Pemberian PR oleh guru juga memiliki banyak faktor. Mulai dari penguatan maupun evaluasi pembelajaran di sekolah dan sebagai salah satu metode latihan mengerjakan soal.

JOMBANG – Beberapa waktu lalu, tepatnya pada (20/7) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Muhadjir Effendy melakukan pelantikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) di gedung Graha Utama, Jakarta. Setelah acara pelantikan selesai, menteri mengeluarkan wacana kebijakan baru mengenai penghapusan Pekerjaan Rumah (PR) bagi peserta didik.

Wacana tersebut disampaikan karena menteri pengganti Anis Baswedan ini berkeinginan agar dalam sistem pendidikan di Indonesia, semua guru bisa menyelesaikan pelajaran selama berada di sekolah tanpa harus membebani peserta didik dengan pemberian PR. Harapannya setelah berada di rumah, peserta didik mendapatkan waktu luang bersama keluarga ataupun bersosialisasi di lingkungan terdekatnya.

Seakan setuju dengan pernyataan sang menteri, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo juga mengusulkan agar PR akademik digantikan dengan kegiatan sosial. Seperti menengok tetangga ataupun teman yang sakit hingga memberikan makanan kepada orang lain. Tujuan dari PR dalam bentuk kegiatan sosial adalah sebagai upaya mensukseskan pengembangan pendidikan karakter generasi muda.

Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jombang, M. Syarif Hidayatullah, S.T., M.MT. menambahkan, “Wacana mengenai kebijakan penghapusan PR menghadirkan berbagai pertimbangan yang harus ditelaah sebaik mungkin oleh Dinas Pendidikan setempat. Mulai dari kearifan lokal, situasi hingga kondisi daerah. Terlebih apabila hendak diberlakukan di Jombang yang notabanenya banyak didiami pesantren dengan santri dari berbagai wilayah memiliki karakteristik peserta didik sangat beragam, tentunya masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.”

Di sisi lain, pemberian PR oleh guru juga memiliki banyak faktor. Mulai dari penguatan maupun evaluasi pembelajaran di sekolah dan sebagai salah satu metode latihan mengerjakan soal. Ketika memberikan pembelajaran di sekolah, guru selaku ujung tombak pendidikan harus jeli melihat perkembangan peserta didik di setiap jenjang. Ketika ada yang kurang mampu mengikuti pelajaran, guru wajib mencari jalan alternatif dalam mendorong peserta didik tersebut. Hal itu menjadi faktor pendukung pemberian tugas tambahan di luar jam belajar di sekolah. Akan tetapi bobot PR harus mempertimbangkan waktu istirahat peserta didik agar tidak mengganggu kesehatan.

Pada jenjang SMP, lanjut M. Syarif Hidayatullah, tergantung kebutuhan mata pelajaran. Untuk pelajaran non eksakta cukup dituntaskan di sekolah. Ketika sudah di rumah, peserta didik memanfaatkan waktunya guna menerapkan semua pembelajaran yang sudah diperoleh. Contohnya bagaimana peserta didik beribadah, cara berkomunikasi dengan orang terdekat atau pembelajaran lainnya. Pada pelajaran eksakta, keberadaan PR masih diperlukan dalam melatih pola pikir anak dalam menghadapi segala kemungkinan soal yang muncul saat menghadapi ujian.

“Sedangkan bagi jenjang SD, guru lebih dianjurkan memberikan tugas bersifat membangun interaksi sosial bersama keluarga ataupun orang terdekatnya, sesuai isi buku siswa Kurikulum 2013 (K-13) yang di setiap temanya sudah terpapar secara jelas. Seperti halnya berdiskusi bersama orang tua mengenai keadaan lingkungan sekitar, ibadah dan lain sebagainya,” imbuh laki-laki yang kerap disapa Gus Sentot tersebut.

Senada dengan hal itu, Kepala SD Plus Darul Ulum Jombang, Ike Sinta Dewi, SS. mengatakan bahwa, peserta didik sudah belajar kurang lebih selama delapan jam di sekolah, seharusnya pembelajaran telah terselesaikan. Guru harus pandai-pandai menyusun strategi agar semua pembelajaran dapat terselesaikan di sekolah.

