Bendungan yang terletak di Desa/Kecamatan Gudo ini, masyarakat setempat menyebutkan Rolak 70 (Jawa: Pitung Puluh). Bagi masyarakat Jombang mungkin jarang mendengar tentang bendungan ini. Nama Rolak 70 sendiri diambil dari jumlah menara penggerek pintu air yang berjumlah tujuh puluh. 

GUDO, MSP – Ketika pemerintah Belanda berkuasa, banyak infrastruktur yang dibangun. Pembangunannya tidak asal-asalan dan kualitas bangunannya sampai berabad-abad kemudian. Bahkan sampai hari ini, masih bisa digunakan dengan baik. Artinya, meski Belanda menjajah dan membangun di tanah jajahannya, mereka tetap memberikan yang terbaik tanpa maksud mengkorupsi anggaran pembangunan.

Contohnya adalah rel kereta api yang melingkar sepanjang pulau Jawa, semuanya peninggalan zaman Belanda. Juga stasiun-stasiun besar, yang sampai sekarang masih terlihat gagah dengan model arsitektur beberapa abad lalu dan atapnya yang tinggi. Pabrik gula, jembatan-jembatan dan waduk terutama di pulau Jawa, banyak yang peninggalan zaman Belanda dan lebih kuat dan kokoh.

Seperti bendungan yang terletak di Desa/Kecamatan Gudo ini, masyarakat setempat menyebutkan Rolak 70 (Jawa: Pitung Puluh). Bagi masyarakat Jombang mungkin jarang mendengar tentang bendungan ini. Nama Rolak 70 sendiri diambil dari jumlah menara penggerek pintu air yang berjumlah tujuh puluh.

Bendungan yang memiliki ketinggian sekitar dua meter dari permukaan air tersebut dibangun untuk mengaliri perkebunan tebu di wilayah Kecamatan Gudo. Rolak 70 merupakan bendungan terbesar di Sungai Konto dan mengalir sebagai irigasi kepelbagai penjuru wilayah perkebunan. Dasar utama pembangunan bendungan ini adalah untuk mengatur debit air agar dapat mengaliri sungai dengan baik.

Menurut salah satu petani yang berada di sekitar Rolak 70, Supardi (56) mengatakan, “Karena debit air Sungai Konto terus mengecil, aliran sungai tidak semuanya sampai di bendungan. Jadilah Rolak 70 tidak berfungsi dengan baik untuk sekarang ini.”

Dahulu bendungan Rolak 70 ini, tambah Supardi, digunakan penduduk sekitar dan warga Tionghoa untuk mengairi tanam tebu yang menjadi komoditas unggulan kala itu. Seiring pesatnya perkebunan tebu di Gudo, akhirnya di sini terdapat pabrik gula. Tetapi semasa penjajahan Jepang pabrik gula Gudo dijarah dan kemudian dihancurkan.

Sampai sekarang usia menara yang diperkirakan sudah ratusan tahun dan dibangun dengan menggunakan pondasi dengan bahan batu kali berukuran besar itu masih berdiri kokoh. Pondasi rolak batu kali merupakan pondasi penahan dinding yang digunakan pada bangunan sederhana. Pondasi ini terdiri dari batu kali dan perekat yang berupa campuran pasir dan semen. Biasanya campuran agregat untuk merekatkan batu kali ini menggunakan perbandingan 1 : 3 karena batu kali akan menerima rembesan air yang berasal dari tanah.

Pondasi ini sering dipergunakan pada zaman penjajahan Belanda untuk membuat bendungan sungai, karena kontruksi pondasi lebih kuat menahan rembesan air serta biayanya yang murah. Salah satu peninggalan bendungan yang ada di Kabupaten Jombang adalah Rolak 70.

“Seiring berjalannya waktu, dari jumlah tujuh puluh menara penggerak pintu air tersebut sekarang hanya terlihat sekitar lima belas sampai dua puluh menara, sisanya sudah terkubur oleh tanah,” papar salah satu warga Desa Gudo.

Mengingat kawasan tersebut adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) lahar Gunung Kelud, warga sekitar memanfaatkan kawasan disekitar Rolak 70 untuk lahan pertanian. Mereka menanam berbagai komoditas seperti palawija hingga sayur mayur. Panen mereka juga melimpah karena tanah tersebut mengandung pupuk alami dari endapan vulkanik Gunung Kelud. aditya eko
Lebih baru Lebih lama