariwisata. Pemerintah sepatutnya memberikan kesempatan pada bomber untuk mewujudkan niat baik mereka dan melihat apa yang dapat dilakukan anak-anak muda nan kreatif untuk bangsanya.

“Kami juga tidak asal dalam membuat gambar. Sebelumnya kami juga menentukan tema dan membuat sketsanya. Tidak jarang kami menyesuaikan dahulu dengan kondisi di tempat yang akan digambar. Kami tidak akan menggambar gambar yang seram jika lokasinya ditempat yang sepi atau di dekat pemakaman,” ujar laki-laki yang sudah menekuni dunia graffiti sejak tahun 2009 tersebut.

Laki-laki yang akrap disapa Didi ini menambahkan bahwa dirinya bersama teman-temannya suka menggambar di tembok-tembok yang sudah tidak terpakai dan kusam atau di lorong-lorong fly over. Hal itu bertujuan untuk membuat kesan para pengendara kendaraan terhibur ketika mereka lelah dalam perjalanan.

“Kami membuat gambar-gambar lucu di lorong agar mereka (pengendara.red) sedikit terhibur ketika melihat gambarnya. Apalagi jika ada kemacetan di area tersebut,” kekeh pembuat karakter kucing graffiti tersebut.

Pembuatan gambar graffiti menurut Didi, membutuhkan biaya yang tidak murah. Kocek yang dikeluarkan lumayan besar, satu orang bomber minimal lebih kurang membutuhkan 20 kaleng cat semprot dengan harga variatif mulai dari lima puluh ribu rupiah sampai ratusan ribu. Namun semua tergantung dengan tema gambar, serta seberapa besar media yang dibutuhkan.

“Untuk itu kami selalu menyisihkan uang jajan untuk membeli bahan dan peralatan. Yang terpenting adalah hasrat kami sebagai penggambar bisa terpenuhi. Itu akan menjadi kebanggaan tersendiri untuk setiap seniman,” kata Didi.

Didi berharap bahwa komunitasnya di tahun 2018 ini dapat mendapat surat legal dari pemerintah. Ini bertujuan agar jika komunitasnya membuat gambar di suatu tempat tidak dianggap sebagai suatu tindak kriminal. Menurutnya JSC juga tidak pernah menggambar di sembarang tempat dan selalu meminta izin terhadap pemilik tembok atau lahan yang bersangkutan.

Di sisi lain, Ningsih mengatakan bahwa dirinya cukup senang jika di lorong fly over terdapat gambar-gambar graffiti. Selama gambar tersebut bagus dan lucu, bahkan tidak mengandung unsur SARA dan pornografi maka dirinya sangat mengapresiasi kreatifitas para bomber.

“Memang kalau malam disini sepi dan agak gelap, tapi dengan adanya gambar-gambar ini menjadi suasana berbeda. Tidak jarang juga jika siang hari banyak anak-anak yang berswafoto di sini,” tutur Ningsih. aditya eko
Lebih baru Lebih lama