“Waktu mereka di rumah seharusnya digunakan untuk beragam aktivitas seperti berkumpul dengan orang tua, kursus musik, mengaji atau mengikuti perkumpulan rohani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan sosial. Jika kita memberikan mereka pekerjaan rumah lagi maka akan mengurangi waktu mereka untuk bermain. Padahal usia SD masih membutuhkan waktu bermain,” kata Ike Sinta Dewi ketika ditemui di kantornya.

Seperti yang dikemukaan Jean Piaget dalam teori cognitive-developmental bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang. Kondisi otak aktif maka itulah kondisi yang sangat baik untuk menerima pengalaman.


Ike Sinta Dewi menambahkan jika selama ini pekerjaan rumah yang diberikan kepada peserta didik umumnya berupa materi akademis yang serupa dengan pekerjaan di sekolah. PR sebaiknya berupa praktik terapan yang berhubungan dengan teori yang diajarkan di sekolah dan harus aplikatif.

“PR berupa terapan ilmu akan lebih kreatif dibandingkan PR akademis yang terkesan normatif. Setiap peserta didik dapat saja mendapatkan PR berbeda-beda sesuai dengan minatnya dan nanti dapat dikerjakan bersama orang tua. Seperti yang tertera pada K-13,” ujar ibu dua anak tersebut.

Lebih lanjut menanggapi tidak ada PR akademis di sekolahnya, bagi peserta didik yang kurang dalam mengikuti pelajaran maka pihak sekolah mengadakan perbaikan nilai dan memberi laporan kepada orang tua. Perbaikan nilai biasanya dilakukan pada waktu liburan sekolah. Jadi ada penambahan pelajaran agar peserta didiknya tidak tertinggal dengan peserta didik lainnya.

Salah satu anggota Dewan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, Drs. Achmad Fathoni, M.Si. “Selama proses pengerjaan tugas tambahan tersebut orang tua dituntut berperan aktif menemani, mendampingi dan membimbing buah hatinya. Agar orang tua dapat mengamati secara langsung apa kelebihan maupun kekurangan sang anak. Melalui kegiatan diskusi dan tanya jawab, otomatis interaksi antara keduanya juga dapat terjalin.”

Di era serba modern ini antara ayah dan ibu harus saling mengisi perannya dalam memberikan perhatian kepada anak. Selain berguna untuk mengontrol perkembangan, keduanya dapat memanfaatkan saat-saat itu sebagai upaya meningkatkan jalinan kedekatan hubungan keluarga guna mendukung prestasi putera-puterinya.

Perlu diperhatikan juga apabila dalam melakukan pendampingan setiap orang tua memiliki berbagai macam latar belakang pendidikan. Tidak semuanya bisa mengikuti pelajaran peserta didik saat ini, maka langkah termudah yang kerap diambil adalah mendaftarkan sang anak di lembaga bimbingan belajar.

Achmad Fathoni menambahkan, “Itu pun dapat dilakukan keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke atas. Oleh karena itu guru perlu memikirkan alternatif macam-macam tugas guna memudahkan semua peserta didik saat proses pengerjaannya, seperti halnya tugas kerja kelompok ataupun diskusi bersama teman sebaya.”

Hal penting selanjutnya yang harus dipahami orang tua adalah menuntaskan pendampingan pengerjaan PR, supaya pekerjaan peserta didik selesai dikerjakan di rumah dan tidak lagi melakukan perilaku mencontek serta lebih percaya atas kemampuan diri sendiri.

Seperti yang di ungkapkan oleh salah satu peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Tembelang, Adelia Andini Putri, porsi PR yang dia peroleh saat ini berbeda sewaktu dia masih duduk di SD. Sekarang ini hampir semua mata pelajarannya terdapat PR dengan komposisi yang lumayan banyak. Pasalnya dirinya kerap mengerjakan tugas tersebut hingga larut malam.

“Pulang sekolah sekitar pukul 13.30 WIB. Itu pun jika tidak ada kegiatan seperti ekstrakurikuler di sekolah. Setelah itu istirahat sore. PR biasanya saya kerjakan sehabis salat Isya,” tutur Adelia sapaan akrabnya.

Baginya tidak ada masalah jika PR masih diterapkan, hanya saja porsi tugas tidak terlampau banyak karena dapat menyita waktu istirahat dan membuat stres. Dia pun menyadari jika tidak ada PR maka keinginan untuk belajar dan mengulang kembali pembelajaran di sekolah berkurang. aditya eko/fakhruddin
Lebih baru Lebih lama