Mentoro, desa yang terletak sekitar 11 kilometer dari pusat kota Jombang ini ternyata sebagian besar warganya bekerja sebagai penjual martabak dan terang bulan (martabak manis) disamping mayoritas bekerja sebagai petani.

SUMOBITO, MSP – Menyebut Desa Mentoro, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang yang pertama kali diingat kemungkinan adalah kampung halaman cendekiawan Islam kondang Indonesia yang juga sekaligus pengasuh pengajian Padhang mBulan Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun. Namun siapa yang menyangka bahwa Mentoro juga menyimpan keunikan lain.

Mentoro, desa yang terletak sekitar 11 kilometer dari pusat kota Jombang ini ternyata sebagian besar warganya bekerja sebagai penjual martabak dan terang bulan (martabak manis) disamping mayoritas bekerja sebagai petani. Terdapat sekitar 300 orang warga Mentoro berkecimpung dalam bisnis kudapan asal Yaman ini. Area berjualan warga Mentoro pun tidak terbatas di sekitaran Mentoro atau Kecamatan Sumobito saja, melainkan sudah menyebar ke berbagai daerah baik di daerah sekitar Mentoro seperti Jogoroto, Peterongan, Mojoagung, dan Jombang kota. Bahkan ada yang hingga merantau hingga Jakarta serta Kalimantan dan telah mencapai kesuksesan disana.

Perintis sekaligus orang pertama di Mentoro yang berjualan martabak, H. Solichin menuturkan mendiang kakaknya, H. Ruslan berangkat ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Di Surabaya H. Ruslan lantas bekerja di restoran milik orang India yang di depannya juga digunakan untuk berjualan martabak. Ruslan sebagai seorang pekerja tentunya lama-kelamaan menjadi terbiasa dengan bahan dan tata cara membuat martabak.

“Kemudian setelah sekitar empat atau lima bulan, rombong untuk jualan martabak itu dijual komplit beserta isi-isinya. Oleh kakak saya dibeli. Saya kemudian dipanggil untuk membantu,” ujar H. Solichin ketika dijumpai di rumahnya.

Setelah hampir enam tahun bekerja bersama dengan sang kakak, H. Solichin mencoba peruntungan untuk berjualan sendiri. Karena berjualan martabak dan terang bulan setidaknya membutuhkan dua orang pekerja, kakek empat cucu ini mengajak tetangganya di Mentoro untuk membantu berjualan. Dari sinilah cikal bakal mengapa banyak warga Mentoro yang akhirnya berjualan martabak.

“Ewang (pembantu) saya jualan, kalau sudah mampu bikin martabak sendiri lantas buka usahanya sendiri. Ketika mereka bisa buka usahanya sendiri dan membutuhkan pegawai, mereka juga mengajak tetangganya untuk membantu. Intinya kalau cari pegawai, selalu diutamakan warga atau tetangga sendiri,” tutur H. Solichin.

Kendati pria kelahiran tahun 1953 ini sekarang sudah tidak lagi menggeluti dunia martabak, namun ia tidak segan untuk membagikan resep serta ilmu tentang bagaimana membuat martabak yang nikmat kepada orang ingin belajar membuat martabak kepadanya. Termasuk trik tentang bagaimana membuat kulit martabak bisa mengembang sempurna. Menurut H. Solichin, sebelum adonan kulit martabak dibanting dan dibentuk melebar perlu dicampurkan sedikit garam. Sementara untuk isian martabak, bumbu rempah-rempah seperti kayu manis, kapulaga, merica, dan cengkeh yang telah disangrai kemudian dihaluskan akan semakin menambah cita rasa isian martabak.

Melihat potensi warganya, Kepala Desa Mentoro, Mahfudz Efendi ketika ditemui di sela-sela kegiatan di Balai Desa, Minggu (11/2) mengemukakan ingin menjadikan Mentoro sebagai sentra atau kampung martabak. Kesuksesan warganya lah yang menginspirasi pria yang akrab disapa Cak Pendik untuk menjadikan martabak menjadi ikon Desa Mentoro.

“Semoga pada Agustus mendatang sudah bisa menggelar festival martabak di Mentoro. Saat ini masih pada tahap diskusi dengan berbagai pihak termasuk dengan komunitas pedagang martabak. Semoga semuanya dapat berjalan lancar,” tutup Mahfudz Efendi. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama