“Prosesi ini dipercaya akan mengubah status dari sinden yang belum diakui menjadi seorang sinden sejati.” Juru Kunci Sendang Made - Supono

KUDU – Sebuah tradisi lahir dari cerita rakyat yang tumbuh dan berkemang dengan masif. Selain itu juga memang ada runtutan kesejarahan sehingga banyak yang masih meyakini hingga kini. Walaupun kemajuan telah menjajah seluruh sendi kehidupan, namun sebagai warisan yang adiluhung maka patut untuk dilestarikan.

Salah satunya di Situs Sendang Made, Desa Made, Kecamatan Kudu. Tiap waktu tertentu dijalankan tradisi Kumkum (Jawa: Berendam) Sinden. Sekilas tradisi ini disemiotikan sebagai wujud prosesi wisuda. Artinya para sinden yang telah usai berlatih dan siap mentas untuk tampil ke publik ditandai dengan Kumkum Sinden.

Juru Kunci Sendang Made, Supono menuturkan bahwa prosesi kungkum sinden sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu pada masa Kerajaan Airlangga. Namun baru dilestarikan kembali dan diangkat sebagai tradisi warisan budaya luhur pada tahun 2002 silam. Para sinden yang mengikuti proses tersebut tidak hanya berasal dari daerah di sekitar Sendang Made, melainkan dari daerah lain pun dapat mengikuti ritual kungkum.

“Sendang ini dipercaya memiliki khasiat tersendiri. Salah satunya, membuat wajah seorang seniman, khususnya sinden, menjadi lebih cantik dan bersinar. Sejak dulu para sinden banyak yang kungkum di sendang ini, umumnya pada tengah malam dan pada hari tertentu saja. Mereka merendam seluruh badan di Sendang. Namun untuk saat ini, para calon sinden tidak harus berendam seluruh badan. Mereka hanya menjalani prosesi simbolis dengan disiram air sendang di bagian kepalanya,” papar laki-laki yang sudah menjadi Juru Kunci sejak tahun 1980 tersebut.

Prosesi ini, tambah Supono, dipercaya akan mengubah status dari sinden yang belum diakui menjadi seorang sinden sejati. Menjelang prosesi, sinden-sinden yang berdandan cantik ini berbaris berjalan beriringan menuju ke areal sendang. Sendang Made sendiri sebenarnya terdiri dari tiga sendang. Salah satunya adalah Sendang Derajat. Di sendang berukuran 6x5 meter inilah, para sinden diwisuda.




Kumkum Sinden: Pelarian Raja Airlangga

Sementara itu Budayawan Jombang, Nasrul Ilah menjelaskan bahwa keberadaan Sendang Made memiliki kaitan erat dengan kisah pelarian Raja Airlangga dari Bali yang datang ke Jawa untuk menikahi Putri Raja Dharmawangsa. Saat pesta pernikahan sedang dilangsungkan, terjadi serangan dari Raja Wura Wari yang menewaskan Raja Dharmawangsa. Selanjutnya Airlangga yang berhasil melarikan diri mengungsi ke beberapa daerah kemudian sampai di Gunung Pucangan.

“Supaya tidak tertangkap oleh pasukan kerajaan, Airlangga bersama istri dan para dayang-dayangnya nyaru (menyamar) menjadi pelaku seni dengan membawa alat musik seperlunya. Setiap kali rombongan Airlangga melintasi desa-desa maka akan mengamen. Karena memang berasal dari Keraton, maka paras cantik dan suara merdu yang dimiliki mampu membuat penontonnya terpukau,” papar adik dari Emha Ainun Najib itu.

Sesampai di Gunung Pucangan, lantas Airlangga turun dan menetap di Sendang Made. Selama tinggal di sana banyak putri-putri dari desa lain yang ingin meniru suara sinden yang merdu dan berpenampilan cantik tersebut. Sampai di sini, Airlangga mendapat pekerjaan baru yaitu mengajar para putri tersebut agar menjadi sinden seperti dayang-dayangnya.

Laki-laki yang akrab di sapa Cak Nas itu menambahkan, “Lantaran perjalanannya menyusuri hutan, maka para puteri terlihat kulu-kulu (dekil, Jawa) lantas Airlangga menyuruh membersihkan diri pada dini hari. Sebelumnya diminta merenungkan keinginan utamanya dari sekian banyak.”

Tujuannya ialah memikirkan benar-benar maksud kedatangan ke Sendang Made. Ketika tengah malam (sekitar pukul 01.00 WIB) seluruh sinden diminta untuk masuk ke cungkup-cungkup­­­­­­­­­­­­­­­ (bangunan seperti gubuk) untuk memohon kepada Tuhan agar keinginannya dikabulkan. Selanjutnya, barulah para calon sinden beralih ke Sendang Derajat untuk mandi. Air dalam sendang sengaja dikasih bunga agar wangi.

“Pagi harinya barulah diajari bersolek agar terlihat cantik. Setelah mahir, sinden-sinden kembali ke desa masing-masing. Selama perjalanan, Airlangga membekali dengan air minum yang berasal dari sumur deket Sendang Derajat. Bukan digunakan untuk menghapus dahaga saat perjalanan, tetapi malah memilih diminum jika hendak pementasan,” ujar Nasrul Ilah sambil tersenyum.

Bedasarkan kisah sejarah inilah kemudian muncul tradisi kungkum di Sendang Made. Diyakini melalui ritual ini dirinya akan mendapatkan ilmu wirosuoro agar dapat berdendang dengan baik seperti yang dialami Raja Airlangga saat menyamar menjadi pengamen.

Juru Pelihara Sendang Made, Badri mengatakan bahwa prosesi unik ini diawali dengan penyiraman air sendang ke wajah para peserta ritual. Setelah itu dilanjutkan pemberian air dari sebuah guci yang boleh dibawa pulang oleh semua peserta. Air dari dalam guci tersebut dipercaya bisa membuat suara sang sinden jadi merdu.

“Kalau dulu sindennya benar-benar kungkum seluruh badan. Namun sekarang hanya membasuh wajah saja karena debet air di sendang hanya sedikit. Setelah itu airnya juga diusapkan pada leher agar sinden memiliki suara yang enak. Tetapi tidak seperti itu, prosesi tersebut sebenarnya agar para sinden tersugesti dan percaya diri,” jelas Badri.

Laki-laki yang juga sebagai Juru Pelihara di Situs Munggut (Gurit) dan Situs Kusambyan (Grogol) menambahkan bahwa perkembangan zaman yang diikuti kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi tradisi yang berkembang di masyarakat. Budaya Jawa sekarang sudah mulai terkikis peradaban yang semakin merajalela. Acara ini merupakan langkah untuk melestarikannya.

“Biasanya seusai acara wisuda sinden, masyarakat Desa Made menggelar acara ‘Sedekah Desa’. Masyarakat berduyun-duyun membawa tumpeng untuk acara selamatan di sekitar Sendang Derajat. Ini juga cara agar masyarakat dapat hidup rukun satu sama lain dan berbagi hasil buminya. Tua-muda, kaya-miskin jadi satu di sini,” tutup Badri. aditya eko
Lebih baru Lebih lama